Tentang 30 Hari Cerita Cinta

20 September 2011

Lelucon Alam Semesta

Kopi darat.

Dua kata yang sebenernya udah eksis dari zaman brik-brikan dulu. Saat Ayah dan Bunda saling bermesraan, mengucap Papa Alfa Charlie Alfa Romeo, sarana berkencan di udara. Dari 'kopi' pasangan si 'roger', berpadu dengan keinginan tatap muka sambil menginjak bumi, lahirlah 'kopi darat'.

Seumur sejarah dan kiprah guw di dunia maya, bisa dibilang hampir semua cara kopi darat gue berakhir dengan bencana. Antara ketemu buaya darat atau buaya berkarat. Charlie Alfa Uniform Romeo!

Nggak jarang gue manfaatin jasa joki buat acara kopi darat gue sebagai penawar kekecewaan gue, mulai dari temen-temen gue yang gila dan nggak tahu malu sampai bayar Beti alias Bencong Tikungan buat ngusir jauh-jauh cowok gendeng yang terus-terusan ngejar gue karena mimpiin gue seminggu berturut-turut dan menurut wangsit ahli spitirualnya, itu pertanda gue adalah jodoh hidup sematinya.

Berbekal pengalaman pahit jamu dan asem ketek macem itu, semalem gue penuhin otak gue dengan film-filmnya Adam Sandler. Berharap kalo pertemuan gue beberapa menit lagi nggak berakhir mengenaskan. Jujur, gue belum siap masuk jadi headline koran Lampu Merah besok pagi, "Kopi Darat Gagal, Nafas Ria Tersengal, Hilang Pikiran dan Akal, Manjat Tiang Listrik dan Jatuh Cium Aspal." No way, Bray!

SKJ 92 pun gue praktekin di muka, biar besok nggak ada sesi bengong sapi berjigong atau kembaran sama Aziz Gagap. Ke-ke-ke-napa ta-ta-tadi? Sayang banget, gue nggak punya remote control ala film Click dimana gue bisa pencet pause kalo grogi udah merasuk sampai ke gigi, ngelurin suara gemeretuk khas anjing herder.

Untuk kesekian kalinya gue melirik ke jam tangan kesayangan bergambar Mr. Smiley kuning cerah. 10 menit lagi menuju jam 8 malem, Perky Park udah mulai dipenuhi para pengunjung setianya. Maklum, sekarang weekend udah manggil-manggil dengan segala keceriaan dan kejutan-kejutannya. Everybody needs the right place for their sweet escape.

Sayangnya, gue nggak pengen escape kemana-mana lagi sekarang. Gue berusaha numpukin berton-ton kenyamanan karena gue udah pesen tempat favorit gue kalo lagi pengen menyendiri or ngobrol asyik sampe berjam-jam. Plus sepoci chamomile tea buat ngurangin kecemasan dan rasa aneh di perut yang pastinya bukan darisepiring ketoprak yang gue makan sepulang kantor tadi. There's a giant butterfly flying furiously in my tummy!
Pasangan setia notes merah dan pulpen belang-belang, senjata andalan gue buat kumpulin inspirasi artikel, udah bersanding manis di atas meja. Yup, gue masih inget bener dengan inti dari kopi darat gadungan hari ini. Atas nama deadline dan dedikasi sebagai penulis berbayar, gue menyamarkan isi hati dan semua rasa penasaran gue akan makhluk Adam menakjubkan ini di balik semak-semak (tentu saja demi keamanan bangsa dan negara asmara, gue udah periksa di balik semak-semak itu nggak ada bencong ngumpet dari Kamtib atau mas-mas angkat sarung  buang hajat.)

Satu menit menjelang jam 8 malem, sososk yang gue tunggu itu akhirnya dateng juga. Tetap dengan gaya andalannya, t-shirt dengan funny quotes, jeans, dan sneakers. Di t-shirt Euforiano terpampang tulisan Cannibals don't eat comedians because they taste funny. Gue pun milih salah satu t-shirt  setipe dengannya. Quote yang gue pilih : I really want to meet the male version of me. That would be EPIC. Hmmm, semacem curcol sih sebenernya isi tulisan itu hehehehe.

Gue kirim pesan lewat messenger, "Gue di meja 12, paling pojok deket kaca. Udah duduk manis siap ngacung telunjuk buat nanya ke Pak Guru :)"

Sejurus kemudian, Euforiano tersenyum manis di hadapan gue, mengulurkan tangannya, sambil memperkenalkan diri. Writer switch ON. Hei kamu, oknum-oknum asmara, minggir dulu dari arena!

"Hai! Udah lama nunggunya? Gue Euforiano, panggil aja gue Ian," sebuah tangan kokoh langsung gue sambut dengan jabat erat (tanpa kelitikan jari telunjuk, ya!). "Ria Jenaka, panggil aja gue Ria. Dan bener banget gue lahir Minggu pagi," sahut gue cepat,. Maklum, hampir semua orang yang lahir satu masa atau berada di usia lebih tua dari gue, bakal mengkaitkan nama gue dengan acara TVRi yang terkenal itu.

Ian pun terkekeh sejenak dan menghempaskan diri di sofa empuk, berhadapan dengan gue. Beberapa menit selanjutnya kita habiskan dengan memesan makanan dan minuman. Porsi makan kita berdua pun sama banyaknya. Ian pun nggak komentar liat pesenan gue yang bisa dibilang banyak untuk ukuran cewek. Mungkin dia juga maklum dengan pekerjaan gue yang mengharuskan gue punya energi banyak buat nulis kata-kata dengan deadline menghantui ditambah isi artikel yang akhirnya membentuk gue jadi perut karet.

Sambil menunggu pesanan kita yang seabrek-abrek itu, Ian membuka percakapan. "So, what can do for you, Miss Hahahihi?" Senyum khasnya kembali muncul di akhir kalimat. Gue ikutin saran Melanie mengenai mengambil nafas diam-diam, trik menenangkan diri tanpa membiarkan lawan bicara tahu kegrogian kita. "Beberapa bulan ke depan, bakal ada rubrik baru. Semacam kolom yang mengulas kuliner dengan gaya humoris gitu. Gue yang nulis isinya dan nama gue di situ bakal diganti dengan Jeng Nyam-nyam. That's why I need some of your witty urban jokes for the column," jelas gue dengan ketenangan 10.000 volt. "Jadi, lo bakal pake jokes di blog gue buat setiap isi kolom lo?" tanya Ian cepat. Wah, gue nangkep ada nada keberatan di suaranya.

"Cuma untuk kolom pertama aja. Di situ gue bakal sebutin nama lo, kita kaya wisata kuliner bareng gitu dan lo nyampein beberapa joke dalam percakapan kita. Isi kolom-kolom seterusnya bakal beda konsep. Yah, harus pake kreativitas gue sendiri dong, masa numpang kocak sama lo terus. Nggak aci dong itu namanya," sergah gue sambil tanpa sengaja memberi kata yang dulu suka gue pake zaman SD, kalo ada yang curang di tengah-tengah permainan.

"Oh, I see. Jadi, nanti kita lomba makan juga ya? Ngucapin mak-mak yang lain, di luar maknyus dan maknyos? Berfoto dengan mulut belepotan makanan dan perut membuncit kekenyangan? Seru juga kedengerannya. I'm in!" ujar Ian membuat teori dan kesimpulannya sendiri, tinggal tambahin aja saran dan daftar pustaka biar kelar langsung skripsinya.

Ya elah, dia mikir makan gratisnya doang nih. Yo wis, senggaknya kita berdua bisa ketemu lagi sambil makan bareng, tanpa harus malu ada ajak-mengajak kencan. Di dalam hati gue pun ketawa genit mirip Dono kalo ketemu cewek cakep. 

Ian membuka tablet­­-nya dan mulai browsing melihat-lihat tulisan-tulisan gue yang udah dipublish. Setiap klik-klik-klik, kepalanya pun manggut-manggut, bikin gue jadi berpikir kalo Ian adalah anak metal yang hobinya angguk-angguk kaya ayam batuk. Tinggal pakein dia topi pet ala pelukis, pegang spidol, trus ngomong, "Bagus, bagus." Voila! Pak Tino Sidin bangkit lagi!

Semua makanan kita nggak lama dateng dan kita menghabiskan sisa waktu untuk makan sambil membahas kira-kira  bagaimana bentuk liputan wisata kuliner yang akan kita bikin dan joke-joke mana yang bakal ditampilin. Akhirnya, kita mutusin buat keliling sekolah ke sekolah buat nostalgia jajanan SD. Kita pun sepakatin t-shirt bergambar tokoh kartun favorit kita kecil dulu sebagai dress-code buat menambah kesan jadul di foto artikel nanti.

Menjelang jam 10 malem, smart phone Ian tiba-tiba berbunyi. Lagu Bocor dari The Cash pun terdengar sesaat di antara kita. Ian mengangkatnya, "Halo? Hey, Rob? Iya, gue masih ketemuan dulu buat kerjaan. Eh? Oh gitu, okay I'm fine with that. Jadi besok aja ya, lo BBM gue aja fixnya jadi kapan n dimana. Thanks, Bro."

Wah, kayanya dia punya janji hang out sama temen-temennya abis ini. Good. Gue bisa laporan sama Ibu Peri abis ini dan lepasin semua kegrogian yang udah gue tahan-tahan dari tadi ini.  

"Ri, pindah tempat yuks! Kalo lo nggak ada acara lagi malem ini, kita nongkrong di basecampnya jagoan-jagoan komtung (komtung = Komedi Tunggal, julukan lain buat Stand Up Comedy). Biar lo dapet banyak bahan buat kolom-kolom lo ntar. Gimana?" suara Ian membuyarkan lamunan gue dan refleks gue mengiyakan tanpa berpikir kalo gue nggak memperhitungkan adanya "kopi darat lanjutan di hari yang sama'. Cilaka dua belas!

Ian membayar semua malem itu, walaupun gue udah bersikeras membayar, dengan alesan ini urusan kerja dan udah masuk ke dalam anggaran liputan. "Oh, come on, Ian. How can I repay you?" tanya gue memelas setelah Ian pun menolak sodoran uang pengganti apa yang udah gue telen tadi.

Ian menyeringai jahil dan akhirnya mengeluarkan kata-kata yang bener-bener nggak pernah gue sangka, "Well¸you can start with dropping all those acts and pull yourself together. Gue tahu ini bukan diri lo yang sebenernya and I wanna see the real you for the rest of the night. Tenang aja, gue nggak bakal gigit or makan lo kok. You'll taste funny, anyway."

Sebuah alarm berbunyi keras di kepala gue. Kayanya gue nangkep arti funny yang dia maksud, dan itu nggak ada hubungannya dengan cita rasa masakan. Siaul, siaga satu ini namanya! Aduuuuhhhh!

Sebelum gue napak lagi dari kekagetan dan ngembaliin muka gue yang melongo super dongo, tangan kokoh itu tiba-tiba menarik gue pergi. Sebuah senyum hangat Ian tiba-tiba seperti mengirimkan pesan kosmis aneh ke hati gue. You'll be alright, Ria. He'll give you a night to remember and you'll be safe in his arms.

Sejenak alarm itu berhenti berbunyi dan gue pun mulai memasrahkan diri akan apa yang bakal terjadi selanjutnya. Alam semesta rupanya menyimpan lelucon kejutannya buat gue malem ini.



-sambunglagiesokhari-



~ (oleh @retro_neko)

No comments:

Post a Comment