Tentang 30 Hari Cerita Cinta

14 September 2011

Kebun Bunga Untuk Akane #2

“Air. Tanah. Api. Udara. Logam. Semua adalah unsur yang saling mendukung satu sama lain. Semua  bergabung membentuk satu kesatuan yang harmonis. Saling mengisi saling melengkapi. Ketidakseimbangan antara kelimanya akan menimbulkan kekacauan......”  Agea terkantuk-kantuk mendengarkan ceramah dari guru yoga ini. Benar-benar ceramah yang tak ada makna. Memangnya kenapa kalau tidak seimbang? Toh nanti alam juga akan menyeimbangkan dirinya sendiri. Dengan cara yang tak terduga. Cara yang tak pernah dibayangkan manusia.
“Mungkin maksud si guru ini adalah agar alam menyeimbangkan dengan cara yang nguntungin manusia kali ya?” Agea tak mengerti kenapa ia terdampar di tempat seperti ini. Ia hanya sekedar lewat lalu masuk dan bergabung. Mungkin ia tertarik pada tulisan di depan tempat ini. Disana tertulis: “Carilah kebahagiaanmu sendiri!” tulisan yang cukup menggelitik hati Agea. Ia memang ingin menemukan kebahagiaannya sendiri.
“apaan sih yang dimaksud bahagia? Kenapa sih semua orang pada nyari itu?” Agea memperhatikan banyak orang yang mencari kebahagiaan. Mereka bekerja keras siang dan malam hanya untuk selembar kertas bernama “uang” yang katanya merupakan tiket menuju kebahagiaan. Tapi sepertinya, mereka menjadi lebih menderita daripada sebelum mereka berusaha mendapatkannya.
“Tapi mereka gak keliatan protes. Mereka kayaknya  ‘menikmati’ penderitaan mereka. Apa ada yang salah dengan mereka? Atau dengan gw? Oh ini gumaman yang benar-benar berat!” Agea lalu memperhatikan sekeliling. Ia melihat ada gadis cantik yang sangat serius memperhatikan ceramah si guru.
“cantik juga nih cewek. Pahanya juga mulus dan kencang. Kayaknya ahli di ranjang.” Agea memperhatikan dengan penuh konsentrasi. Dan nafsu. Agea sudah beberapa kali “beradu keringat” perempuan. Dengan tubuhnya yang atletis  dan wajahnya yang cukup tampan (Agea cukup rajin fitness dan perawatan di salon), ia bisa mendapatkan teman kencan dengan mudah.  Dan ia lumayan menikmatinya. Tapi kemudian ia menjadi linglung sendiri. Sehabis mencapai puncaknya, perasaannya akan kosong namun bersisa. Persis bak sampah yang baru dipindahkan isinya. Kosong. Tapi ada jejak bau yang menempel. Ia jadi agak jengah dengan kegiatan itu. tapi yah, namanya juga lelaki, begitu si urat panjang keisi darah, semua jadi serba gelap. Pengennya ya nyoba lagi dan lagi.
“Apa ini kutukan buat para cowok ya? Biar kita terperangkap dalam kesesatan duniawi.” Ia jadi ingat dengan uwaknya yang menjanda bertahun-tahun. Tak pernah terlihat ia menggandeng pria setelah suaminya meninggal.
“kayaknya cewek lebih bisa menahan nafsu. Apa gw operasi kelamin aja ya? Biar gak pusing kalo si tumang ini bangun mendadak?” ia memikirkan sesuatu yang sangat aneh. Ia kemudian bergidik.
“ih, ogah ah, ntar gw disangka maho lagi! Kagak dah!” Agea cepat-cepat menepis pikiran itu. setelah itu ia segera bangkit dan bersiap meninggalkan kelas yoga yang membosankan itu.
*****
“What are you lookin at?” seorang turis asing memaki dengan suara yang cukup nyaring saat melihat Agea sedang menatap dirinya. Agea, yang sedang melamun menjadi tersentak kaget. Ia lalu buru-buru meminta maaf.
“I’m Sorry sir. I don’t meant to annoy you.” Agea lantas pergi meninggalkan taman kota tempat ia melamun itu.
Saat bergegas meninggalkan tempat itulah, ia melihat seorang gadis cantik bermata biru yang telah lama ia kenal. Dulu, gadis itu mempunyai  mata biru yang secerah langit,  tapi sekarang mata itu telah berubah. Warna birunya menjadi dalam dan misterius seperti lautan pasifik yang luas. Dingin dan menusuk seperti permukaan es di danau di musim dingin. ia juga melihat, langkah gadis itu seperti terikat bola besi besar. Langkah yang sedih dan berberbeban berat. Seolah ia sedang menampung kesedihan dunia. Agea ingin sekali menghiburnya, tapi apa daya gadis itu sepertinya tidak tertarik padanya (Agea sudah pernah mencoba mendekatinya, dan berakhir dengan kegagalan total, satu-satunya gadis yang  pernah menolak Agea).
Agea berusaha untuk menghindari tatapan gadis itu, tapi sepertinya terlambat. Gadis itu sempat meantap Agea selama beberapa detik, kemudian berlalu. Tatapan yang sangat singkat, tapi sanggup menyayat-nyayat hati Agea.
“Ngapain juga gw mikirin dia sih? Cewek gak tau diri. Dideketin cowok sekeren gw nolak. Cuih!” Agea bersungut-sungut. Ia melangkah pulang dengan hati yang semakin kesal.
*****
Pulang kerumah membuat Agea makin uring-uringan. Ia terus saja memikirkan pertemuannya dengan gadis bermata biru siang tadi.
“Kenapa gw jadi kepikiran terus sih? Apa karena ada yang lain di matanya? Itu kayak mata orang yang memikirkan sesuatu yang  berat banget. Apa iya dia galau juga kayak gw? Etapi mana mungkin? Dia kan cantik, pinter, Bapaknya kaya raya lagi. Apa yang perlu dilamunin?” Agea bergumam dalam hati. Walaupun ia menyangkal, tetapi ia tahu, ada sesuatu di dunia ini yang tak bisa diukur oleh fisik. Sesuatu yang membuat hatinya juga diterpa angin badai tak berkesudahan. Saat memikirkan tentnag gadis itu, ia lalu teringat pada nasihat neneknya, seorang tabib tradisional di desanya, saat Agea bertanya kenapa neneknya tak pernah meminta bayaran atas jasanya mengobati orang,
“menolong orang itu nak, harus dengan hati yang bersih. Tak ada niat yang lain kecuali membantu.”
“hmm gw tulis surat aja deh ke dia, siapa tau dia butuh bantuan.” Agea lalu menulis surat yang isinya ingin menolong gadis itu. dengan semangat ia meraih pulpen dan kertas, lalu memulai menulis.
tapi ya, namanya juga anak muda, menyurati gadis cantik yang pernah disuka, pasti ujung-ujungnya rayuan gombal juga isinya. Alih-alih menulis surat yang serius, dia malah menulis puisi untuk gadis itu. pakai kata-kata pujian segala. Agea baru menyadarinya ketika dia telah selesai. Tepat ketika jam berdentang dua belas kali.
“Lah kenapa gua malah nulis puisi cinta sih? Mana picisan abis lagi!” gerutu Agea ketika ia membaca ulang suratnya.
“Ah tapi gak apa-apa lah, yang penting niat awalnya tercapai. Kalau kecantol ya berarti emang rejeki gw! Hahaha”. Agea lalu berniat memasukkannya kedalam amplop. Tapi ia segera sadar ia tak punya amplop. Jangankan amplop, pulpen aja dia cuma punya sebatang. Bukan karena gak mampu beli, tapi ia merasa percuma. Buat apa pulpen banyak kalau mencatat di sekolah aja jarang?
“ah, gampang, entar beli dikantin aja dah!” ia lalu memasukkannya dalam tas dan segera tidur.
*****
        “nah, sekarang udah beres, tinggal nunggu respon dari si dia. Abis ini gw solat duha aja kali ya biar lebih lancar? Hahaha” Agea tersenyum sendiri di depan kelas. Ia telah selesai menuntaskan “misinya” mengirim surat kepada si gadis bermata biru. Sekarang tinggal menunggu respon dari si gadis. Agea lalu bersiul-siul berjalan menuju ke kantin ketika tiba-tiba dia teringat,
        “goblok! Gw gak nulis nama gw di situ, gimana si Akane tau itu surat dari gw?” ia lalu berlari kembali menuju kelas Akane. Namun ia terlambat, teman-teman sekelasnya sudah mulai berdatangan. Bisa gawat kalau teman-temannya tahu ia menulis surat untuk Akane. Gengsi dong. Masa udah ditolak mau nembak lagi? Agea sekarang cuma bisa pasrah rencananya gagal total.
(bersambung)




- (oleh @hardashian - http://fromsciencetosocial.blogspot.com; http://penari-jalan-layang.blogspot.com)

No comments:

Post a Comment