Tentang 30 Hari Cerita Cinta

13 September 2011

Kebun Bunga untuk Akane #1

Pelembab. Foundation. Alas Bedak. Bedak. Blush on. Eye liner. Eye shadow. Maskara. Lotion. Kuteks. Cologne. Parfum. Semua sudah dipasang pada tubuhnya.
            Pita rambut.anting. gelang. Cicin. Soft lense. Semua sudah tertempel pada badannya.  Semua sudah tertata sempurna. Tersusun pada tempatnya. Seperti mozaik kaca di gereja. Berwarna-warni terpadu indah menghias jendela.
            Semua harus cocok. Berharmoni seperti alunan musik mozart. Dengan tetanda yang membelalak mata. Channel. Balenciaga. Bottega Venneta.  
Anak perempuan itu menghela napas. Semua tampak palsu. Tak pernah ia ingin tampil seperti ini. Tapi inilah hidup.
Siapa bilang hidup ini indah? hidup adalah sebuah kutukan. Semua orang melakukan apa  yang orang lain harapkan. Hidup bebas seperti burung hanya ada dalam puisi penyair. Atau novel indah para penulis. Indah. Hangat. Mesra.
Ketika kita selesai membacanya, kita akan kembali pada dunia nyata. Kejam. Egois. Munafik. Hidup adalah perjuangan. Seperti kata iklan batang tembakau di televisi.
Televisi? Ah, kotak kaca itu. penghapus kesedihan semu. Tempat kita menertawakan hal yang tidak lucu. Membuat kita memiliki mimpi yang tak sejati. Tempat tangan-tangan hitam menyeleksi informasi.
Semua kepalsuan ini membuat anak perempuan itu terhenyak. Ia melakukan semua ini untuk orang lain.teman temannya, orang tuanya, saudaranya. Yang akan melirik sinis bila ia berpakaian “salah” satu hari saja. Tak pernah ia memikirkan diri sendiri. Itu semua membuat ia muak.
Tapi, ah, sudahlah, hidup adalah untuk dijalani, bukan ditangisi. Ia keluar dari kamarnya dengan cepat. Waktunya sempit. Ia akan terlambat bila tak bergegas.
Ia memakan sarapannya dengan cepat. Lalu dengan sigap menyambar tas sekolahnya. Tak lupa paper untuk ibu gurunya yang galak. Yang nenyalak dengan hebat bila tugas yang diberikannya tak diselesaikan.
“Akane! Ayo! Cepat masuk! Pintunya mau ditutup!”
Para sahabat-sahabatnya memanggilnya. Sahabat? Well, sepertinya itu tak cocok. Teman penghibur lebih tepat. Yang hanya akan ada saat ia bahagia. Persahabatan yang tak sehat, tapi cukup layak untuk dinikmati.
Orang bilang ia memiliki paras seorang dewi. Rambut hitam mengkilap. Kulit seputih salju. Pipi semerah darah. Persis tokoh kartun barbie di salah satu filmya. Anak salah seorang penguasa lama di indonesia. Dari orde baru sampai orde reformasi.
Orde? Perubahan? Itu hanya yang terlihat diluar. Hanya ular yang berganti kulit. Semua tetap sama. Orang-orang yang sama. Undang-undang yang sama. Birokrasi yang sama.
Yah, seperti dikatakan sebelumnya, hidup adalah untuk dijalani. Jadi ya jalani saja.
Mereka berjalan bergerombol menuju ruang kelas. Sebuah ruangan persegi panjang yang diisi meja dan kursi. Dan LCD proyektor serta meja PC.
Baru satu jam pelajaran dan akane sudah mengantuk. Pelajaran yang sangat membosankan bagi dirinya. Fisika klasik. Di depan, gurunya sedang menjelaskan tentang mekanika fluida. Tentang laju alir yang sama antara yang keluar dan yang masuk. Membosankan. Ia sudah hafal rumusnya diluar kepala. Dari berbulan-bulan yang lalu ketika ia mengikuti oimpiade sains. Tak tanggung-tanggung, ia berhasil meraih juara tiga tingkat nasional. Tetapi ia tak pernah merasa bahagia.
Ia mencari-cari sesuatu yang menarik. Menengok ke kanan dan kiri. Tak ada yang menarik. Hanya anak-anak yang terkantuk-kantuk juga seperti dirinya. Ia lalu merogoh laci meja. Sepertinya ia meninggalkan sebungkus permen kemarin. Mungkin masih ada disana. Lumayan untuk mengisi waktu. Saat ia mencari, ia malah menemukan sepucuk surat. Tanpa ada pengirim.
“ah palingan surat cinta picisan lagi. Bosan ah. Gak bisa apa bikin sesuatu yang lebih menarik? Udah gitu pake amplop yang dibeli di kantin lagi!” ia bergumam dalam hati. Tapi ia tak sampai hati menbuangnya langsung. Setidaknya dibaca sekali, baru dibuang, supaya tidak membuat kecewa. Kecewa si ibu penjaga kantin.
Ternyata isinya sebuah puisi.
            Kebun Bunga

Kadang kulihat kau cerah merona
Seperti bunga lili yang mekar di musim semi
Kadang kulihat kau kuat dan tegar
Seperti akar dandelion di musim dingin
Tapi sekaran kau telah berubah

Oh akane!
Kenapa ku melihat banyak kabut dimatamu
Tersimpan bagai polutan di danau rindu
Hitam. Pekat. Berbahaya
Menjatuhkan aku ke dasar neraka terdalam

Maukah kau, dengan segenap hatimu
Menjadikan aku penawar bagi jiwamu yang teracun
Yang tak pernah bisa kubiarkan walau hanya sekejap

Walau aku tak bisa menemukan sumber kegelisahanmu
Tapi aku kan terus bersamamu
Bersama kita mencari
Apa yang tercabik dari jiwa kita

Aku tahu karena akupun merasakannya
Rasa kosong yang tak pernah kosong
Yang mencerabut seluruh daya hidupmu
Membuat segalanya tampak semu dan asing

Aku tahu ini adalah perjalanan yang sangat berbahaya
Yang akan memangsa nyawa dan kewarasan kita dalam prosesnya
Namun aku tak perduli
Bila aku melakukannya bersamamu

Bersama kita akan menjelajah
Kebun bunga kehidupan
Yang tak hanya mempunyai bunga yang cantik
Tapi juga cacing dan kumbang yang terpendam

Maukah kau?

“Ini puisi apa sih? Mau ngajak gw kemana? Dan mau ngapain? Emang gw keong racun diajak kemana aja oke??”
 Akane menggerutu dalam hati. Namun, walaupun agak kesal, ia juga mengakui penulisnya benar. Ia memang agak resah belakangan ini. Keresahan yang tak terdefinisi. Bahkan oleh persamaan kalkulus sekalipun. Mempertanyakan pertanyaan yang paling muskil di dunia: apa itu cinta? Untuk apa ada cinta di dunia ini?
Pertanyaan ini terus menggema dalam hatinya. Membuatnya buta dan kehilangan arah. Akankah ia menemukan jawabnya?
                        -Bersambung......
 



- (oleh @hardashian - http://fromsciencetosocial.blogspot.com; http://penari-jalan-layang.blogspot.com)

No comments:

Post a Comment