Tentang 30 Hari Cerita Cinta

14 September 2011

Secangkir Kopi, Secangkir Coklat, Satu Cinta: Takdir


II. Keping Takdir

Royal Botanic Garden di bulan April masih diterpa hawa dingin yang lumayan membekukan. Setidaknya untuk ukuran Fadil yang terbiasa dengan hawa panas Jakarta hampir seumur hidupnya. Tapi, Fadil senang berada di taman ini walaupun harus mengenakan jaket. Suhu 14 derajat Celcius di sore yang berawan di Melbourne membuatnya sesekali menggigil.
Rombongan angsa hitam di tengah danau berbaris rapi. Salah satunya mengepakkan sayap. Fadil tersenyum. Kebebasan adalah salah satu hal yang paling berharga. Dan dia bersyukur bisa mengecap kebebasan itu, walaupun garis hidupnya tak terlalu hebat. Bagi Fadil, setiap detik adalah perayaan kehidupan.

Riak kecil yang ditimbulkan para angsa hitam membuyarkan pantulan dari pepohonan berusia ratusan tahun yang berjajar di pinggiran danau. Fadil selalu suka dengan suasana taman ini. Menenangkan. Di Jakarta, menemukan taman seluas ini di tengah kota, dengan danau di tengah-tengah taman yang dipenuhi dengan berbagai flora dan fauna adalah satu kemustahilan. Kota metropolitan lain berlomba membuat taman kota, Jakarta berlomba menggusur lahan hijau dan membuat mal-mal besar. Suasana tenang, udara segar, dedaunan yang terjatuh dari pohon, kepak sayap angsa dan burung, suara langkah kaki kijang dan rusa dan kicau riang dari balik pepohonan adalah hal yang wajar di taman ini, tapi mencari hal yang serupa di Jakarta adalah sia-sia, kecuali kalau berkunjung ke Kebun Binatang Ragunan.

Sepertinya jajaran orang-orang di pemerintahan kota Jakarta lebih peduli pada pembangunan hutan beton, mal, gedung bertingkat daripada membuat taman kota yang sejuk. Uang adalah salah satu faktornya. Taman versus Mal. Mana yang lebih menguntungkan?
Ah, sudahlah. Tak ada gunanya membahas paru-paru kota penyuplai oksigen versus pencakar langit penyuplai uang kas kota. Sudah jelas mana yang akan menang. Fadil tertawa miris, lalu duduk di bangku yang menghadap danau. Dia memenuhi paru-parunya dengan oksigen yang menyegarkan, yang masih tak tercemar oleh polusi.

Alam memberikan begitu banyak hal untuk dinikmati manusia secara gratis. Anehnya, kita malah lebih suka menghamburkan uang untuk udara dingin yang dihembuskan dari mal-mal yang berserakan. Padahal kita semua tahu, alam tetap akan menang melawan kecanggihan apapun.
Bangku yang menghadap ke arah danau adalah spot favorit Fadil dari dulu. Apalagi kalau sedang penat dan merasa sumpek dengan kerjaan, taman ini adalah pelariannya. Pernahkah mendengarkan bunyi jantung sendiri dan suara akal yang berlomba menghadirkan inspirasi? Taman ini lah tempat yang paling sempurna. Fadil sangat berterimakasih kepada Adil yang sudah mengenalkannya pada Royal Botanic Garden ini. Sebenarnya, Fadil berterimakasih ke Adil untuk hampir semua hal-hal indah yang terjadi dalam hidupnya. Bisa dibilang, dia berhutang nyawa pada sahabat sekaligus orang yang menjadi bos dan juga sudah dia anggap sebagai saudara. Fadil tersenyum lagi. Memikirkan, apa yang sedang Adil lakukan? Meeting di pusat kota dan memukau peserta tender, atau malah sedang berkelana sendiri?

Satu titik di langit mendung terlihat semakin jelas. Fadil memicingkan matanya, berusaha mengenali titik itu. Sesaat kemudian, warna merah, kuning, hijau terang dan orange menjelma. Parasut! Siapa yang segila ini main terjun payung pada suhu 14 derajat Celcius? Makin lama, parasut itu melayang makin dekat. Kelihatannya akan mendarat di salah satu bagian di taman ini. Tiba-tiba Fadil teringat, Adil kan juga suka main terjun payung? Kalau Adil sudah menginginkan sesuatu, dia nggak kenal waktu. Apa yang dia inginkan harus dia dapatkan saat itu juga. Jangan-jangan…

Fadil terus memperhatikan parasut yang kini melayang makin rendah. Tapi, dia masih belum bisa melihat wajah orang yang terikat pada tali temali parasut itu. Kalau orang itu tak segera melakukan manuver, pasti dia akan mendarat di tengah danau. Dan benar saja dugaan Fadil. Diiringi dengan bunyi ceburan keras yang mengagetkan angsa-angsa di danau, satu sosok terjatuh, diikuti dengan parasut besar yang menutupi danau dengan aneka warna cerah. Burung-burung yang hinggap di pohon di sekitar danau mengangkasa dengan suara berisik karena terganggu dengan kehadiran mahkluk asing di tengah danau.

Fadil terus menunggu. Tapi tak ada orang yang berenang ke tepian. Parasut warna warni kini perlahan mengempis. Air danau mulai membasahi parasut itu, dan perlahan bentuknya mengecil, seolah terhisap masuk ke dalam danau. Fadil tambah khawatir. Siapa orang gila di tengah danau? Kenapa dia nggak segera berenang ke tepi? Karena tak melihat gerakan apapun, Fadil membuka shawl ungu tuanya, melepas sepatunya dan jaket tebalnya, lalu tanpa ragu terjun ke danau!

Air danau yang dingin seketika membakar kulit Fadil. Dia berenang secepat yang dia bisa, menuju parasut yang kini mulai terisi air dan perlahan tenggelam. Dalam hati, Fadil mengutuki dirinya sendiri yang mau-maunya menderita begini untuk menyelamatkan orang yang mungkin tak dia kenal. Sesaat Fadil menyesali keputusan impulsifnya terjun ke danau. Ribuan jarum serasa menusuki kulitnya. Dingin yang begitu mencucuk sampai membakar. Dia terus bergerak, berhenti sebentar untuk menarik napas dalam-dalam dan akhirnya menyelam di satu titik yang dia perkirakan tempat manusia berparasut tadi tenggelam.

Fadil tak bisa melihat dengan jelas. Sinar matahari yang terhalang mendung tak bisa menembus air danau yang gelap. Tapi samar-samar, Fadil masih bisa melihat satu gerakan kecil. Dia menyelam lebih dalam lagi. Dinginnya air mulai tak tertahankan. Fadil memaksakan dirinya terus bergerak. Satu sosok manusia terkulai lemah terbelit tali parasutnya sendiri, melayang di tengah danau. Tak bergerak, kedua lengannya terkulai di samping badannya. Fadil berenang lebih cepat lagi dan dengan susah payah berusaha membebaskan manusia itu dari tali parasutnya. Udara terdesak keluar dari paru-paru Fadil saat dia menyadari orang itu adalah Adil!

Fadil bekerja lebih cepat. Persediaan oksigen di paru-parunya mulai menipis. Seluruh tubuhnya mulai menjeritkan protes karena kekurangan oksigen. Fadil menyentakkan tali terakhir yang membungkus Adil dan segera menariknya ke atas. Paru-paru Fadil mulai membakar, seluruh tubuhnya menuntut udara segar.

Kembali memandang langit mendung dan merasakan terjangan oksigen yang berlomba memasuki paru-parunya barangkali akan menjadi satu hal yang terus Fadil ingat. Dia masih harus berjuang membawa tubuh Adil yang lemas ke pinggir danau.

"Dasar tolol. Kalo lo sampe kenapa-kenapa, gue akan kulitin elo dulu sebelum gue kubur, Dil!" Fadil merutuki Adil sambil berenang dengan napas yang terengah-engah. Adil masih terkulai lemas, tak bergerak sama sekali.

Emosi Fadil makin memuncak saat Adil dia seret ke pinggir danau, tergeletak di rumput yang kini basah. Wajah Adil sepucat hantu, tak ada napas sama sekali. Fadil segera berjongkok di sampingnya, berusaha mengabaikan dingin yang kini makin menjadi karena hembusan angin. 
Fadil mengigil, lalu menekankan kedua tangannya kencang-kencang ke arah dada Adil.

"Ayo, bangun, Dil! Gue gak mau liat elo mati konyol begini. Pengusaha muda mati terlilit tali parasutnya dan kehabisan napas karena tenggelam di danau nggak akan membuat headline news yang bagus. Lo akan dicemooh dan ditertawakan! Bangun!"

Fadil terus menekankan tangannya, berulang-ulang, berharap pada satu keajaiban bahwa Adil akan bernapas lagi. Tapi usahanya sia-sia. Adil tetap lemas tak berdaya. Matanya tetap terpejam. Fadil dilanda ketakutan.... 


Bersambung.



- (oleh @aMrazing)

No comments:

Post a Comment