Tentang 30 Hari Cerita Cinta

16 September 2011

Wildan (Lagi)

"Kamu lagi apa, Haps?"
Aans berdiri di depan pintu kamarku yang tidak kututup. Tangan kanannya memegang benda keramat sejuta umat, blekberi, sedang tangan kirinya menganggur. Duh itu tangan kiri, bisa dipake buat pegang gagang sapu tuh, biar ga nganggur… Nyapu-nyapuuuu gitu…
"Woi, lagi apa? Ditanya malah ngelamun…" katanya sambil nyelonong dan merebahkan dirinya di kasurku. Dari setelannya yang cuma pakai celana pendek kotak-kotak warna biru dan hitam serta kaos warna putih dengan tulisan "Radiohead" warna merah di tengah-tengahnya, dia tidak berencana keluyuran. Tumben. Padahal hari Minggu pagi begini biasanya udah berenang di lautan manusia di Car Free Day Dago sama temen-temennya.
Lalu dia mulai mengotak-atik blekberinya. Aku kembali menatap laptopku setelah tadi sempat teralih oleh kehadiran Aans yang ga jelas maunya apa. Padahal kalau nganggur gitu kan bisa sambil nyapu-nyapu gitu…
"Nulis ya? Baca dong, Haps… Bosen nih gue…"
Nyapu aja sih! Daripada bosen!
Aans lalu bangkit dan ikut duduk leseh di sampingku, seolah tidak bisa mendengar jeritan batinku. Tanpa basa-basi, dia memberi isyarat padaku untuk menyingkir dari depan laptop supaya dia bisa puas dan nyaman saat membaca tulisanku. Aku menurutinya, menyingkir, berdiri, dan merebahkan diri di kasur sambil memikirkan rumah yang belum kusapu.
"Apa nih? 'Suatu Ketika Di Suatu Hari'? Judul yang aneh.." komentar Aans saat membaca judul tulisanku. Begitulah Aans, walau dia kalong, eh cowok, tapi dia tidak pernah menertawakan hobiku yang suka menulis-nulis. Malah dia suka membacanya, walau tulisanku masih amatir, tapi dia tidak pernah memperlihatkan wajah bosan saat membaca ceritaku. Romantis sih... Tapi lebih romantis lagi kalau dia nyapu… Ah susah deh punya mental babu kaya aku.
FYI, tulisanku memang sudah menumpuk di suatu folder di laptop sejak lama dan tidak pernah kupublikasikan di dunia maya. Aku menyimpannya untuk diri sendiri, dan kubagi hanya untuk orang-orang yang benar-benar dekat denganku, karena aku tidak siap mendengar komentar atau tawa meremehkan orang lain setelah membaca tulisanku. Aku bukan orang yang percaya diri, singkatnya. Aku benar-benar bukan orang yang memiliki sifat percaya diri, panjangnya.
"Haps…" panggil Aans, menandakan dia sudah selesai membaca tulisanku yang masih belum selesai itu. Dari wajahnya, terlihat Aans sudah gatel ingin mengomentari tulisanku. Aku mendudukkan diriku di kasurku, "Kata Wening sih cerita itu kaya cerita cinta yang ga romantis dan cerita komedi yang ga lucu…" kataku sambil memeluk gulingku.
Aans terlihat tidak peduli dengan komentar Wening yang barusan kuucapkan, "Suka banget ya kamu sama si Wildan-Wildan ini?"
Aku bengong. Tulisanku yang berakhir di 'Untuk pulang?' itu sama sekali tidak dikomentari si Aans. Aans malah terlihat lebih tertarik dengan perasaan dibalik tulisanku itu.
"Dan… Kamu ngasih judul 'Suatu Ketika Di Suatu Hari' ini karena ini harapan kamu ya? Kamu ga bisa nentuin waktu yang tepat karena kamu sendiri sebenernya ga tau bakal kejadian atau ga, kan? Bener ga?" tambah Aans, akhirnya mengomentari tulisanku.
Duh. Isi komentar tentang tulisanku sih kurang lebih sama dengan komentar Wening. Apa segitu jelasnya ya? Harapanku pada Wildan di tulisanku itu. Harapan untuk menjadi kekasihnya? Tapi tidak berani benar-benar berharap karena Wildan itu temanku. Dan yah… Wildan pun memandangku hanya sebagai temannya juga.
Aku menaruh gulingku di kasur lalu duduk bersila di depan Aans, "Aku sama Wildan itu kenalnya sudah 6 bulan, A… Tapi aku ngeceng dia baru 2 bulan terakhir…"
"Kenapa bisa ngeceng tiba-tiba hayoh?"
"Aans yakin mau denger cerita aku? Ga ada acara?"
"Halah, santei, Haps… Kamu aja bersedia nunggu Aa pulang malem-malem, masa Aa ga bisa ngeluangin waktu buat denger cerita kamu?"
Sebenernya lebih tepat "terpaksa" sih daripada "bersedia".
"Jadi kenapa kamu bisa tiba-tiba ngeceng Haps?" tanya Aans terlihat tertarik, "Eh bentar ada BBM masuk, bentar dibales dulu bentar… Bentar, Haps…" kemudian dia sibuk memencet keypadnya sambil menggumankan apa yang dia ketikkan, "Ka… leum… bray…  Keur… ri… weuh…" lalu dia menaruh blekberinya dan kembali menatapku dan masih memperlihatkan wajah yang tertarik dan siap mendengar ceritaku.
"Aans inget Herdi?"
"Herdi? Mantan kamu yang punya mantan yang udah pacaran dengannya selama lima tahun terus putus gara-gara mantannya selingkuh terus ketemu kamu dan jadian sama kamu selama beberapa bulan yang akhirnya dia mutusin kamu gara-gara masih sayang sama mantannya dan pengen balikan itu? Ga… Ga inget. Kenapa?"
Aku memasang muka males, "Aans…"
Aans tersenyum cengos, "Ingetlah inget… Kenapa?"
"Dua bulan yang lalu, pas baru diputusin banget sama Herdi lewat BBM, aku baru selesei kuliah. Wening lagi ga masuk waktu itu, soalnya ada saudaranya nikah di Padang. Yah, namanya juga diputusin, A… Pengen nangis tapi ditahan-tahan dan ga ada temen yang bisa nemenin nangis. Dan sama temen-temen sekelas yang lainnya sih aku kan ga begitu akrab…"
"Mau nangis kok milih-milih? Dasar cewe…" lalu Aans melihat muka yang kembali terlihat males, "Lanjut, Haps!"
"Intinya waktu itu aku ga langsung pulang, tapi diem di toilet cewek. Kebetulan emang kelas seleseinya sore-sore dan gedung kuliah udah mulai sepi. Jadi nangis deh aku, A… Di toilet… Persis kaya Myrtle Merananya Harry Potter deh kerasanya… Nangisnya ga ditahan-tahan, bunyi gitu, kan mikirnya udah ga ada orang… Eh tau-tau, si Wildan nyelonong masuk, A! Toilet cewek loh itu! Toilet cewek!"
"Iya… Iya…"
"Terus udah gitu, A…"
***
Aku bengong.
Kamu bengong.
Tapi aku merasa menjadi orang bengong terjelek sekamar mandi di dunia. Mataku merah, maskaraku luntur oleh air mataku, membuat daerah sekitar mata bawahku hitam-hitam. Hidungku merah dan beringus. Rambutku abstrak karena sempat kuacak-acak sebagai cerminan hatiku yang sedang ga karuan. Dan aku sempat berpikir untuk mengirim surat protes pada siapapun yang menciptakan kalimat, "Cewek yang menangis itu cantik…" karena aku tidak merasa cantik saat menangis!
Dan sekarang dihadapanku berdiri kamu, seorang cowok yang kukenal selewat saja. Kamu, teman sekelasnya teman SDku yang kebetulan masuk fakultas yang sama denganku tapi berbeda jurusan. Kamu, yang kadang kusapa saat berpapasan juga yang pura-pura tidak aku kenal saat malas menyapamu. Kamu, yang tidak terlalu kuingat namanya. Kamu, yang ternyata menjadi kecengan banyak cewek-cewek. Kamu, cowok cakep yang sama sekali bukan tipeku.
Dan ya, kamu adalah orang bengong tercakep sekamar mandi di dunia. Berdiri mematung dan yang kamu lakukan hanya menatapku. Perlahan wajah bengong memudar dan digantikan oleh senyuman. Senyuman yang rasanya tidak pernah kulihat sejak teman SDku mengenalkanmu.
Senyumanmu membuatku tersadar dan dengan refleks menutup mukaku dengan kedua tanganku dan membalikkan badanku sambil berteriak, "Ini toilet cewek!!!!"
Kamu diam saja. Tidak menanggapi teriakanku yang bersifat mengusir. Lalu tiba-tiba aku merasakan tanganmu di pundakku, seolah memintaku tidak memunggungimu. Tapi aku tidak bergeming, aku tidak mau wajahku yang abstrak ini dilihat oleh siapapun, apalagi dilihat cowok yang tidak terlalu  kukenal. Dan tanganmu, sama keras kepalanya dengan aku, tidak mau menyingkir dari pundakku. Tidak ada yang mau mengalah.
Membuatku berpikir bahwa mungkin kalau aku berbalik dan kamu melihatku, kamu akan puas dan pergi. Puas menertawakanku lalu pergi menceritakannya pada teman-temanmu juga teman SDku. Dan rasanya dengan kondisi patah hati ini, aku sudah tidak peduli lagi. Jadi aku berbalik sambil membuka tanganku yang menutupi wajah abstrakku, lalu disaat aku membuka mulut hendak memaki dan mengusirmu, kamu menepuk-nepuk kepalaku dengan sangat lembut, seolah berkata, "Tidak apa-apa… Keluarkan saja..." Tidak ada tatapan mengejek di matamu melihat wajah abstrakku, justru tatapanmu sangat lembut dan ramah, selembut tepukanmu di kepalaku.
Aku mencoba menganalisis apa yang sedang terjadi disini, di toilet cewek ini. Tapi sakit hatiku akibat diputuskan pacarku membuatku terlalu lelah untuk menganalis. Yang ingin aku lakukan sekarang hanyalah menangis. Menangis dihadapan seseorang yang tidak terlalu kukenal. Yang masih tidak bisa kuingat namanya. Yang memergokiku sedang menangis dan berwajah jelek. Yang tidak berkata atau bertanya apa-apa. Yang menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut.
Dan aku menangis…
***


~ (oleh @melillynda)

No comments:

Post a Comment