Tentang 30 Hari Cerita Cinta

24 September 2011

Chemistry : 9

Him or Him? Part 1

L E A H
Ferdi menerobos masuk ruanganku tanpa permisi. Seperti tergesa - gesa. "Le, beneran elo lagi deket ama James?". Ini yang aku tidak suka dari orang Indonesia, kebiasaan mereka untuk ingin tahu urusan orang lain. "Fer, kalo masuk ruangan orang, bisa gak sopan dikit? Itu pintu fungsinya buat diketok." Aku mengatakannya tanpa mendongak sedikitpun dari laptopku.
Dan lucunya Ferdi mengulang kejadian tadi. Dia keluar ruanganku. Menutup pintu ruanganku pelan-pelan. Mengetuk pintu ruanganku. Menunggu kode dariku lalu masuk pelan - pelan. Aku tersenyum simpul. "Ada apa sih Fer? Penting banget yah topiknya?". Aku menutup tab-tab di laptopku.
"Elo lagi deket ama James yah?"
Aku tersenyum. "Kamu tau darimana?"
"Aku ini temen kamu. Lagian tembok-tembok di kantor ini bisa ngomong." Ferdi benar-benar penasaran.
"Cuma sebatas tukar senyum di kantin kok, gak lebih. Toh, minggu depan dia bakal balik ke negaranya." Aku menjelaskan. James adalah si bule ganteng. Jangkung. Tipe-tipe lelaki superior. Yang kalau kamu melihat lengannya, mereka seakan berkata ,"Come to me, baby. I can warm you up." James tak sesempurna yang kalian bayangkan. Usianya hampir setengah abad. Dua kali kawin cerai. Bukan tipe lelaki yang bisa kamu bawa pulang untuk dikenalkan pada orang tua sebagai calon suami masa depan.
Berbulan - bulan kemudian, hal yang berani dilakukan oleh James hanyalah bertukar sapa di kantin. Begitu dia kembali ke Hamburg, barulah dia naik level dengan mengirim message via facebook. Bertukar cerita. Mengomentari status dan foto-foto. Lalu, bertukar alamat email. Dimulailah drama - drama panjang. Cerita - cerita lucu antara James dan aku.
"Kak Lila perhatiin kamu sekarang konsen banget kalo ngebales email di blackberry kamu. Biasanya kamu paling anti kalo harus reply email abis jam kantor."
"Email dari temen jauh kak."
"Jauh sedarimana?"
"Hamburg."
"Si bule?" Kak Lila menanti penegasan. Aku mengangguk. "Iya,si bule."

A D R I A N
Kemajuanku dalam mendekati Leah benar - benar pelan. Tapi,statis. Aku berani menyapanya langsung. Meminta nomor telepon. Tapi,aku cemburu. Pada blackberrynya. Leah lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menekan keypad berwarna putih itu. Lalu, tersenyum lebar. Aku akui aku menikmati senyum cantik itu.
Susah sekali mengajaknya keluar. Tiap kali kukumpulkan keberanian. Dia hanya meng-iya-kan sopan. Tak cukup bagiku.
"Leah itu emang begitu. Sopan. Gak bisaan. Bawel. Tapi pada dasarnya pendiem". Ferdi berceloteh panjang lebar.
"Pendiem?"
"Iya, sangat pendiem. Gak bakal ngomong kalo gak ditegur duluan. Makanya cenderung dianggap arogan."
Rupanya aku tak banyak tahu tentang Leah. Aku juga suka memperhatikan mata Leah. Mereka berbicara padaku.


~ (oleh @WangiMS)

No comments:

Post a Comment