Tentang 30 Hari Cerita Cinta

24 September 2011

#12 Nostalgia

Nostalgia.. Nostalgia..
“Sumpah seneng banget aku di sini lagi.. huaaaa”. Itulah kalimat pertamaku ketika sampai Kaliurang.
Kaliurang adalah daerah favoriteku sewaktu di Yogya, dari mulai SD sampai mahasiswa, bahkan hingga kini aku masih selalu mencintai daerah ini. Jadah Tempe, Sate kelinci dan wedang ronde hangat benar-benar sajian istimewa disana.
“Nay, kita ke Air Terjun yuk”, Ucapku pada Naya.
“Hahh.. tapi naiknya males len, kita disini aja yah.. yah.. hehehe”, Jawab Naya sambil nyengir diikuti kepang kuncir kudanya yang melambai terkena tiupan angin yang sudah mulai dingin pada sore itu.
“Ahh.. payah kamu, tenang aja nanti aku gendong deh kalo capek.”, protesku.
“Kalo gendongnya dari sekarang mau.. hihihihi”, canda Naya.
“Oke, sini. Cepet naik”, tantangku.
“Len cepetan dong jalannya.”, Kata Naya sembari terkikik.
“Haduhh sayang kamu kok tambah berat banget sih??”, Ujarku tak mau kalah.
“Apa??kamu ngeledek aku ya Len”, Sahut Naya sambil mencubit pipiku.  Aku gendonglah Naya dari mulai pintu masuk sampai ke air terjun.
Selepas berbasah-basahan ria, Aku dan Naya turun meninggalkan Kaliurang ke arah Yogya. Mengingat aku dan Naya tidak lama-lama berada di Yogya, jadi tau dong tempat mana yang Naya ributin dari tadi pagi ketika pertama kali bangun, Malioboro. Haduhhh dasar emak-emak.. hehehe.. (Maff ya Naya sayang.. =p)
Jadilah aku menggendong Naya, masa bodohlah dengan perhatian orang yang melihat aku menggendong Naya. Mungkin apabila tidak tahu, orang akan menyangka ada seorang kakak menggendong adik kecilnya, atau seorang paman mengendong ponakan wanitanya dan mungkin ada yang menganggap aku sedang menggendong anaku. Hahaha. Apalah artinya rasa malu dibanding tawa ceria yang keluar dari seseorang yang sangat aku sayang.
Sebenarnya kami sudah keluar dari rumah jam 10.00 siang tadi, agendaku hari ini benar-benar sepenuhnya untuk nostalgia ke tempat-tempat yang dahulu sering aku dan Naya hampiri ketika pacaran.
Tempat yang kami tuju pertama kali adalah Taman Sari, Taman Sari adalah sebuah kompleks pemandian Raja Kraton Kasultanan beserta permaisuri. Bangunan ini sepintas lebih terlihat seperti taman yang dikelilingi kolam air yang begitu indah, benar-benar eksotis, romantis dan mistis. Letaknya yang tidak jauh dari alun-alun kidul Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat secara langsung benar-benar member tanda bahwa bangunan ini memiliki peran yang penting bagi kehidupan sosial dan pribadi anggota kerajaan. Tempat ini menurut historis dibangun pada tahun 1758 hingga 1765 pada masa Pemrintahan Sultan Hamengkubuwono I dan dipercaya dibangun oleh seorang arsitek asal Portugis  yang terdampar karena kapal yang dinaikinya terhempas oleh angin badai, dikemudian hari orang Portugis ini lebih dikenal dengan nama Demang Tegis. Gaya bangunan yang disajikan pun benar-benar eksotis, ada empat bagian yang terdapat disana, bagian pertama adalah danau buatan yang terletak di sebelah barat. Bagian selanjutnya adalah bangunan yang berada di sebelah selatan danau buatan antara lain Pemandian Umbul Binangun. Bagian ketiga adalah Pasarean Ledok Sari dan Kolam Garjitawati yang terletak di selatan bagian kedua. Bagian terakhir adalah bagian sebelah timur bagian pertama dan kedua dan meluas ke arah timur sampai tenggara kompleks Magangan. Menurut catatan Taman Sari efektif digunakan antara tahun 1765 hingga 1812, sudah cukup lama kompleks pemandian ini tidak digunakan oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak bagian kompleks yang saat ini sudah tidak utuh lagi seperti aslinya.
Sedangkan sisi romantis yang menyeruak dari Taman Sari dapat tererkam dari fungsi dan gaya arsitektur yang terlihat disana, tepatnya di Pasarean Ledok Sari. Sebenarnya bagian ini termasuk bagian yang tidak utuh sepenuhnya, akan tetapi berdasarkan tinjauan historis dan arkeologi dapat disimpulkan bahwa Pasarean Dalem Ledoksari ini merupakan tempat peraduan Sang Raja. Disimpulkan seperti ini karena bentuk bangunannya, Pasarean Ledok Sari berbentuk seperti U. Di tengahnya terdapat tempat tidur Sultan yang di bawahnya mengalir aliran air. Sisi mistis juga sangat terasa di area ini, di salah satu bagian ada bagian yang disebut Pulau Kenanga karena di halaman depan gedung tumbuh pohon Kenanga. Bunga Kenanga menyebarkan bau yang harum ke seluruh bagian taman. Untuk sebagian orang Jawa bau-bauan yang ada juga banyak dipersepsikan dengan tempat-tempat keramat yang didiami oleh makhluk kasat mata, dan bau kenanga begitu juga melati dipercaya menandakan bahwa yang berdiam disana bukanlah makhluk kasat mata yang sembarangan atau dapat dikatakan ruh leluhur. Selain itu fungsi lain bangunan ini juga dikatakan sebagai area meditasi dan beribadah para Raja Kasultanan Yogyakarta, sehingga dapat disimpulkan area ini banyak merekam pergerakan energi positif (bayangkan energi seorang Raja, dimana dalam masyarakat Jawa Raja merupakan simbol pemerintahan dan wakil Tuhan di Bumi). Sesuai dengan hukum energi yang kekal, jadilah area itu masih dirasakan penuh oleh energi positif yang tidak sembarangan. (Wuih berubah jadi ahli metafisika tampaknya aku.. hahaha)
Oke cukup deh cerita Taman Sarinya, kali ini aku mau bercerita tentang Kaliurang.. hehe
Kaliurang terletak di bagian utara kota Yogyakarta, daerah ini pertama kali ditemukan oleh beberapa orang Belanda (salah satunya ahli geologi) yang rindu akan hawa sejuk negeri asalnya dan mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat. Mereka berjalan menyusuri daerah sepanjang utara terus ke arah dataran tinggi, tepat di kaliurang itulah mereka semua berdecak kagum dan terpesona akan keindahan alamnya. Kondisi dahulu (awal mula ditemukan oleh meener )hinggasekarang mungkin sudah jauh berbeda, aku membayangkan kaliurang pada saat itu masih dingin, sejuk, pastinya sepi dan tenang. Saat ini kaliurang sudah banyak berias, tempat ini sekarang sangat cocok untuk rekreasi keluarga, ketenangan masih terasa disana.  Selain kondisi alamnya yang luar biasa, sebenarnya Kaliurang juga menyimpan potensi pariwisata lainnya. Goa Jepang, Museum Budaya Jawa Ullen Sentalu hingga wisma kaliurang yang sangat legendaris, Wisma Kaliurang merupakan saksi bisu jejak sejarah Bangsa Indonesia. Tepat pada 13 Januari 1948, wisma yang sebagian masih merupakan bangunan berarsitektur Belanda berumur puluhan tahun itu terjadi perundingan khusus antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Belanda yang diwakili Komisi Tiga Negara (KTN). KTN terdiri dari perwakilan negara Belgia, Australia, dan Amerika Serikat. Dari perundingan tersebut dihasilkan kesepakatan bersama antara RI dan KTN yang disebut dengan Notulen Kaliurang. Sedangkan Museum Ullen Sentalu merupakan museum yang berisi kebudayaan dan nilai-nilai kehidupan Jawa. Keberadaan museum ini cukup unik, sebagian besar bangunannya berada di bawah tanah. Museum ini banyak mengangkat cerita putri-putri Keraton Solo maupun Yogyakarta dari mulai masalah umum hingga kehidupan percintaannya. Koleksi batik, lukisan dan benda-benda bernuansa etnis Jawa di museum ini benar-benar jempolan dan orisinil, memasukinya kita bagaikan berada di tengah-tengah kehidupan Keraton di abad 18 hingga 19. Bagi yang belum pernah, aku sih menyarankan untuk datang kesana. Kalo Naya sih luar biasa senangnya waktu aku ajak kesini, hobby-nya yang seputaran membatik ditambah cerita-cerita putri Keraton yang sangat elegan benar-benar menjadi daya tarik bagi perempuan masa kini tidak terkecuali Naya.
“Len.. Besok kalo punya rezeki kita bangun rumah kayak gini ya.. ya..”, Ucap Naya yang aku pun tidak mengerti dia serius atau tidak.
“Pasti Nay, kali ini aku ya yang ngonsepin bentuknya”, sahutku.
“Amieeeennn..”, Jawab Naya cepat dan keras, sehingga membuat banyak orang memalingkan wajah ke arah kami.
Sebenarnya disini aku tidak leluasa, di museum ini banyak sekali larangan untuk mengambil gambar. Jadilah kameraku sedikit nganggur saat itu.
Menjelang maghrib kami turun meninggalkan Kaliurang ke arah Yogya. Mengingat aku dan Naya tidak lama-lama berada di Yogya, jadi tau dong tempat mana yang Naya ributin dari tadi pagi ketika pertama kali bangun, Malioboro. Haduhhh dasar emak-emak.. hehehe..
Tanpa mengurangi rasa hormat rasanya aku sudah “bosan” dengan yang namanya Malioboro, bukan karena sejarahnya mungkin karena aku tidak terlalu suka belanja dan Malioboro dari tahun ke tahun selalu bertambah ramai. Dibalik itu aku sih selalu bersyukur dengan semakin ramainya wisatawan yang berkunjung ke Malioboro berarti kemungkinan besar dagangan yang dijajakannya bisa tambah laku. Kalau begitu berarti pedagang-pedagang disana secara tidak langsung dapat meningkatkan keuntungannya, semoga saja analisis sederhanaku benar. Amien.
“Aku mau cari batik Len untuk Oma Sandra dan baju surjan (baju khas masyarakat Yogya) buat Opa Frans, trus kamu juga cari batik Len kita seragaman yuk, eh sendal juga ya”, Cerocos Naya tanpa henti.
“Oke ayo kita cari”, sautku lemas.
Malioboro merupakan tempat nomor satu di Yogyakarta, jalan legendaris ini membentang lurus dari Tugu ke arah Selatan hingga Keraton Yogyakarta. Malioboro bukan sekedar jalan biasa, tempat itu seakan simbol dari segala bentuk kehidupan yang dinaungi oleh Yogyakarta sebagai sebuah kota. Malioboro tumbuh bersama berbagai macam komunitas yang bersandar ditubuhnya, Malioboro merupakan ruh yang turut menjaga terekamnya aktivitas ekonomi, sejarah, budaya, pariwisata dan kesenian di Yogyakarta. Dari sisi budaya dan kesenian Malioboro berdiri gagah bagaikan Montmarte di Paris. Malioboro membentuk kultur budaya khas Yogyakarta, banyak seniman-seniman besar negeri ini yang mengawali aktifitasnya disana, mulai dari Rendra (Penyair), Bakdi Sumanto (Sastrawan), Motinggo Busye (Penulis), Fajar Sidik (Pelukis), Danarto (Pelukis dan Penulis), bahkan Romo Mangun dan masih banyak lagi yang sekadar berdiskusi dan menghasilkan karyanya disepanjang jalan itu. Sedangkan dari segi ekonomi Malioboro memang di desain langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk menjadi sebuah kawasan perdagangan, pada tahun 1758 kawasan ini dilengkapi dengan pasar tradisional, dikemudian hari pasar ini dikenal dengan Pasar Beringharjo (salah satu tempat favorite Naya). Semua itu membentuk sejarah tersendiri bagi Malioboro sebagai sebuah jalan, belum lagi peristiwa-peristiwa heroik yang terjadi disana pada masa-masa penjajahan Belanda khususnya ketika Agresi Militer.
Saat ini Malioboro banyak berubah akan tetapi kenangan dan rekam jejak masa lampau masih sangat dirasakan hingga saat ini, modernisasi yang masuk bisa juga terfasilitasi olehnya. Lesehan di Malioboro dapat berdiri sejajar dengan restoran-restoran modern, Sepeda onthel masih memiliki jalan khusus disini, andong dan becak juga masih menghiasi tepian jalannya dan tidak bersinggungan baik dengan motor, mobil dan busway. Belum lagi jika kita bicara fenomena Pasar Kembang dan kaitan eratnya dengan stasiun Tugu, atau bercerita tentang posisi Vredeburg yang sangat tidak jauh dengan Keraton dan Gedung Agung, Peristiwa pos besar atau minuman lokal pajeksan. Hahahaha. Rasanya tidak akan ada habisnya, dan aku tidak mau kuliah di tulisan ini.
Aku sudah tahu pasti akan lama nih di Malioboro.
“Nay tapi kita makan dulu ya, pleaseee. kamu pasti lama nih muter-muternya”, Kataku.
“Hmmm.. sudah kelaperan toh mantan pacarku ini. Hihihi.”, jawab naya sedikit meledek.
“Oke kita makan dulu deh, lesehan aja ya Len”, lanjut Naya.
“Siap sayang, apa aja deh”, sahutku sembari masuk ke salah satu lesehan disana.
Sudah dulu ya kami mau makan dulu.. hehehe.
-Malioboro-

Nalendra Jaleswara


~ (oleh @sthitapradipta)


No comments:

Post a Comment