Tentang 30 Hari Cerita Cinta

24 September 2011

HONEST #7

Kantin, 40 menit setelahnya...
Jazzy benar-benar datang tepat waktu. Walau sebenarnya aku lebih berharap dia datang nanti-nanti. Kalian bisa yakinkan diri kalian, bahwa tampangku sama sekali tidak enak dilihat.
Jazzy duduk di hadapanku dan langsung memesan sebotol air mineral. Aku tau, sejak di ujung jalan tadi, dia sudah merasa tidak nyaman dengan raut wajahku. Matanya masih mencoba mencari cerita dalam garis wajahku.
"Masih bete ya? Aku minta maaf ya, harusnya aku nggak perlu sms kamu. Lagi juga kan ini nggak sepenuhnya salah aku. Kita bagi dua deh ya betenya." Dia berusaha merayu dan itu sungguh luar biasa.
Aku mencoba menanggapinya dengan memberi sebuah senyum. Tapi raut mukaku justru semakin mengerikan.
"Ada apa Sera?" Sekarang, kulihat dia mulai tedak enak hati. See, aku memang tidak pernah mampu berpura baik-baik saja. Aku begitu tidak berbakat dalam berbohong. Sulit sekali mencoba membohongi orang lain, bahkan orang yang begitu amat kucintai. Sekedar untuk menjaga perasaannya.

Aku menatap mata Jazzy, coklat pekat. Kulihat setupuk kesabaran di dalamnya. Tuhan, aku begitu ingin ditatap mata itu sepanjang hidupku.
"Ada apa-apa memang. Tapi itu bukan masalah besar. Lagi pula saat ini aku sedang mencoba untuk mengatasinya. Sabar sedikit lagi saja oke, yang penting ini bukan karena kamu. Kamu harus tetap sms aku!" Aku mencoba menjelaskan. Dan dia hanya mengangguk sembari menenggak air mineral pesanannya. Jazzy, bukan lah tipe pria yang suka mengorek-ngorek masalah. Dan itu bagus.
"Jazzy." Aku memanggil namanya.
"Ya." Jawabnya sedetik kemudian. Setelah berhasil menelan air mineralnya dengan sempurna.
"Makasih ya." Mataku menerawang dan aku mulai melamun.
"Makasih karena sudah dateng kesini untuk meyakinkan keberadaanku. Aku benar-benar bahagia. Selama ini nggak banyak orang yang menyadari keberadaanku. Mungkin ini sesuatu yang sepele. Tapi kadang bikin suasanan hati jadi tidak baik." Lanjutku dan sekarang aku menengadah padanya.
Jazzy hanya mengangguk. Aku masih menatapnya, dan dia sedang berusaha mencerna situasi tidak biasa ini. Sekarang aku mulai menitikkan air mataku dan Jazzy pun langsung menyadarinya.
Lucunya, pria pendiam itu justru kebingungan dan tak tau harus melakukan apa. Aku menangis seperti anak kecil di hadapannya. Di hadapan manusia-manusia lain.
Aku memilih menangis dalam diam. Aku hanya tidak bisa berpura sedang tidak ingin melakukannya.
Tahun-tahun sebelumnya biasanya aku lari ke toilet umum dan menangis di dalam biliknya, sendirian. Menyedihkan.
Aku begitu merindukan ibuku. Aku rindu sekali padanya. Setidaknya tahun ini jauh lebih baik, aku tidak lagi perlu menangis seorang diri. Ada dia, yang memang bukan siapa-siapaku saat ini. Tapi nyatanya sekarang dia duduk di hadapanku. Tanpa harus kupaksa lagi.
Aku begitu menghargai kenyataan ini. Sangat menghargainya Tuhan.


~ (oleh @falafu)

No comments:

Post a Comment