Tentang 30 Hari Cerita Cinta

24 September 2011

Sepenggal Lagu Untuk yang Merajai Hati

Tanpa pikir panjang aku beranjak, walau dengan tenaga yang masih melemas. Aku mengambil gitar, secarik kertas dan pena. Aku tak perduli apa yang akan terjadi nanti setelah aku menolak keinginan kankerku. Aku hanya ingin bebas!
Lepas!
Menjadi manusia yang biasa. Meski aku tau jalanku tak begitu biasa.
Semoga mama masih sibuk dengan masakannya di dapur, sehingga suara gitar dan suaraku redam oleh kegiatannya.
Aku mulai memetik gitarku, perlahan. Ada begitu banyak kata-kata dan sebias nada-nada yang melintang di otakku, juga hatiku. Kucoba padukannya jadi satu.
"Kumengerti dunia tak lagi menjamah eratku
Kusadari nafas ini menyesakkan bagiku
Izinkan aku sekali saja menatap matanya
Merasakan hadir di dekat dekapnya.
Kuyakini nanti akan ada di sudut dunia
Menantiku, mengharapkan bahagia abadi
Dan aku akan lari, merambah indah lurus detakku
Tampakkan bahwa ku mampu berpijar
Akulah insan biasa, menjalani pedih yang tak kumengerti
Terbelenggu setiap sudut gelisah
Tanpa ada pilar yang menuntunku
Dan aku kan bertahan, melibas habis luka yang meraja
Menyentuh aksara yang sempat kulepas
Mendekap setetes bara bahagia
Meski kan harus kuakhiri detakku dengan luka
Sungguh harus kuterima dengan lepas
Aku mencintai sempat menjadi bagian darimu.
Merasakan menjadi yang hidup dalam hatimu
Biarkanku lepas, menatap gemerlap dunia semu
Izinkanku terlelap di pangkuanmu
Mendekapmu di akhir hembusku"
Itu, hanyalah serangkaian kata-kata. Yang kuberi nada. Lantas kusematkan tangkai cerita. Sepenggal lagu untuk yang merajai hati. Mereka-mereka yang menyimpan sebongkah cintanya di hatiku.
Kurekam paduan gitar dan laguku bersamaan di sebuah alat perekam suara. Aku ingin lagu ini abadi. Bagaimanapun aku nanti.
Aku meletakkan gitarku di tempat semula.
"Vina, nih! Makan dulu, ya..." Aku terkejut, ternyata mama sudah di depan pintu. Tanpa pemikiran panjang, aku memasukkan alat perekam itu di saku celanaku.
"Eh, iya, ma. Makasih, ya..."
Mama baru saja meletakkan nampan berisi bubur itu di meja kecil samping ranjangku, aku sudah kesulitan menerima oksigen lagi.
"Mama..." Tanganku berusaha menggapainya. Namun tidak bisa. Aku lemas. Aku jatuh seadanya.
Mama panik, ia meraihku secepat yang ia bisa. Gelas di tangannya terjatuh ke lantai, pecah menjadi berkian-kian keping. Seolah mewakili pecahnya tangis mama.
Aku tak begitu tau lagi apa yang terjadi. Sesaat, meski semua terasa gelap, aku masih bisa merasakan sentuhan dan suara-suara yang ada. Aku bisa merasakan mama merengkuhku. Aku bisa mendengar mama menangis. Aku merasa, mungkin seperti aku dibawa keluar, lalu turun. Lalu sisanya, menyimpan tanda tanya bagiku. Aku tak lagi bisa merasakan semua. Aku seakan benar-benar lemah. Seperti orang yang diberi obat tidur dosis tinggi, dibius.
Mama, maafkan aku. Aku tak seharusnya memaksakan diri merangkai lagu itu...


~ (oleh @LandinaAmsayna)

No comments:

Post a Comment