Tentang 30 Hari Cerita Cinta

24 September 2011

Rekam Imaji #11


Jogja, Januari

Pelangi Sekar Sahari
Rasanya sepeninggalan Langit ada sedikit sesal, tapi aku
yakin tetap menempatkan Langit di sisiku akan lebih menimbun sesal dan berakhir
pada sesak. Lucu saja saat aku kerap menatap telepon genggamku yang biasanya
berbunyi tiap beberapa menit atau jam, dari Langit. Sekedar  menanyakan kabar, sudah makan belum,
menyemangati saat aku disibukkan dengan pekerjaan. Mungkin karna sudan menjadi
kebiasaan dalam beberapa lama hubungan kami.
Kalian tahu, sudah menjadi impianku menenggelamkan diri di
Jogja tanpa rutinitas yang selama ini hampir membuatku tidak bisa bernapas.
Menempuh pendidikan di Universitas sekaligus membagi luangku dengan pekerjaan
di antara tumpukan tugas dan pekerjaan sampingan lainnya. Kadang aku ingin
cepat-cepat berlari ke Jogja kalau saja aku tidak ingat kedua orang tuaku masih
membutuhkanku.  Ayah yang semakin tua
tidak akan rela ditinggal lama oleh putri satu-satunya ini. Walaupun aku
seringnya bekerja tidak berada di rumah, setidaknya aku pulang dan ayah bisa
melihat wajahku walau sebentar.
Sedang ibu yang selalu cemas, apakah aku sudah makan? Apa
sudah memakai jaket? Dan kecemasan-kecemasan lainnya yang membuatku terlanjur
bergantung padanya. Terbiasa mengecup keduanya, dan keduanyapun biasa dikecup
oleh putrinya. Apa kalian rasa seperti yang ku rasa? Menahan ego demi kedua malaikat
yang semakin menua? Keduanya adalah orang yang menyediakan telinga ketika kau
rasa semua orang tidak mau mendengarkanmu, menyediakan senyum ketika kau lelah
berpeluh bertarung dengan remehan banyak kepala, menyediakan mata ketika semua
berpaling, menyiapkan percaya ketika banyak orang yang menatapmu enggan, dan
terlebih...mereka  menyediakan hati tanpa
batas.
Ini pertama kalinya aku lama berada jauh dari ayah dan
ibuku. Sebut saja aku manja, tapi beginilah adanya aku...
Tiap kali keluar hotel aku hanya mengikuti ke mana langkah
kakiku membawa. Berjalan-jalan, memfoto sana-sini, mengobrol dengan pedagang
kaki lima, naik becak yang merupakan kendaraan favoritku, mengitari seputar
Malioboro, sampai merebahkan diri di antara lautan ilalang.
Pertama kali rasanya aku tidak terlalu memikirkan Bumi. Aku
tidak terlalu memikirkan apakah Bumi masih berada di Jogja atau tetiba bertemu
dengannya. Menikmati apa yang kini bisa ku nikmati. Kadang aku menemui bunda,
melihat-lihat apakah ada barang antik baru yang menarik. Seperti saat ini.
"Banyak aksesoris sama perhiasan ya, bun...". Kataku sambil
memperhatikan dengan seksama barang-barang yang baru saja datang, masih belum
dipajang, toko juga masih belum buka.
"Iya...sedang banyak yang mencari. Terutama pasangan-pasangan
muda."
Aku menganggukkan kepala. Mataku tetap teliti, mencari-cari,
tapi terlalu banyak yang menarik hati sedangkan aku susah sekali memilih.
"Emm..bun...ini baru semua?" Tanyaku sambil mengangkat kotak kayu berisi
gelang-gelang, kalung, cincin sampai anting-anting berdesain klasik.
"Iya, baru. Cucu bunda yang buat, dia pintar buat aksesoris.
Kalau yang benar-benar antik di kotak satunya."
"Terlalu banyak yang bagus bun...aku susah milihnya."
Bunda menghampiriku, ikut duduk di atas lantai kayu tempat
biasa kami bercengkrama. Sembari tanganku terus memasukkan kue coklat buatan
bunda ke dalam mulut.
"Sudah ikhlaskah?"
Aku melirik, tersenyum kecil. "Melepas Langit atau
keberadaan rasaku pada Bumi?" Aku terkekeh.
"Memang sungguh berbahaya...kecantikan pelangi bahkan bisa
membuat langit dan bumi berseteru. Semoga senja tidak ikut-ikutan dalam duel
ini."
Kamipun tertawa. Bunda menatapku penuh arti. "Kenapa bun?"
"Apa yang kamu cari sekarang pelangi?"
Aku terdiam. Berhenti mengaduk-ngaduk kotak kayu. Kemudian
menatap langit pagi.
"Di mana posisi Bumi kini ketika kau melepas Langit?" Tanya
bunda lagi.
"Itu yang aku cari bun...menelusuri petunjuk-petunjuk yang
tersimpan dlam Rekam Imaji. Mencari rasa apa sebenarnya di antara tumpukan
rindu."
"Masih menyiksa diri dengan rindu?"
Aku menggeleng. "Tidak...lebih lega rasanya. Aku menggenggam
rindu terlalu erat, hingga ia melindungi dirinya dengan perisai berduri. Jadi
ku regangkan saja, biar ia memilih...tetap tinggal atau meninggalkan. Aku tak
ingi terburu, mendesaknya, aku tidak ingin dia membuat perisai berduri
lagi...aku ingin dia percaya padaku...".
Ku tatap bunda yang tengah memandangiku dengan senyumnya
yang hangat. "Seperti kata bunda...bukan sekedar belajar, tapi juga
mengikhlaskan keberadaan cinta, hmm...ataupun rindu...".
"Bagaimana dengan Langit? Ah...ia begitu tampan dan
menggemaskan." Ujar bunda kemudian tertawa kecil.
"Haha...ya, Langit memang menggemaskan...".

Tiba-tiba mataku tertarik pada sepasang kompas tua berumah
kayu. Ku buka, jarum kompas berputar.
"Awalnya sangat berat, tapi akhirnya dia bisa menerima
keputusanku. Kami masih belum menghadap keluarga besar dan megumumkan
pembatalan pernikahan. Tapi Langit bilang akan segera menjelaskan, terutama
pada ibunya....". Ku hela napas panjang, seintas wajah ibunda Langit terbayang.
"Menghancurkan hati putranya...mungkin beliau tidak akan pernah memaafkanku."
"Tapi suatu saat dia akan bersyukur,...karena kamu tidak
menghancurkannya hingga berkeping."
Berulang-ulang ku mainkan sepasang kompas tua tadi.
Memperhatikan ukiran batik pada kayu pembungkusnya. "Sepasang...".



~ (oleh @NadiaAgustina)

No comments:

Post a Comment