Tentang 30 Hari Cerita Cinta

23 September 2011

Izinkan Aku Sekali Saja Menatap Matanya

Dan sekarang, semua semakin tak terkendali oleh sel-sel yang berkembang secara abnormal itu. Aku benar-benar sulit menerima pelajaran di sekolah. Aku harus bolak-balik ke kamar mandi hanya untuk membersihkan darah yang berserak tanpa kuperintah. Mungkin, memang pendarahan di paru-paruku semakin hebat. Kadang itu membuat dadaku seakan dililit. Seakan oksigen menolak mentah-mentah untuk bertandang ke paru-paruku.
Aku tak lagi berani mengetahui, atau bahkan sekedar memeriksa sejauh mana kankerku berkembang dan meluas. Aku tak sanggup. Memandang berapa kali jarum panjang arlojiku bergerak melewati angka duabelas pun mataku kelu. Setegar apapun aku menguat, ada kala aku merasa sebagai gadis yang lemah. Yang tertatih, seperti ikan yang kesulitan meraih laut setelah terhempas ke tepian pantai yang gersang.
***
Aku masih saja terpaku memandang idolaku di layar televisi. Terpampang namanya akan mengisi di suatu acara di televisi swasta, dekat-dekat ini. Sudah lama aku mencintai mereka, namun; tak sedetik pun aku sempat menatap mata mereka. Mama selalu melarangku, dengan alasan takut aku tak kuat mengikuti sepanjang acara. Apalagi, band idolaku ini adalah band yang bisa dikatakan dengan setarik suara bisa mengguncang gairah penonton untuk melompat-lompat. Tapi percayalah, aku tak selemah yang beliau kira.
Terkadang, aku iri ketika hampir semuanya berteriak 'aku merindukanmu!', sedangkan aku hanya bisa menderu, 'boleh aku menatapmu?'
"Vin, itu acaranya di mana?" Aku terkejut. Ternyata mama sudah berada di belakangku.
"Di Jakarta, ma."
"Kok kamu diam aja?"
Aku menoleh padanya, "Maksud mama?"
Mama tersenyum penuh arti, "Jarak Depok ke Jakarta deket, kan?"
"Hmm... Iya, dekat." Aku masih saja tak paham kata-kata mama.
"Nggak pengen ketemu mereka, nih?" Mama mendelik.
"Memangnya aku boleh? Tapi kata mama...?"
"Mama ngerti kamu, kok. Dulu mama juga seorang yang memiliki idola. Ambil bagianmu, besok."
"Mama... Mama serius?" Aku sungguh tergagap.
Mama mengerlingkan mata kanannya.
"Makasih, mamaaa..." Aku mendekapnya erat-erat.
"Ssttt... Simpan air mata kamu ketika ketemu mereka nanti. Hihi..."
Aku tersipu malu.
Keesokan harinya, sungguh aku tak sabar menerjang pagi. Aku akan bertemu idolaku bersama fans-fans di daerahku.
Dan, bagaimana aku tergagap saat menyapanya, bagaimana wajahku saat itu? Entah. Aku meneriakkan namanya, lalu ia menoleh. Benar-benar menatap padaku. Itu saat-saat bagaimana jantungku memacu deras. Sederas air mataku ketika aku memeluk erat dirinya.
Ia menatap lurus ke bola mataku. Dapat kurasakan halus tangannya menyentuh lenganku. Suaranya tertuju padaku. Kau tahu rasanya diajak bicara oleh seorang yang kukagumi sejak 3 tahun silam? Sulit diterjemahkan ke dalam kata-kata. Bahkan mungkin, rasa ini belum ternama.
Dan aku akhirnya diizinkan memeluk dan memberikan hadiah kecil untuk seorang gadis kecil nan jelita. Ia bukan personel dari band idolaku, tapi aku mencintainya sejak aku menatapnya dalam foto. Mungkin kalimat 'tak kenal maka tak sayang' masih melekat di pikiran yang lain. Tapi entah, pertama kali melihat dan mengetahui dirinya di dunia maya, aku menyayanginya. Dan, sekarang aku benar-benar menatapnya. Jika boleh meminta, aku ingin dunia berputar dengan kejadian ini saja. Agar aku bisa lebih lama merasakan hadir di dekapnya.
Tuhan, terima kasih telah mengizinkanku menatap mata mereka, yang kucinta...
***
"Gimana tadi?"
"What an amazing day, mom! Makasih, mama..." Aku memeluknya erat-erat.
"Iya, sayang."
Aku lemas tiba-tiba. Mungkin lelah.
"Vina!!" Mama berteriak ketika aku mulai kehilangan keseimbangan, juga pancaran cahaya di mataku meredup perlahan. Semua gelap.
Aku tak tau berapa lama aku tak sadarkan diri. Ketika aku bangun, aku sudah terbaring bersama mama.
"Sayang?"
"Mama, maaf. Vina mungkin nggak seharusnya maksain diri, tadi."
Mama menggeleng, ada sunggingan senyum kecil di sudut pipinya, "kamu nggak salah, sayang. Bagi mama, kamu memang pantas menemui yang kamu cinta. Mama juga dulu punya idola, kok. Mama ngerti yang kamu rasa. Gini-gini mama gaul, lho. Hihihi..."
Aku tau, mama hanya mencairkan suasana meski sebenarnya ia khawatir.
"Sekarang kamu istirahat, ya."
Mama beranjak mengayun daun pintu, lalu hilang dari pandangan.
Mengapa aku berbeda dari kawan-kawanku? Tanpa bisa kupungkiri, jiwaku berteriak demikian.
Aku tidaklah lemah! Terkadang kata-kata itu berkelebat sekilas di benakku.
Aku tak bisa diam mematung seperti ini saja! Terlalu bersahabat dengan sakit-sakit yang datang. Aku ingin sakit ini tak dirasa, meski aku memilikinya.
Aku ingin bernyanyi lagi!


~ (oleh @LandinaAmsayna)

No comments:

Post a Comment