Tentang 30 Hari Cerita Cinta

13 September 2011

Delapan #1

Senja yang amat lelah. Aktivitas sekolah yang full-day membuat raut wajahku tampak seperti benang dipilin-pilin tak teratur. Ditambah air mata bercucuran, yang aku pikir takkan ada habisnya sampai penyebabnya sendiri memerintahkan untuk berhenti. "Namanya juga cinta monyet, Yah. Paling sejam dua jam, sedihnya selesai. Udahlah, dibiarin aja nangis sampai puas. Masih mudha kok yo udah patah hati toh, Ndhok, Ndhook.. Jhas let it flow ajha githu loh!" Sayup-sayup ku dengar cibiran bunda, sambil terus berjalan secepat yang aku mampu. Memangnya mereka tak pernah seumuranku? Memangnya kalbu mereka tak pernah disinggah cinta? Apa yang salah dengan mencinta sesiapa? Bahkan aku tak peduli ini cinta monyet atau bukan. Aku cinta. Itu saja. Tuhan biarkan aku tenggelam dalam alam pikiran sendiri hingga tak lagi dengar omelan bunda yang sepertinya sudah padat merayap. Namanya Milan. Orang Sumatera Barat asli. Ayahnya orang Padang dan ibunya yang lembut bila bertutur, dahulunya adalah kembang dari sebuah desa di Batu Sangkar. Aku tidak tau persis dimana letak daerah-daerah itu. Libur yang lalu, aku memang sempat diajak ayah bunda ke Sumatera Barat. Tapi hanya mengunjungi Jam Gadang karena letaknya di ibukota, Bukittinggi. Dan aku hanya boleh mengelilingi kota itu. Omong-omong tentang Milan, dia adalah teman-beda-kelasku. Aku senang bermain dengannya. Dia akrab dengan siapa saja, termasuk tukang pel sekolah yang tiap pagi rangkap menjadi tukang buka gerbang. Malah aku pernah melihat Milan membantu membawa pel dari lantai 3 ke gudang di lantai 1. Dia, baik. Aku suka tiap kali angin antarkan suaranya masuk gendang telingaku. Logat Minangnya amat susah ditinggalkan.
Pernah saking marahnya pada adik kelas karena telah memecahkan jendela kelas dengan tak sengaja, ia berteriak-teriak di koridor menggunakan bahasa Padang, "Waang kalau ndak pandai main bola, usah dibuek ndak? (Kalau kamu ngga bisa main bola, jangan main ya?)" Aku sampai terkekeh-kekeh melihat laki-laki yang belum aku kenal saat itu. Mukanya memerah seperti kepiting rebus, mulutnya komat-kamit, sewot, apalagi menggunakan bahasa daerah. Aku penasaran siapa dia sebenarnya. Tak banyak ide yang hinggap, kupilih saja untuk mencari identitasnya di Google. 'Milan Farera Ibda' begitulah aku mengeja, lalu mengetiknya. Nama yang amat sangat unik untuk rata-rata orang Padang. Biasanya kalau bukan Erizal, Syaiful, Randai, Faishal, Syafrizal, Bujang, adalah Buyuang yang paling terkenal. Milan? Sangat berkelas. Mataku berbinar.
Tak memakan waktu lama untuk kutemukan Facebooknya. Foto profil yang terpampang, persis seperti yang kulihat di sekolah. Rambut gondrong, hidung mancung, mata sipit jika tertawa, dan yang paling membuat aku terpesona dari dia adalah, alis mata yang tebal. Seakan mendapat durian runtuh, tertera nomor ponselnya disana. Aku tidak tau harus berbuat apa dengan yang aku dapat. Aku tidak tau mengapa aku begitu bersemangat mencari identitasnya. Sebelumnya aku tak pernah seperti ini, sungguh. Untuk berpikiran bahwa ini yang teman-temanku sebut dengan 'jatuh cinta'pun, tidak. Aku, Anggita Syifa Prameswari, masih berkomitmen, tidak ada yang namanya jatuh cinta di jenjang Sekolah Menengah Pertama yang baru saja menyandang predikat 'Kelas Delapan'. Tidak untuk saat ini. Aku masih seumur jagung, kalau kata bunda.
Gedoran pintu kamar yang membabi-buta membuyarkan segala hal tentang Milan. "Bunda ganggu aja!", keluhku. Kuusap sisa-sisa air mata yang menempel di pipi. Lalu ikuti perintah bunda untuk segera berwudhu dan tunaikan ibadah. Aku, ayah dan bunda sholat maghrib berjamaah di kamarku. Sebelum ayah angkat takbir, bunda berbisik, "Nanti ceritakan pada bunda kenapa kamu bisa sampai nangis gitu ya Ndhok? Ah paling karena Delapan lagi. Ya toh?", lalu memalingkan bola matanya.


- (oleh @captaindaa - http://afrohsahenda.blogspot.com)

No comments:

Post a Comment