Tentang 30 Hari Cerita Cinta

15 September 2011

Delapan #3

"OALAAAH! Katanya mau cerita kok malah turu (tidur) toh, Ndhoooook?", teriakan bunda sepertinya berhasil menarikku kembali ke dunia nyata. Tak hanya itu, bunda mengguncang-guncang tubuhku sekenanya, sampai aku benar-benar telah datang ke bukan lagi alam bawah sadar. Masih tanpa suara, aku duduk di depan bunda yang sedari tadi melempar tatapan bingung dan sepertinya ingin tau. "Anggi kenapa, Sayang? Ayolah cerita sedikit sama bunda. Delapan mutusin kamu?", suara bunda memenuhi sel-sel otakku. Dan kalimat terakhir entah mengapa terdengar paling jelas. Aku menggeleng. Seketika itu juga bunda meraba kening, pipi dan leherku dengan gerakan cepat. Aku tak dapat mengelak karena memang belum siap melakukan apapun, kecuali duduk dan menatap bunda. "Anggi sakit?", tanya bunda dengan amat lembut. Aku menggeleng, untuk kedua kali. "Bunda bingung sama Anggi. Bener-bener nih bunda bingungnya. Pulang sekolah pipi udah basah, mata merah, muka kusut, ditekuk pula, diajak ngobrol malah marah-marah sendiri.. Anggi ada masalah apa? Cerita sama bunda ayo.. Siapa tau saya bisa bantu mbak Anggi menyelesaikan masalah ini?", lagi-lagi hanya kalimat terakhir yang bisa aku dengar dengan jelas. Disana jugalah bunda memasang gaya paling oke ala psikolog terkenal seraya memperbaiki letak kacamata yang sedikit turun dari singgahsananya. Aku hanya jawab dengan dengan sebuah gelengan, untuk yang ketiga kali. "Fine kalau mbak Anggi ngga mau cerita dan berbagi kisah sama bunda. Makan malam dulu yuk, Ndhok? Kalau nggeleng lagi.. Dendeng balado-nya buat kucing aja loh ya?", kali ini aku mengangguk.

Bunda yang keturunan Jawa, sangat lihai bila memasak masakan Padang. Apalagi yang tadi bunda sebutkan, dendeng balado. Aku pernah dengar bahwa nama sebenarnya dari makanan itu adalah dendeng batokok. Aku tidak mengerti apa perbedaan antara keduanya. Dan aku juga tak tau kalau nanti ternyata dendeng balado dan batokok adalah sebutan untuk makanan yang sama. Tapi, aku benar suka yang namanya dendeng balado. Rasanya asam manis, kalau yang dibuat oleh bunda. Dagingnya empuk dan tetap renyah. Satu lagi yang aku tidak mengerti, apakah makanan ini memang seenak yang aku cicip, atau bunda yang amat pandai mengolahnya.

Ini benar-benar ajaib! Suapan pertama mampu mengubah rasa-rasa dalam tubuh, otak dan perasaanku. 'Mood'ku membaik. Ingin aku ceritakan apa yang saat itu aku rasakan, apa yang terjadi di sekolah tadi pagi, apa yang telah aku perbuat pada Milan dan apa akibatnya. Bunda adalah malaikat dunia yang maha tau tentangku. "Mau cerita sekarang Ndhok? Habiskan aja dulu makannya, baru cerita.."

Aku bingung harus mulai dari kalimat apa. Dan mungkin saja masalahku ini dianggap angin lalu oleh bunda karena terlalu sepele. Ini tentang aku dan Milan. Tentang yang bunda katakan, cinta monyet. Bagiku bukan. Maklumlah, aku masih belum bisa berpikir seperti orang dewasa pada umumnya. Tidak sepikiran dengan bunda. Belum bisa memandang sesuatu yang berhubungan dengan Milan itu hal yang biasa-biasa saja. Namun aku tetap mencoba membukanya untuk bunda.

"Gini loh, Bun.. Eh tapi janji jangan ketawain Anggi ya, Bun?"

"Apa masalahnya sampai bunda ketawain Anggi?"

"Ya kan siapa tau ini masalah kecil yang Anggi besar-besarkan aja, menurut bunda.."

"Hmm sekarang mending cerita dulu deh. Urusan ketawain atau apalah itu, belakangan aja"

"Ngga bisa, Bun.. Bunda janji dulu sama Anggi.. Ya, Bun?"

"Iyadeh, Princess.. Bunda janji ngga akan ketawain, selawak apapun cerita Anggi. Hehehe"

"Ah Bundaaaa!!"

Jadi juga aku bercerita. Bunda mendengarkan dengan penuh perhatian dan tak ada komentar sampai aku menyelesaikan kisahku itu.

Dua hari yang lalu ia hadapi ulangan harian Fisika. Dan di hari-hari sebelumnya aku juga dia, tak saling sapa bak tak pernah kenal. Jujur saja, aku tidak tau apa masalahnya. Aneh, kan? Namun itulah yang terjadi. Menurutnya, saat malam sebelum hari H ulangan Fisika itu lah ia bertanya-tanya, mengapa bisa sampai hati mendiamkan aku, hingga ia tak bisa fokuskan pikirannya pada buku setebal Seri Harry Potter and The Half Blood Prince, yang satu persepuluhnya harus ia baca untuk diujikan esoknya. Dia tetap belajar sampai larut, dengan berusaha menepikan pikiran dari sosokku. Tapi menurutnya, tak bisa. Lalu ulangan Fisika dimulai dan rasa dalam dadanya harap cemas. Badannya panas dingin. Tak satupun bacaan sebanyak 40 halaman, bisa ia cerna dengan baik dan benar. Ia: Milan Farera Ibda.


- (oleh @captaindaa - http://afrohsahenda.blogspot.com)

No comments:

Post a Comment