Tentang 30 Hari Cerita Cinta

16 September 2011

Lagu Cinta untuk Gita: Simfoni Ketiga #3

Mimpi buruk itu benar-benar menjadi kenyataan.
Keesokan paginya Sammy terbangun dengan teriakan keras ibunya dari lantai bawah: "Sammy! Guru musik kamu udah datang! Cepat turun!"
Di atas tempat tidurnya yang empuk, Sammy mengerjap-ngerjapkan mata. Sempat ia berharap, perbincangan semalam antara ia dan orangtuanya hanya sebuah mimpi buruk—tak benar-benar terjadi. Namun teriakan ibunya yang kedua membuatnya yakin, kejadian semalam bukanlah mimpi. Ia benar-benar akan menikah.
"Sammy! Cepat turun! Guru kamu udah nunggu tuh!"
Sammy menguap lebar. Matanya masih berat. Hari ini seharusnya menjadi hari yang menyenangkan untuk belajar Matematika, sesuai jadwal yang telah Sammy buat. Bukan musik. Ia tak pernah menyukai musik. Satu-satunya lagu yang ia hapal adalah "Indonesia Raya." Itu pun karena ia harus menyanyikannya setiap hari Senin, sejak SD hingga lulus SMA. Pentas musik di SMP dan SMA tak pernah bisa menarik perhatiannya. Ia lebih memilih berada di rumah, memfokuskan perhatiannya pada beberapa mata pelajaran yang lemah, agar memperoleh NEM tinggi. Kini ia harus belajar bermain gitar. Entah seperti apa nanti jadinya. Tubuhnya terasa berat. Persendiannya tiba-tiba kaku. Diliriknya jam yang tertempel di dinding kamar. Pukul tujuh lewat lima belas menit. Ia kembali menguap.
Terdengar suara langkah kaki di tangga. Sammy sudah hapal, itu adalah langkah kaki ibunya. Buru-buru ia tutup kepalanya dengan selimut, lalu membenamkan kepalanya dalam bantal. Sesaat kemudian pintu kamarnya dibuka dari luar. Pintu itu memang tak pernah ia kunci. Beberapa detik berikutnya, selimutnya terangkat secara tiba-tiba.
Sammy membuka matanya. "Mama—" Kata-katanya terpotong. Suaranya tercekat di tenggorokan. Bukan ibunya yang ada di hadapannya saat itu. Gadis itu jauh lebih muda dari ibunya. Matanya jauh lebih jernih. Dan wajahnya… sempat membuat napas Sammy terhenti beberapa detik. Ia terhenyak menatap gadis yang sepantaran dengannya itu.
"Bu Jessica bilang, gue boleh langsung masuk ke sini," kata gadis itu. "Bu Jessica nyuruh gue bagnunin lo. Jadi, kalo lo mau marah, silakan marah sama nyokap lo."
Sammy masih terpaku. Ia sulit mempercayai apa yang sedang terjadi—seorang gadis menatap dirinya yang tengah bertelanjang dada. Satu-satunya pakaian yang ia kenakan hanyalah celana pendek berwarna hitam. Ketika menyadari hal itu, ia segera menarik kembali selimutnya. Ia tutupi tubuhnya dengan panik.
"Tenang aja, gue gak akan perkosa lo," kata gadis itu terkikik. "Gue Gita. Gue yang gantiin bokap gue. Bokap gue gak bisa ngajarin lo hari ini." Gadis itu mengulurkan tangannya pada Sammy.
Dalam posisi seperti itu, Sammy menjulurkan tangannya dengan kikuk. Ragu-ragu, ia jabat tangan Gita. Tiba-tiba Gita menariknya kuat-kuat. Sammy yang tak siap, tertarik dan bangkit dari tempat tidur.
"Jam segini masih tidur, mau jadi apa lo?" sentak Gita sambil melepas genggaman tangannya.
Sammy menutupi dada dan bagian bawah perutnya dengan telapak tangan. Ia benar-benar salah tingkah.
Gita terkikik. "Tahan sebentar," katanya sembari mengeluarkan sebuah benda kotak kecil dari dalam tas selempangnya. Ia angkat benda itu mendekati matanya. Sebuah kilatan putih muncul beberapa detik berikutnya. Ia kembali terkekeh. "Pose lo bagus banget. Kalo gue pajang di Monas, lo pasti langsung terkenal." Ia menatap kamera foto di genggamannya dengan puas.
"Hapus foto itu sekarang!" seru Sammy.
"Gak mau!" Gita menjulurkan lidah. Ia segera memasukkan kembali kamera itu ke dalam tasnya.
"Hapus!"
Gita terkekeh. "Lo traktir gue dulu, baru gue hapus fotonya," katanya enteng. "Gimana? Deal?"
"Kamu—"
"Oke, Deal."
Sammy benar-benar tak berkutik melawan gadis di hadapannya. Emosinya sudah di ubun-ubun. Ingin rasanya ia mencincang gadis itu, dan menjadikannya santapan pagi.
Gita membalik badannya. "Cepetan lo pake baju dulu. Abis itu langsung gue ajarin main gitar."
Sammy masih terpaku. Cewek ini benar-benar menyebalkan, pikirnya geram.
"Cepetan! Gue gak punya banyak waktu," kata Gita. "Atau mau gue foto lagi nih?" Tangannya bergerak mendekati tas selempangnya.
Sammy melotot. "I-iya… gue pakai baju sekarang…" Ia segera bergerak menuju lemari.
Gita terkekeh. Sambil menunggu, ia pasang headphone-nya. Kepalanya lalu mengangguk-angguk mengikuti irama.
***
"Sumpah, lo murid paling bego yang pernah gue ajarin," kata Gita, mengakhiri latihan sesi pertama itu.
Sammy memonyongkan bibirnya sembari meletakkan gitar barunya di atas kasur. Ia perhatikan ujung jari telunjuk, tengah, manis, dan kelingkingnya yang memerah. Ujung-ujung jari itu berdenyut-denyut. Rasa nyeri dan panas bercampur jadi satu.
"Biasanya nih ya, kalo gue ngajarin anak-anak, baru sejam penjariannya udah lumayan lancar. Lah ini, gue udah ngajarin tiga jam lebih, lo gak bisa-bisa juga. Parah lo…" Gita menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kenapa sih lo pengen belajar gitar?" tanyanya kemudian.
Sammy menatap mata Gita. "Lo gak perlu tahu. Tugas lo cukup ngajarin gue sampai bisa."
"Tapi kalo orang yang diajarin gak punya motivasi kayak lo gini, guenya sebel juga."
"Jadi guru privat yang profesional, dong. Ya itu resiko lu. Pokoknya hari Sabtu gue harus udah bisa main gitar."
Kedua alis Gita terangkat. Dahinya berkerut. "Kalo gini caranya, sampai kiamat lo gak akan pernah bisa main gitar." Ia memasukkan gitar akustiknya ke dalam hard case. Ia berdiri, lalu melangkah menuju pintu.
"Besok pagi lo ke sini lagi kan?" tanya Sammy.
Langkah Gita terhenti. Sejenak ia menoleh ke belakang. "Lo harus belajar mencintai gitar lo dulu. Anggep gitar itu sebagai pasangan hidup lo. Kalo udah bisa, telepon gue." Ia lalu ngeloyor pergi.
Sammy mendengus kesal. Ia tatap gitar yang teronggok membisu di sebelahnya. Mencintai gitar? Udah sinting kali tu cewek, katanya dalam hati.
***

(Bersambung)



~ (oleh @garirakaisambu)

No comments:

Post a Comment