Tentang 30 Hari Cerita Cinta

15 September 2011

Lagu Cinta untuk Gita: Simfoni Kedua #2

Jakarta, Juli 2005
Ketukan tiga kali di pintu kamar membuat konsentrasi belajar Sammy buyar. Dari meja belajarnya, ia menoleh. Ia letakkan sejenak buku Fisika yang ada di genggamannya.
"Sam… buka pintunya," ujar seseorang dari luar dengan suara serak.
Sammy mendengus kesal. Ia mengenali suara itu. Ia betulkan letak kacamatanya untuk sejenak, lalu bangkit dari kursi dan berjalan mendekati pintu. Langkahnya gontai. Ia putar gagang pintu, lalu menarik pintu itu perlahan. Seorang wanita dengan rambut beruban muncul di hadapannya. "Ada apa, Ma?" tanyanya.
"Turun sebentar. Papa mau ngomong sama kamu," ujar Bu Jessica, ibu Sammy. Tatapannya terasa dingin dan tajam.
Sammy memasang tatapan aneh. "Papa? Tumben—"
"Ini penting. Pokoknya kamu turun sekarang," potong Bu Jessica dengan nada datar. Ia pun berlalu dari hadapan Sammy menuju anak tangga.
Sammy menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. Aneh banget. Nggak biasa-biasanya Papa ngajak ngobrol, katanya dalam hati. Dengan kepala yang dipenuhi tanda tanya, ia pun pasrah mengikuti ibunya menuruni tangga.
Di ruang keluarga, Pak Gideon telah duduk menunggu. Televisi menyala dengan suara lirih. Pak Gideon menatapnya dengan tatapan kosong. Kecemasan tampak jelas di wajahnya. Sammy bisa menangkap jelas itu semua. Ia telah berada di lantai bawah dan bergerak menuju sofa.
Bu Jessica duduk di samping suaminya. Ia elus pelan lengan sang suami. Pak Gideon menatapnya sesaat. Pandangan lelaki tua itu lalu terarah tajam pada anak semata wayangnya.
Sammy duduk di atas sofa yang empuk. Meskipun empuk, namun entah mengapa rasanya tak nyaman. Ia memiliki firasat buruk akan ini semua. Entah sudah berapa lama ayahnya tak berbicara padanya. Ayahnya yang pengusaha di bidang kuliner itu sehari-hari selalu sibuk mengurusi rumah makannya. Jika sedang senggang, Pak Gideon selalu bermain golf atau berkaraoke-ria dengan rekan bisnisnya. Sekalinya berada di rumah, ia pasti mengurung diri di dalam kamar yang juga menjadi ruang kerjanya. Entah apa yang dilakukannya di sana, Sammy tak pernah mengetahui. Ia jarang memasuki kamar orangtuanya.
"Seperti yang kamu tahu, usaha Papa hampir bangkrut," kata Pak Gideon membuka percakapan.
Sammy diam tak bereaksi. Ia sudah mendengarnya beberapa bulan terakhir. Sempat mengira itu hanya gosip murahan yang keluar dari mulut salah satu karyawan ayahnya. Baru kali ini ia mendengarnya dari mulut ayahnya sendiri. Dan entah mengapa, ia tak merasa kasihan. Sebaliknya, ia justru bersyukur. Semoga saja, jika usaha Papa bangkrut, Papa bisa punya lebih banyak waktu untuk keluarga, pikir Sammy beberapa kali.
"Utang keluarga kita juga semakin menumpuk," lanjut Pak Gideon. Titik-titik air tampak di sudut kedua matanya. Dahinya berkerut-kerut. Otot wajahnya terlihat menegang. "Kalau Papa tak mendapatkan suntikan modal bulan depan, rumah makan warisan kakek buyutmu itu terpaksa tutup. Kita bahkan harus pindah dari rumah ini." Ada kegetiran dalam nada suaranya. Dua orang yang ada di ruangan itu bisa merasakannya.
Sampai detik ini, Sammy masih tak mengerti kenapa ayahnya harus membicarakan ini semua. Ayahnya tak pernah menceritakan masalah apapun yang ada di rumah makan. Biasanya, Sammy mendengar berbagai informasi itu dari karyawan-karyawan ayahnya.
"Papa minta bantuan kamu," kata Pak Gideon dengan penuh penekanan.
Sammy menatap kedua mata sayu ayahnya. Baru ia sadari, kedua mata ayahnya sembab. Ia menebak, mungkin karena terlalu lama menangis. "Apa… yang bisa Sammy lakukan?" Suara Sammy terdengar lemah. Gabungan antara kebingungan dan kekhawatiran. Ia sudah memiliki firasat buruk sejak di kamar tadi.
"Kamu ingat Rena?" tanya Pak Gideon.
Sekilas, wajah seorang gadis cilik tergambar dalam kepalanya. Seorang gadis berwajah bulat putih dan rambut lurus panjang. Dahinya selalu tertutup poni sepanjang alis. Gadis yang pendiam, namun bisa menjadi liar ketika berada di tengah kerumunan. Seingatnya, gadis cilik itu senang mencari perhatian. Jika menghadiri pesta ulangtahun, ia tak pernah absen untuk tampil. Menyanyi, menari, membaca puisi, apapun akan ia lakukan untuk bisa mendapatkan perhatian teman-temannya.
Sambil masih menatap mata ayahnya, Sammy mengangguk pelan.
"Dia sekarang sedang diorbitkan untuk jadi penyanyi. Kamu tahu sendiri, Pak Leo dari dulu selalu ingin anaknya jadi penyanyi," kata Pak Gideon. "Dan Pak Leo memiliki modal yang cukup untuk membiayai Rena. Lebih dari cukup. Bisnis propertinya semakin maju sekarang ini."
Jika mengingat Rena, ada satu hal yang selalu Sammy ingat: ketika masih kecil, ia sempat dijodohkan dengan Rena. Ayahnya dan Pak Leo sudah menjadi sahabat karib sejak masih bujang. Keduanya menikah hampir dalam waktu yang bersamaan, dan juga memiliki anak dalam waktu yang hampir sama. Sammy lebih tua tiga bulan dari Rena. Pak Gideon dan Pak Leo sepakat menjodohkan anak mereka, agar hubungan keduanya bisa lebih dekat. Namun perjodohan itu tak berlangsung lama. Ketika Pak Leo dan keluarganya memutuskan pindah ke Surabaya, cerita tentang perjodohan itu pun menguap ke udara—seperti sebuah dongeng lama yang semakin tergerus oleh waktu.
"Pak Leo dan Rena sudah kembali ke Jakarta," kata Pak Gideon. "Seminggu yang lalu Papa sempat bertemu dengan Pak Leo. Papa minta bantuan untuk usaha kita. Pak Leo malah menyinggung-nyinggung soal perjodohan kamu dan Rena."
Sammy mulai bisa mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Ia hanya membisu. Sesekali tatapannya tertuju pada wajah lesu ibunya.
"Papa ingin kamu menikah dengan Rena secepatnya."
"M-menikah?!" seru Sammy. Kepalanya mendadak linglung.
"Cuma itu satu-satunya jalan keluar."
"Tapi Sammy baru lulus SMA. Sammy masih mau kuliah dulu, terus kerja."
"Kalau kamu nggak mau menikah dengan Rena, kamu nggak akan pernah bisa kuliah. Papa nggak punya uang untuk mengkuliahkan kamu."
Sammy terdiam. Ia tak tak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Sejak masuk SMA, cita-citanya hanya satu: ia ingin kuliah di UI. Namun kini masa depannya mendadak gelap. Jika tidak kuliah, apa yang harus ia lakukan? Bekerja? Apa yang bisa ia lakukan? Apakah nilai-nilai tingginya dalam pelajaran Fisika, Biologi dan Matematika bisa memberikannya pekerjaan? Sammy bergidik ngeri membayangkannya.
"Pak Leo sudah setuju dengan rencana Papa ini," kata Pak Gideon. "Rena pun tampaknya sudah setuju. Hari Sabtu dia dan orangtuanya akan datang ke sini, menemui kamu."
Sammy menarik napas berat. Umurnya belum genap 18 tahun. Tak pernah terbayang ia akan menikah dalam usia yang teramat muda.
"Besok pagi akan ada guru musik yang datang ke sini." Bu Jessica yang sedari tadi terdiam, akhirnya buka suara.
"Guru musik?" tanya Sammy.
Pak Gideon mengangguk. "Pak Leo ingin sekali memiliki menantu yang bisa bermain musik, agar bisa mendukung profesi anaknya. Papa terpaksa berbohong. Papa mengatakan bahwa kamu bisa bermain gitar dan berbagai alat musik lainnya. Pak Leo kelihatannya percaya dengan kata-kata Papa."
"Kamu harus bisa bermain musik sebelum Rena datang ke rumah," kata Bu Jessica.
Sammy terhenyak. Ia sulit mempercayai indera pendengarannya. "T-tapi, Sabtu kan tinggal empat hari lagi. Gimana caranya Sammy bisa main musik? Sammy nggak ngerti apa-apa tentang musik."
Pak Gideon tersenyum simpul. Dengan tatapan tajam, ia berkata, "Itulah kenapa Papa memilihkan guru musik terbaik untuk kamu. Namanya Pak Prasetyo. Dia dosen musik. Kamu pasti sudah bisa bermain gitar waktu Pak Leo dan Rena ke sini."
Sammy tertunduk. Kelopak matanya terkatup. Dalam mimpinya yang terburuk, kejadian seperti ini belum pernah muncul. Ini lebih buruk dari mimpi buruk. Jauh lebih buruk, rintih Sammy dalam hati.
***

(Bersambung)

~ (oleh @garirakaisambu)

No comments:

Post a Comment