Tentang 30 Hari Cerita Cinta

17 September 2011

Lagu Cinta untuk Gita: Simfoni Keempat #4

"Ma, Sammy minta guru gitar yang baru," rajuk Sammy. Saat itu ia berada di dapur, menunggui ibunya yang tengah menyiapkan makan malam.
"Emangnya kenapa dengan Gita?" tanya Bu Jessica sembari mengaduk-aduk sayur di dalam panci. Sudah sebulan ini ia harus memasak sendiri, setelah dua pembantu rumah tangga dalam keluarga itu terpaksa diberhentikan. Keuangan suaminya yang tak menentu membuatnya harus memutar otak untuk menghemat pengeluaran.
"Dia tuh… aneh banget."
"Aneh?" Bu Jessica menatap anaknya untuk sesaat. "Aneh gimana?"
Sammy mengalihkan pandangan pada tiga piring yang tertumpuk rapi. Ia elus-elus piring itu dengan pelan. "Sammy gak cocok."
Bu Jessica menggeleng-gelengkan kepala. Ia kembali mengaduk sayurnya yang belum matang. "Gita itu bukan orang sembarangan. Kata ayahnya, dia udah jadi guru privat dari SMP."
"Kenapa bukan ayahnya aja yang ngajarin Sammy?"
Bu Jessica menghentikan keasikannya memasak. Ia berbalik, menghadap anaknya. "Gak usah manja. Mama udah bilang, Pak Prasetyo ke Jogja untuk jadi dosen tamu. Pokoknya besok kamu tetap belajar sama Gita," katanya dengan tegas. "Nih, kamu bawa piringnya ke meja makan."
Sammy menuruti perintah ibunya. Ia angkat piring itu perlahan-lahan. "Besok Gita gak akan datang," katanya sambil melangkah pergi.
"Maksud kamu?" tanya Bu Jessica.
Sammy berbalik menatap ibunya. Ia mengangkat kedua bahu. "Katanya, Sammy harus belajar mencintai gitar dulu."
Bu Jessica ternganga mendengarnya. "C-cinta…?"
Sammy mengangguk-angguk kecil. Ia lalu berbalik dan melanjutkan langkah meninggalkan dapur.
***
Dari meja belajarnya, Sammy menatap gitar yang teronggok di sudut kamar. Pikirannya sulit terkonsentrasi pada soal-soal Matematika. Makan malam baru saja usai. Makan malam itu terasa pahit di lidahnya. Bukan karena masakan ibunya. Masakan ibunya tak ada masalah, seperti biasa. Lidahnya pahit karena ucapan Gita pagi tadi. Gita menyuruhnya untuk mencintai gitarnya, seperti ia mencintai pasangan hidupnya sendiri. Namun bagaimana caranya? Ia belum pernah memiliki pasangan hidup. Dalam hidupnya, ia bahkan belum pernah memiliki hubungan spesial dengan seorang gadis. Penampilannya yang terlalu biasa—keriting, berkacamata, kutu buku—membuatnya tidak masuk dalam jajaran cowok populer di sekolah. Beberapa gadis justru memberi gelar yang sungguh menarik untuk dirinya: "Cupu."
Lama ia menekuri gitar pemberian ayahnya. Pada malam itu, setelah pembicaraan mengenai pernikahan selesai, ayahnya langsung menghadiahinya sebuah gitar akustik baru berwarna merah. Sammy tak mengerti reaksi apa yang harus ia tunjukkan saat itu. Haruskah ia marah? Atau sedih? Atau justru gembira, karena keinginannya untuk terus kuliah bisa terwujud? Gitar itu terasa seperti borgol yang membelenggu hidupnya.
Ia tutup bukunya, lalu berdiri dan berjalan menuju sudut kamar. Ia angkat gitar itu perlahan. Ia duduk di atas kasur, lalu meletakkan gitar itu dalam pangkuannya. Ia mencoba melakukan latihan penjarian seperti yang diajarkan Gita pagi ini. Namun ujung jemari tangan kirinya masih nyeri.
"Lo cuma benda mati. Gimana caranya gue bisa mencintai lo?" tanyanya lirih. "Lo gak punya rambut. Lo gak punya mata yang bening kayak Gita…" Sesaat ucapannya terhenti. "Eh, kenapa gue mikirin Gita ya?" Ia menghela napas panjang. Ia geleng-gelengkan kepala untuk menghapus bayangan wajah Gita yang sempat terlintas dalam benaknya.
Sammy sadar, ia tak ingin bisa memainkan gitar. Itulah alasan mengapa tiga jam latihan pagi tadi terasa sia-sia. Ia tak memiliki keinginan. Kalau ada hal yang paling ia inginkan saat ini adalah menjadi mahasiswa dengan baju almamater berwarna kuning—Universitas Indonesia. Itu saja. Dan kalau untuk meraih impiannya itu ia harus menikahi Rena, ia siap melakukannya. Ia tak siap melepas impian kecilnya begitu saja.
"Aha! Gue tahu!" pekik Sammy. Gue tahu gimana caranya mencintai gitar ini! pikirnya.
Ia letakkan gitar itu di atas tempat tidur. Hati-hati. Sangat hati-hati. Ia pun berlari meraih telepon seluler di atas meja belajar. Ia tekan sebuah nomor yang baru saja ia dapatkan dari ibunya. Beberapa saat menunggu, sambungan telepon diangkat di seberang.
"Halo," sapa Sammy. "Ehm… Gita?"
***
Pagi keesokan harinya, Gita masuk ke dalam kamar Sammy pukul tujuh lewat lima menit. Sammy menyambut gadis itu dengan senyum lebar di wajahnya.
"Ngapain lu senyum-senyum gitu? Ayo kita mulai!" tanya Gita.
"Sebentar, gue ambil Si Kuning," jawab Sammy.
"Si—apa?"
Sammy mengangkat gitarnya hati-hati. Ia peluk gitar itu dengan erat. "Si Kuning."
"T-tapi, gitar itu kan warnanya merah?"
Sammy tersenyum simpul. "Ini cara gue mencintai gitar gue. Gue kasih nama dengan nama yang bisa memotivasi gue untuk belajar gitar."
Senyum Gita mengembang. "Nah, ini yang gue suka," katanya. "Udah siap latihan hari ini?"
Sammy mengangguk. Keduanya lantas duduk di kursi yang sudah berada dalam posisi berhadap-hadapan di tengah ruangan. Sambil duduk, Sammy berkata, "Terima kasih, lo udah mau dateng hari ini."
"Ini emang udah kerjaan gue. Kan lo sendiri yang bilang," kata Gita. "Sekarang kita mulai dengan penjarian yang gue ajarin kemarin."
Sammy meletakkan gitar dalam pangkuannya dengan hati-hati. Ia memainkan gitarnya seperti yang diajarkan Gita tempo hari. Ujung jemari tangan kirinya masih terasa nyeri. Namun tetap ia paksakan. Niatnya sudah kuat: ia ingin menjadi mahasiswa Universitas Indonesia. Apapun akan ia lakukan untuk mewujudkannya. Apapun.
"Wah… kemajuan lo pesat juga!" seru Gita. Kepuasan tergambar jelas di wajahnya. "Gini dong dari kemarin!"
Wajah Sammy terasa panas karena pujian itu. Ia garuk belakang kepalanya yang tak terasa gatal.
"Kalau gini caranya," kata Gita, "ntar siang juga elo pasti udah bisa main gitar!"
"Serius lo?"
"Enggaklah. Gue bohong," ujar Gita seraya menampakkan deretan putih giginya yang tersusun rapi. "Ayo latihan lagi. Sekarang gue ajarin jurus yang lain."
"Oke. Jurus apa sekarang?"
"Jurus metik gitar sambil ngangkang." Gita terkekeh.
Sammy ikut tertawa. "Nenek lo yang ngangkang!"
"Nenek lo! Enak aja bawa-bawa nenek gue," sungut Gita.
"Lagian, lo ngasih jurus yang enggak-enggak. Pake ngangkang-ngangkang segala."
Gita terkikik geli. "Udah, buruan ulangin sekali. Habis ini gue ajarin teknik lain."
"Oke." Raut wajah Sammy berubah serius. Ia kembali memusatkan konsentrasinya berlatih gitar. One step closer, pikirnya. Satu langkah menuju UI!
***

(Bersambung)



~ (oleh @garirakaisambu)

No comments:

Post a Comment