Tentang 30 Hari Cerita Cinta

13 September 2011

Lagu Cinta untuk Gita: Simfoni Pertama


Sammy terduduk di ruang tunggu studio Sinatra Music Indonesia, menanti audisi terakhir yang akan menentukan karier bermusiknya. Ia berada di tengah kerumunan musisi lain yang juga mengadu peruntungan. Beberapa wajah familier dalam ingatannya. Ada beberapa bandyang tengah naik daun. Hanya ia satu-satunya peserta audisi dengan format solo. Sejak awal memutuskan hidup bermusik, Sammy memang tak pernah berminat dengan format band. Mungkin karena itulah karier bermusiknya tak pernah mengalami kemajuan. “Format solo lagi nggak laku. Kalau mau, kamu bikin band lah. Nanti kita ngobrol lagi,” ujar seorang Managing Director perusahaan rekaman besar yang sempat ia temui dua minggu lalu. Ucapan itu tak digubrisnya. Ia tetap teguh pada pendiriannya semula. Hari ini ia datang seorang diri. Hanya ia dan gitar akustiknya.
Satu per satu peserta audisi dipanggil masuk ke dalam studio. Di dalam, dewan juri yang terdiri dari para petinggi Sinatra Music Indonesia siap memberi penilaian. Audisi telah dimulai sejak pagi. Meski siang itu jumlah peserta telah bekurang banyak, namun masih ada puluhanband yang menunggu audisi. Ketegangan terasa di udara. Batin Sammy sedikit gentar. Sempat terbersit untuk pergi meninggalkan tempat itu. Namun ia berusaha menguatkan hati.
Segalanya akan ditentukan pada hari ini. Jika lolos, ia akan berhasil meraih mimpinya menjadi musisi profesional. Namun jika gagal, ia telah memutuskan untuk berhenti bermimpi. Ia berencana mengikuti perintah ibunya sejak bertahun-tahun lalu—mengurus rumah makan milik almarhum ayahnya di Jakarta Pusat. Terjebak pada hari-hari kerja yang membosankan setiap hari, seumur hidup. Ia bahkan tak bisa membayangkannya.
Ruangan itu terasa pengap karena ruangan yang penuh sesak. Paru-paru Sammy kekurangan udara segar. Udara dari AC nyaris tak terasa. Namun keadaan itu jauh lebih baik daripada berjemur di bawah sengatan matahari Jakarta. Maka ia pun mencoba bertahan, sembari sesekali menggosok-gosokkan telapak tangannya yang basah ke celana Jeans-nya.
Seorang perempuan muda berpakaian serba-rapi keluar dari pintu studio. Dari balik kacamatanya ia memandang berkeliling. Pandangannya lalu teralih pada setumpuk kertas putih di genggamannya. Ia berdeham sekali, lalu berkata dengan lantang, “Samuel Enrico.”
Jantung Sammy berdegup mendengar namanya disebut. Darah dalam tubuhnya mengalir deras. Perlu waktu beberapa detik baginya mengumpulkan kekuatan, hingga akhirnya ia sanggup berdiri. Lututnya bergetar. Ketika sudah berdiri, baru ia sadari seluruh mata terarah padanya. Ia hembuskan napas panjang untuk sedikit menenangkan diri. Baiklah, ini yang terakhir. Apapun yang terjadi, terjadilah, katanya dalam hati. Setelah merasa lebih tenang, ia pun mulai melangkah. Tangan kanannya menggenggam erat hard case gitar akustik yang catnya sudah mengelupas.
Perempuan tadi menatap Sammy tajam, lalu menggerakkan kepalanya ke arah studio. Ia lantas masuk ke dalam. Sammy mengikuti di belakang. Kedua lututnya semakin lemas ketika memasuki ruang audisi.
Bentuk ruangan itu sama seperti studio musik biasa. Berukuran luas, dengan berbagai perangkat alat musik lengkap. Tiga orang berwajah serius tampak duduk di balik meja, di sudut ruangan. Dua pria dan seorang wanita. Ketiganya menatap Sammy dengan pandangan seperti hewan buas tengah mengincar mangsa.
Keringat dingin semakin membasahi tengkuk dan ketiak Sammy. Ia takut kegugupan itu terbaca oleh tim penilai. Ia tak ingin audisi kali ini gagal. Segalanya telah dipertaruhkan untuk audisi kali ini. Lagu terbaik telah ia siapkan sejak jauh-jauh hari. Sebuah lagu sederhana tentang cinta.
Perempuan yang tadi memanggil nama Sammy berdiri di pinggir ruangan. Dengan ujung dagunya, ia menunjuk ke arah stand microphone di tengah ruangan.
Sammy mengangguk. Ia bergerak ke arah yang ditunjuk. Ia letakkan hard case gitarnya di lantai. Ia buka kunci hard case itu, lalu mengeluarkan gitar akustiknya perlahan. Ia kaitkanstrap gitar di pundaknya, membuat gitar itu tergantung sempurna di tubuhnya. Setelah ia merasa posisinya dirasa mantap, ia mendekati microphone. Ia dekatkan jarak microphonedengan mulutnya.
“Perkenalkan nama dulu, terus sebutin judul lagu,” kata perempuan yang tadi memanggil namanya.
Sammy berdeham sekali. Ia baru saja hendak menyebut namanya, ketika sebuah suara terdengar tiba-tiba.
“K-kamu Sammy, kan?”
Suara wanita. Sammy menatap ke arah sumber suara—pada seorang wanita yang berada di meja dewan juri. Kedua juri lain menatap wanita itu dengan pandangan penuh tanya. Untuk sesaat, Sammy berusaha mengenali wajah itu. Ia merasa mengenal seraut wajah di hadapannya. Namun ia tak yakin. Dan ketika kotak memorinya terbuka, sebuah halilintar seperti menyambar kepalanya. Kedua matanya melotot lebar.
“Kamu masih ingat aku, kan?” tanya wanita itu lagi.
Sammy tak bisa berkata-kata. Seperti mesin waktu, wajah itu itu membawanya menjelajahi masa lalu. Masa-masa di mana seseorang pernah mengajari dua hal penting secara sekaligus. Dua hal yang paling berarti dalam hidupnya: musik dan cinta…
***
(Bersambung)


(Oleh: @garirakaisambu - www.garirakaisambu.com)

No comments:

Post a Comment