Tentang 30 Hari Cerita Cinta

19 September 2011

#7: A Night With Adrian (pt. 1)

* **OK, I get your point, we're better friends than lovers*
* **And if I had a chance, I'd do it all over!*
* **You got in my heart, you got in my head*
* **I believe everything that you said*
* **We're at the crossroad, we're at the crossroad*
* **I guess that we're moving on...*
(*Crossroad *– Forever the Sickest Kids)


Saat mataku terbuka, sore sudah berganti jadi malam.
Menangis sampai tertidur itu melegakan. Bebanku berkurang, meski tidak
semuanya hilang. Dampak yang kurasakan adalah mata bengkak dan berat, jadi
kuputuskan untuk mencuci wajah dan, uh, nampaknya aku harus makan!

Pukul setengah delapan malam – begitu yang jam dinding tunjukan. Asrama
masih terlalu sepi dan... suasana seperti ini membuat tengkukku berdiri.
Satu fakta tentang Ohio University yang paling terkenal adalah kampus ini
merupakan salah satu kampus yang paling menyeramkan di dunia. Usianya sudah
200 tahun dan ada banyak cerita seram yang aku dengar selama satu tahun
tinggal di sini.

*Gruuk* – uh, tapi masa aku harus menunggu sampai pagi untuk makan?
Punggungku bersandar di belakang pintu. Aku menggigit bibir menahan lapar,
sementara mataku sudah melirik ponsel yang tergeletak di atas meja. Sejak
berangkat dari Norfolk, aku sengaja tidak mengaktifkannya.

Tapi... aku harus menelepon Adrian...
- TUK TUK TUK! –
"WHOAA!!!" pekikku dramatis begitu seseorang mengetuk pintu kamar. Tanganku
mulai gemetaran – oke, tenang, Dita, ini bukan arwah penasaran dari penghuni
asrama—

"Dita? Bisa buka pintunya?"
Aku langsung menarik nafas lega. Adrian.
Perlahan, aku membuka pintu dan mengintipnya dari celah. *Well,* benar-benar
Adrian. Omong-omong, kenapa aku jadi paranoid gini, ya?

"Kamu belum makan dari tadi siang, ya?" tanyanya hati-hati. "Mau ikut gabung
di halaman? Teman-teman dari jurusan Jurnalis lagi pesta *barbeque."*

Nyaliku menciut. "Cuma... Jurnalis aja?"
Dia tersenyum samar. "Ada beberapa mahasiswa dari jurusan lain juga, kok!
Ayolah, daripada kamu mati ketakutan sendirian. Nanti aku antar kamu ke sini
lagi."

Aku jadi malu mendengarnya. "Oke. Tapi, tunggu aku ganti baju dulu, ya?"
Setelah mengganti baju dengan *sweatshirt* dan *short pants*, Adrian
membawaku ke halaman kampus. Ternyata, di sana jauh lebih ramai dari yang
kuduga. Ada *barbeque*, api unggun, makanan, minuman, dan beberapa orang
bernyanyi sambil memainkan alat musik. Tapi, ini semua hanya membuatku
meringis. Hari di Virginia Beach itu...

"Aku nggak bisa..."
Adrian yang sedang membawakanku makanan, menohkan kepalanya. "Ada apa, Dit?"
Kepalaku menggeleng cepat. "Boleh aku bawa *barbeque*-nya?"
Untuk kali pertama, keramaian bukan hanya mengintimidasi, tapi juga
menyiksaku. Usia luka ini belum satu minggu. Ada banyak momen yang sanggup
membuatnya basah kembali dan semakin sulit juga lama luka itu untuk kering.

Aku duduk di bawah pohon ek – lumayan jauh dari keramaian. Tanpa nafsu
makan, aku mengunyah *barbeque*, lalu meneguk jus apel – AH, KENAPA HARUS
APEL?!! Adrian yang sedang bercengkrama bersama teman-temannya terlihat
tidak santai karena sesekali mengamatiku dari ekor mata.

Aku meringis. Kamar rasanya jauh lebih baik.
Terjebak di tengah-tengah orang asing juga bukan favoritku. Jadi, untuk apa
menyiksa diri lebih lama?

Lalu, aku beranjak pergi setelah menghabiskan makan malam. Meski horor
menyergapku di lorong asrama, tapi itu tidak sepadan dengan perih yang
menyelimuti hatiku. Kakiku melangkah lambat-lambat – menciptakan gema yang
menyeramkan di dinding. Sampai aku mendengar gema dari langkah kaki lain
yang lebih cepat di belakangku.

Aku berhenti. Dan gema itu juga ikut berhenti. Di belakangku.
"*What's going on*, Dita?" tanya Adrian, hati-hati. "*It seems like you just
lost your soul.*"

"Ya, *I just lost my soul*," ulangku tanpa menatapnya. "*I'm a body without
a soul.*"

Adrian mendesah frustasi – menciptakan gema yang lirih. "Jangan buat aku
khawatir."

"Seharusnya kamu nggak usah khawatir," sahutku cepat. "Kamu bisa kembali
lagi ke halaman. Aku lebih baik tidur."

"Dita, *please*," pintanya hampir memohon. *"Tell me what's your problem! *Aku
akan membantu."

Perlahan, aku membalikan tubuh ke belakang. Raut wajah Adrian lebih cemas
dari yang kubayangkan; ini membuatku jadi merasa bersalah. Tapi, haruskah?
Haruskah aku menceritakan apa yang terjadi karena aku sangat membutuhkan
bahu untuk bersandar?

"Adrian," kataku lirih, "*tell me how to fix a broken hearted...*"
***




~ (oleh @artemistics)

No comments:

Post a Comment