Tentang 30 Hari Cerita Cinta

19 September 2011

Elegi Purnama #7

Pukul 9.30 malam semua beres, wajah-wajah lelah berhamburan dari ruangan. Aku tergesa mengganti high heels dengan flat shoes merah, mengecek semua printer dan mematikan lampu ruangan. "Pulang mba Runny?" Pak Edi, security kantor menegur. "Iya pak, di ruangan udah nggak ada orang lagi ya, lampu juga udah saya matiin tadi" jawabku. "Nggih mba, ati-ati ya". " Makasih pak, saya pulang ya".

Kutekan lift arah turun dan dengan cepat terbuka, meluncur ke lantai satu, melewati lobi mewah bergranit hitam lengkap dengan suara kucuran air buatan. Tiba-tiba, "Runny"... Suara khas laki-laki terdengar mengagetkan dari luar gedung sedang duduk di kafe bagian luar. Aku menoleh dan mendapatinya tersenyum lebar. Ia menggandeng tangan, mendudukkan di kursi dan mulai menatap. "Apa kabar kamu de'.., aku kangen", tangannya terjulur memegang kedua bilah pipiku. "Aku baik mas". "Kenapa pulangnya malem banget?". "Lagi ada project trus ini Senin, transaksi agak banyak".


Adalah Hendra Achmad Wijaya, dosen fakultas ilmu komunikasi-ku dulu. Menjadi pembimbing skripsi yang berlangsung selama enam bulan. Penyemangat sekaligus orang yang berkali-kali menjadi tempat sampah atas gundahku. Kami dekat. Sangat dekat malah.


"Kita pulang naik taksi aja ya de'.. Kereta arah Serpong udah abis jam segini" ujarnya sambil menengok jam di tangan kiri. Aku hapal di luar kepala semua jadwal dan masih banyak kereta yang akan datang sampai mendekati tengah malam nanti. Aku menurut, kami berjalan bergandengan tangan di sisi trotoar jalan Sudirman yang mulai sepi. Jalanan aspal berkilat-kilat basah sisa hujan tadi sore. Hanya kendaraan pribadi dan bis patas AC yang masih hilir mudik.

Tangannya hangat.
Di dalam tas, handphone-ku berbunyi. Phil Collins berulang kali menyanyikan You Can't Hurry Love. Dan aku tak mendengar.
"De, aku akan S3. Melanjutkan kuliah dan minta ke orang tuamu supaya boleh kunikahin". "Kita akan hidup berdua di Jerman nanti". Aku tersenyum.

Di dalam taksi kami bersebelahan sangat dekat, hingga mungkin degup jantungku terdengar olehnya. Ia melingkari pinggangku dan mencium ubun-ubun. "Kamu masih pake shampoo yang sama ya dari dulu".

Di luar, hujan turun menjadi butir-butir besar di kaca mobil. Supir taksi berkonsentrasi penuh dengan jalanan sedikit licin. Hawa dingin makin menyergap dari segala arah. Kami masih saling menggenggam tangan. Aku menjatuhkan bahuku ke dada bidangnya. "Mas masih sayang kamu de'.." Gumamnya pelan.

Aku menengadah. Menatap matanya yang bersinar. Pelan-pelan kuraba wajah tampannya. Pelipisnya masih sama, lengkung alis yang hampir bertemu, hidung bangirnya yang sempurna. Dagu yang sedikit kasar bekas bercukur dan bibir tipis yang kutelusuri dengan ujung telunjuk. Ia mendekat, napas hangat sedikit memburunya membaur bersama dengan udara yang kuhirup. Kami saling memagut lama. Khawatir seolah besok segera mengganti malam ini. Tangan kanannya memegang wajahku, tangan kirinya menarikku lebih dekat sampai dada kami bertemu. "Kita ke Mercure ya de', I need you badly" ucapnya di sela ciuman pendek.


Taksi berwarna biru berputar arah, menembus gelap malam menuju arah Kota.





~ (oleh @IedaTeddy)

No comments:

Post a Comment