Tentang 30 Hari Cerita Cinta

19 September 2011

Selalu Untukmu

Aku baru selesai ziarah ke makam Marcella. Di makam Marcella ada taburan bunga yang masih segar. Sepertinya seseorang baru datang sebelum aku. Awalnya kupikir Aryo dan keluarganya. Atau mungkin Om Bachtiar? Tetapi ketika aku melihat setangkai mawar putih, aku tahu siapa yang datang. Pras!

Prasetyo, kekasih Marcella yang ditentang oleh om Bachtiar karena bukan karyawan kantoran. Pras hanya seorang seniman biasa. Pelukis aliran kubisme, pematung, dan penyair. Om Bachtiar menganggap bahwa seniman tak bisa menjamin masa tua. "Miskin! Ndak bonafid!" gelegarnya saat Pras datang ke rumah dan memperkenalkan diri. Apa adanya.

Yang sama sekali tidak diketahui Om Bachtiar adalah bahwa Prasetyo sebenarnya keturunan ningrat. Papanya memiliki usaha kelapa sawit dan batu bara. Mamanya Wakil Presiden sebuah perusahaan kosmetik. Mereka pun memiliki perusahaan waralaba makanan. Tetapi Prasetyo tak pernah cerita pada Marcella. Hanya aku yang tahu. Pras ingin cintanya dibalas tulus oleh Ella.

Ketika Marcella tewas di tangan papa tirinya, Pras berkata dengan getir. "Bachtiar berpikir bahwa seniman itu urakan dan menganggap aku tukang main perempuan. Dia menjilat ludahnya sendiri. Aku mempunyai bukti ini. Aku bisa menjebloskan dia ke penjara. Tapi apa itu membuat Ella kembali padaku?" Pras menyerahkan bungkusan plastik berisi USB, beberapa foto, dan dua cakram.

Aku terpaku. Dengan uang yang dia punya, Pras bisa melakukan apa pun. Tetapi pria itu hanya diam. "Aku memilih karma baik. Gak perlu aku membalas apa yang dia lakukan pada Ella. Suatu saat, semua berbalik padanya, Tan."

Aku menatap langit yang mulai mendung. Sudah sore. Aku menepuk pundak Pras dan kami beranjak meninggalkan restoran masakan Jepang favorit bertiga: aku, Pras, dan Ella.

**

Kuambil mawar putih itu dan mulai menangis. Betapa cinta Pras terhadap Ella besar hingga aku merasa iri pada Ella sekaligus bahagia akan kesetiaan Pras. Aku ingin membawanya pulang dan membiarkannya layu di atas nakas kesayangan Ella. Tapi kemudian kuurungkan niat itu dan melangkah meninggalkan nisan Ella.

Di pintu masuk pemakaman, kulihat Pras berdiri mematung. Aku menahan nafas dan berjalan ragu ke arahnya. "Pras," sapaku pelan sambil mencium pipi kanan kirinya.
"Tania," balas Pras dingin.
"Aku... Pulang dulu. Ada yang harus kukerjakan."
"Tumben kamu sebentar ke sini?"
Aku mengerutkan dahi. "Kamu memperhatikanku?"
"Ya." Pras melepaskan kacamatanya. Semilir angin membuat rambut panjangnya tertiup. Seksi. Aku menelan ludah.
"Maaf, hari ini aku banyak tugas. Jadi kupikir, tak mengapa bila hari ini aku hanya sebentar."
"......."

Aku baru berjalan dua langkah ketika Pras bergeser menghalangi jalanku. "Ikut aku."
"Ke mana?"
"Ikut saja. Naik mobilku. Kamu diantar Pak Joni, kan? Biar dia yang bawa mobilmu pulang. Nanti kuantar kamu pulang."
Itu perintah. Pras tak suka dibantah dan ditolak. 

Aku mendesah. "Oke." Dan aku menelepon supirku untuk membawa pulang Avanzaku. Kulihat sebuah Alphard hijau metalik terparkir di luar. Aku memandang Pras yang sedang sibuk dengan iPhone-nya. Tak lama, "Ujang, ke Pacific Place ya?" perintahnya pada supir muda yang telah siap membuka pintu mobil.

Gila, jurangan kelas kakap nih! Kalah deh Om Bachtiar! Aku tersenyum salah tingkah ketika Ujang mempersilakan aku masuk. Semakin salah tingkah ketika Pras menyuguhkan minuman botol rasa buah. Favoritnya Ella. "Pras? Kamu kan tahu aku gak suka rasa mangga?"
"Oh, maaf. Lupa. Ini, jeruk, kan?" Pras mencoba tertawa.
"Kamu masih suka menyimpan minuman kesukaan Ella?" tanyaku hati-hati.
"Iya. Masih. Akan terus seperti itu."
"Aku mengerti perasaanmu, Pras. Tapi sampai kapan? Ini sudah hampir setahun sejak Ella gak ada."
"Selamanya. Mungkin."
"Pras..."

"Aku mengajakmu sore ini untuk ngopi. Seperti biasalah. Sekaligus perpisahan."
"Per... Apa?" aku nyaris tersedak.
"Iya, perpisahan. Aku akan pindah ke Barcelona. Entahlah, ini juga mendadak kupikirkan. Baru minggu lalu. Yah, setidaknya, rencana ini kamu duluan yang tahu," Pras mengangkat bahunya dan mengunyah wafer keju. Yap, kesukaan Ella.

"Menutup masa lalumu dengan cara ini, Pras?"
"Karena dengan begini aku bisa melepas dia dengan tenang. Jangan tanya aku mengapa, Tan."

Dan keheningan itu semakin mencekam. Kulihat setitik yang menggenang di ujung mata Pras. Aku membuang pandangan ke jalanan ibu kota yang padat dan menyesakkan dada. Perpisahan. Sekali lagi membuatku semakin terpuruk.

------

Special: seseorang yang tak pernah kutahu namanya. bahagiakah engkau kini?
--




~ (oleh @andiana)

No comments:

Post a Comment