Tentang 30 Hari Cerita Cinta

20 September 2011

#8, Akhirnya Pantura!

Susah banget deh bujuk Naya ikut pergi ke jogja padahal niatnya buat liburan bukan ikut aku kerja. Memang sih dia masih ngambek soal anjing dan masih seneng-senengnya sama rumah baru, jadi harus sedikit gombal deh buat ngerayu dia supaya ikut. Bagaimana pun aku yang paling juara di hatinya, ngebujuk naya itu selalu sulit bila sedang dalam keadaan ngambek apalagi untuk sesuatu yang sedang tidak diinginkannya. Tapi itu bukan masalah besar karena Naya pasti selalu kena kebujuk asal yang ngebujuknya itu aku. Hehe.
Setelah hampir satu jam lebih aku membujuknya sampe hampir menyerah akhirnya terlontarlah kata-kata " yaudah sana beli tiket" dari mulut Naya, sontak aku kegirangan lantas mencium pipinya kemudian berlari menuju ruang makan untuk sarapan dan setelah itu bergegas ke Baranangsiang membeli tiket bis jurusan Yogya. Naya cengar-cengir saja liat tingkahku yang berubah 180 derajat, dari meracau memelas hingga bersemangat sekali pagi itu. Segala puji-pujian kulontarkan kepada Naya ketika melihat apa yang sudah tersaji di meja makan. Kembali Naya hanya berteriak dari ruang tengah, "Kamu gombal parah len, parahhhh". Aku pun tidak diam saja, aku membalas dengan gombalan yang tidak kalah menjijikan dari gombalan-gombalanku sebelumnya, "Biariiinnn aja aku gombal, yang penting aku gombalnya cuma sama kamu istriku tercinta, sama orang lain gakkk". Hehehe.
Hari ini Naya memasak sup ayam dengan bergedel dan sewiwi (sayap ayam) dikecapin, ini lah masakan sekaligus makanan kesukaan Naya yang sekarang jadi salah satu makanan kesukaanku juga. Menurut Naya orang yang suka bagian sayap ayam itu adalah orang yang tidak akan menyerah dalam menggapai sesuatu, karena sayap diartikan sebagai sesuatu yang bisa dipakai untuk terbang dan menjangkau cita-cita yang tinggi. Aku sih selalu tersenyum aja jika Naya menjelaskan hal itu, setahuku penjelasan itu didapat Naya dari eyang putrinya dan menurutku itu tepat sekali dengan pembawaan Naya istriku yang tidak pernah menyerah jika menginginkan sesuatu yang benar-benar ia sukai.
Setelah menyelesaikan sarapanku (Naya selesai lebih awal karena aku tadi makan nambah. Hehe) dan selesai menikmati suguhan kopi pagiku hari ini, aku lalu bergegas ke garasi untuk memanaskan motorku. Motor kesayanganku, sesuatu yang selalu dicemburui oleh Naya. Motorku itu adalah motor kuno buatan negerinya Hitler alias Jerman bermerek BMW pabrikan tahun 40-an berwarna hitam yang kubeli 10 tahun yang lalu di Klaten. Menurutku naek motor gede kuno itu terlihat sangat elegan dan macho, selain itu nilai sejarah yang terkandung di dalamnya menambah keeksotikan motor tersebut. Motorku ini termasuk motor langka, motor peninggalan PD II ini pertama masuk ke Indonesia dibawa oleh Jepang.
Hubungan baik fasisme Eropa yang diwakili Jerman dan Fasisme Asia yang diwakili Jepang membuat mereka bersekutu di PD II, dari sinilah Jerman dan Jepang saling membantu dalam memenuhi segala macam kebutuhan perangnya termasuk transportasi ringan seperti motor walaupun sebenarnya Jepang pun juga punya motor-motor pabrikannya sendiri. Jadilah motorku ini dahulu di stok oleh Jerman untuk dipakai oleh para komandan-komandan Jepang di Indonesia tepatnya di Semarang, setelah Jepang menyerah tanpa sarat pada tahun 1945 terhadap sekutu ditinggalah motor-motor ini oleh si empunya. Jadilah motor ini tak bertuan dan jatuh ke tangan pegawai pabrik gula yang berkewarganegaraan Belanda, dari Semarang dibawalah motor ini ke Klaten tepatnya ke pabrik gula Klaten atau yang dikenal sebagai pabrik gula Gondang Winangoen. Pabrik ini didirikan tahun 1860 oleh N.V. Klatensche Cultur Maatschappij yang berkedudukan di Amsterdam Belanda. Pada awal berdirinya pengelolaanya dilakukan oleh keluarga Jongkhervan der Wijk. Kemudian pengelolaanya dilakukan oleh N.V Mirrandolle Voute & Co yang berkedudukan di Semarang (inilah mengapa motor itu dahulu dibawa dari semarang ke Klaten). Ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia tahun 1948 melalui Konferensi Meja Bundar hampir seluruh regulasi atas pabrik-pabrik milik pemerintah Belanda berubah total, saah satunya pemerintah Indonesia harus menjamin keutuhan usaha milik Belanda di Indonesia harus dikembaliakn kepada pemilik semula tidak terkecuali pabrik gula Gondang Winagoen yang juga dikemblaikan kepada pemilik semula yang bernama MFH Bremmers, selanjutnya berturut-turut dipegang oleh Tn. Van Beneiden dan GF Bernet. Pergantian pengelola dan pimpinan ini berdampak juga kepada pergantian beberapa pengurus pabrik, dan si pemilik motorku ini termasuk yang terganti. Akhirnya orang Belanda ini pergi pulang ke negaranya, dari sinilah motor ini dibeli oleh salah satu pribumi kaya yang pada saat itu bergelar Lurah dengan harga murah, padahal kondisi motor itu masih sangat bagus dan terawat. Tetapi karena si Belanda itu sudah harus pulang dan tidak ada jatah kapal untuk motornya jadilah motor itu dijualnya. Setelah Lurah itu meninggal motor itu terbengkalai dan cucunya tidak bisa merawat, akhirnya aku mendengar berita itu ketika aku tengah bermain ke rumah teman di Klaten.
Setelah aku lihat, ternyata motor itu masih sangat bagus hanya saja sedikit kusam karena tidak pernah dipakai, sedangkan mesinnya masih bisa nyala dan semua orisinil. Sayang sekali cucunya ini tidak tertarik untuk memakainya pikirku, padahal ini barang bagus dan sanagt langka. Akhiranya aku pun mendapatkan motor ini dengan harga yang sangat murah, hanya 6 juta rupiah dan aku pun membayarnya dengan mencicil 3x bayar selama satu tahun. Hehehe. Maklum pada saat itu aku masih SMA, untuk membelinya pun aku patungan dengan bapak dan ibuku. Hehe. Motor ini juga yang selalu kupakai sewaktu kuliah dan yang pertama aku pakai untuk ngajak Naya jalan-jalan setelah resmi menjadi pacarku 6 tahun yang lalu. Hehe.
Setelah mesin sudah panas aku pun berangkat, Naya tidak ikut karena seperti biasa ada saja barang-barang yang dirapihkannya atau lebih tepatnya dipindah-pindah dengan alasan kurang bagus lah ditaro sini, kurang cocoklah ada disini dan macam-macam alasan lainnya yang menurutku sih gak penting-penting amat, tetapi justru disitu letak kebahagiaanku bisa liat Naya ngurus rumahnya sendiri, rumah yang kita cita-citakan bersama.
Aku memilih bis karena transportasi yang tersedia dari Bogor langsung ke Jogja itu memang hanya bis malam dan travel, tetapi aku dan Naya lebih memilih bis karena memang sudah menjadi langganan kami jika hendak pulang ke Yogya. Bis yang kami naiki terjadwal berangkat dari Baranangsiang pukul 15.00 WIB. Aku pun bergegas pulang dan packing, karena sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB.
Dari Bogor kota ke rumahku itu sekitar 20 menit dan itu naik motor. Sampai dirumah aku langsung bilang ke Naya kalo bis berangkat dari terminal seperti biasa jam 3 sore dan kita berangkat dari rumah jam 2 lewat 15 menit. Tak bosan-bosannya aku ingatkan Naya untuk packing dan siap-siap, itu udah penyakitnya kalo gak diingetin dia gak akan memulai untuk packing dan sibuk ngerjain hal-hal lain. Ujung-ujungnya ntar dia packing setelah waktu mepet dan akan banyak sesuatu yang terlewat untuk dibawa, gak baju kesuakaannya lah, alat mandinya lah bahkan tidak jarang pakaian dalamnya. Kalo sudah seperti itu aku sedikit protes sama dia karena kan harus membeli lagi barang-barang baru yang tidak terbawa itu.
Akhirnya aku dan Naya merampungkan semua urusan packing, setelah dicek berulang-ulang barang-barang bawaan kami berdua tidak ada yang tertinggal. Seperti biasa aku dan Naya membawa barang menggunakan tas ransel kami masing-masing, itu sudah kebiasaan kami dari semasa pacaran dulu setiap melakukan perjalanan. Carier milikku berwarna hitam dan Naya berwarna merah, cukup manis seperti orangnya. Hehe. Kami tidak membawa barang terlalu banyak, disamping karena memang tidak akan lama di Yogya juga karena dirumah orang tuaku ada banyak baju-bajuku dan Naya yang sengaja ditinggal disana.
Kami berangkat ke terminal sesuai jadwal, jam setengah tiga kami sudah berangkat. Kembali menggunakan motor kesayanganku, menitipkan motor di terminal sudah menjadi kebiasaan bagiku bila bepergian menggunakan bis. Naya sudah tidak ngambek lagi saat ini, dia sudah mulai bawel dan meracau lagi. Sepanjang perjalanan dari rumah ke terminal dia sudah berceloteh seperti membuat daftar akan kemana saja nanti dia ke Yogya, karena di jalan jadilah aku hanya menanggapinya dengan "Iya" berkali-kali. Hehehe. Setelah sampai terminal, menitipkan motor di tempat penitipan kami lekas naik ke atas bis. Naya selalu duduk di dekat kaca dan aku di sebelah kanan, dengan alasan mau liat-liat dan biar afal jalan walaupun kenyataannya dia selalu tertidur setelah bis berjalan sehingga tidak pernah afal jalan.
Bagi Naya, pulang ke Yogya itu menyenangkan sekaligus mengorek luka lamanya. Pergi ke Yoga bagi Naya adalah mengenang masa lalunya, masa-masa yang indah tentang masa kecilnya, kuliahnya, asmaranya dan sekaligus sedikit masa-masa suram tentang latar belakang keluarganya.
Naya, istriku yang ceria itu seperti sudah aku ceritakan sebelumnya sebenarnya seorang yang introvert, dia tidak pernah mau menghiraukan pendapat orang lain jika ia sudah mau akan sesuatu. Jika sudah begitu hanya aku yang bisa meluluhkannya, entah kenapa padahal apa yang aku omongkan padanya hampir sama seperti yang orang lain katakan. Banyak yang tidak tahu jika sebenarnya Naya itu memiliki hubungan yang tidak begitu baik dengan ibunya, Naya sudah hampir 5 tahunan ini tidak berkomunikasi dengan sang Ibu. Inilah mengapa aku sebutkan bahwa latar belakang keluarganya adalah masa-masa suram baginya. Setelah sang Ibu berpisah dengan ayahnya dan memutuskan untuk menikah lagi dengan pria asal swedia dan saat ini menetap disana sedangkan ayah Naya sekarang menetap di Jakarta .
Naya itu teman kecilku di Yogya. Kami sudah mengenal ketika sama-sama duduk di bangku sekolah dasar, rumahku terletak di daerah Timoho tidak jauh dari kampus UIN Sunan Kalijaga dan rumah Naya pun dekat dengan rumahku. Naya adalah keturunan Solo, ayahnya masih kerabat keraton Kasunanan Surakarta hanya saja semenjak kuliah dan menikah ayahnya tinggal di Yogya. Sedangkan ibunya adalah seorang blasteran Jawa (Magelang) – Australia , nenek Naya dari jalur Ibunya adalah seorang australia sedangkan kakeknya asli Jawa. Kalau tidak salah aku pernah bilang kalau Naya memiliki kemampuan dalam membuat batik tulis dan melukis, keahliannya ini didapat dari eyang putri dari jalur ayahnya yang asli orang keraton Solo. Eyang putrid Naya adalah salah satu pembatik keraton Solo yang karya-karyanya dipakai oleh Pakubuwono , XI, XII dan permaisurinya, bahkan almarhumah Ibu Tien Soeharto pun juga kerap memakai batik buatannya. Hubungan Naya dengan eyang kakung dan putri dari jalur ayah sangat rekat jauh lebih rekat daripada hubungannya dengan keluarga ibunya.
Aku dan Naya bermain bersama sampai jenjang bangku sekolah menengah pertama hingga akhirnya kedua orang tuanya bercerai dan ayahnya pindah ke Jakarta . Keadaan itu otomatis membuat Naya berada di posisi yang sulit, dahulu ia selalu bercerita akan perasaannya yang bimbang, dengan siapakah ia harus ikut tinggal? Dengan ayahnya yang ke Jakarta ? atau ikut ibunya yang kembali ke Magelang? Pada saat-saat itulah setiap hari aku mencoba menghibur Naya, baik dengan lelucon, tingkah laku atau apa saja yang bisa membuatnya tertawa. Jujur aku sangat berempati dengan Naya pada saat itu, usianya yang baru saja beranjak remaja dari anak-anak membuat kondisi jiwanya masih belum kuat. Berada di posisi itu adalah suatu yang sangat sulit, walaupun aku tidak mengalaminya tapi aku seakan bisa merasakannya.
Akhirnya Naya memutuskan untuk ikut ayahnya ke Jakarta sampai ia meluluskan sekolah menengah pertamanya. Ketidakdekatannya dengan keluarga Ibunya dan alasan ingin merasakan tinggal di Jakartalah yang membuatnya ikut sang Ayah. Setelah di Jakarta pertemanan kami sedikit merenggang, jarak yang jauhlah penyebabnya. Kami hampir tidak pernah berkirim kabar dan berita. Pada saat itu fasilitas telepon ataupun telepon genggam memang sudah ada tetapi untuk ukuran keluargaku yang sederhana barang itu sangatlah sulit didapat, setahun setelah Naya pergi ke Jakarta barulah bapak memasang telepon di rumah tetapi jangankan nomor telepon alamat Naya di Jakarta pun aku tidak tahu.
Semua berubah ketika aku sudah berseragam putih abu-abu. Suatu sore setelah tiga tahun berlalu, Naya datang kerumahku. Aku sangat terkejut dan nyaris tidak percaya, teman kecilku yang sudah lama tidak berjumpa kini kembali terlihat di depan mataku. Setelah melepas rindu dan bercerita panjang lebar mengenai kabar dan keadaan, barulah Naya cerita mengenai keputusannya sekolah di Solo ikut eyang kakung dan putrinya, disitulah pertemanan kita tersambung kembali. Jarak Solo-Yogya yang tidak terlalu jauh ditambah pada saat itu rumahku sudah memasang pesawat telepon dan beberapa saat kemudian aku sudah memiliki telepon genggam, jadilah komunikasi pertemanan kami berlangsung lagi. Puncaknya ketika kami sama-sama lulus SMA dan sama-sama kuliah di Yogya.
Pada masa itul perasaanku ke Naya berjalan seperti biasa, akan tetapi pepatah Jawa yang berbunyi "Witing tresno jalaran soko kulino" benar-benar berlaku. Perasaan yang dahulu sebatas teman berubah menjadi perasaan yang ingin memiliki karena sering bertemu dan berinteraksi, rasa itu sadar kurasakan sebenarnya ketika memasuki tingkat tiga kuliah (dua tahun kuliah) atau semester-semester 5 jalan ke 6, tetapi baru satu tahun kemudian aku berani mengungkapkan rasa itu kepada Naya. Naya sebenernya tahu akan perasaannku ke padanya dan sebenarnya ia pun merasakan hal yang sama, tetapi aku takut dan khawatir akan status kami berdua. Aku takut canggung dengannya yang dahulu teman berubah jadi pacar, tetapi rasa suka ke dia mengalahkan perasaan itu semua. Akhirnya aku beranikan bilang ke dia dan diterimalah olehnya, bener-bener deh cara pengungkapanku tidak ada romantis-romantisnya setidaknya itu yang selalu diungkapkan Naya. Begini kata-katanya "Ahh kamu mah gak ada romantisnya sama sekali pas bilang suka ke akuu, apaan tuh? Untung aku mau. Huuh." Itulah yang selalu dikatakannya bila kita bernostalgia berdua. Hehe Aku sih terima saja dikatakan begitu, karena dulu pertimbanganku kalau 'nembak' dengan cara yang heboh dan romantis kalau ditolak akan malu abis dan aku tidak mau berjudi pada saat itu. Hehehe.
Setelah Naya bilang mau jadi pacar aku dan melalui hari-hari kedepan bareng-bareng denganku, langsung saja aku peluk dia dan aku ajak dia naek motorku keliling Yogja. Hahaha. Padahal tau udah berapa kali aku keliling Yogya tapi sore itulah yang paling mantab. Hehe.
Kayaknya segitu dulu deh ya celoteh nostalgiaku tentang Naya dan motorku, saat ini bis kami sudah memasuki perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah daerah Cirebon-Brebes dan sekarang pukul 10.30 WIB. Setelah Brebes masih Tegal, Pemalang, Pekalongan, Gringsing, Kendal, Kaliwungu, Semarang, Ungaran, Magelang, Muntilan baru Yogyakarta dan Kalau tidak meleset sampai di Jombor itu jam 5 pagi. Si Naya pun sudah tertidur pulas menyandarkan kepalanya di pundakku jadi saatnya aku memeluknya. Hehe.
Bye.. =)
September 2011
Di tengah deru debu jalur Pantura
ditengah-tengah Jembatan pemisah Jawa Barat-Jawa Tengah
-Nalendra Jaleswara-
~ (oleh @sthirapradipta)

No comments:

Post a Comment