Tentang 30 Hari Cerita Cinta

20 September 2011

Elegi Purnama #8

Tiga puluh menit kemudian taksi sampai di lobi hotel. Kami kembali bercakap di restoran sambil tetap saling menatap. Cahaya remang, kerlip matanya seolah bicara banyak. Kami naik dan memasuki kamar hotel tempat ia menginap.

"Kapan kamu akan mulai studi ke Jerman?" Aku membuka percakapan. "Awal 2012 aku sudah di sana, nanti kamu nyusul ya sayang. Semuanya nanti kusiapin". Ia memeluk, menciumi rambut panjangku. Bibirnya berpindah ke tengkuk, tangannya masih memeluk pinggang.


" 2012 itu tinggal beberapa bulan lagi mas". " Iya memang, and I can't wait" ia mulai membalikkan tubuhku, kami tenggelam dalam napas hangat dan udara dingin.


"Aku gak bisa, maaf!". Kutolak ketika ia mulai membuka blazerku. Kupandangi cincin emas di jari kanannya.

"Aku akan menikahi kamu Runny".
"Iya tapi aku mau jadi yang satu-satunya. Tak membagi cinta dengan perempuanmu di rumah".
"If I could turn back the time Runny.. Ayolah, besok pagi pun kalo perlu aku akan bicara dengan orang tuamu. Kamu resign Desember nanti dan susul aku ke Jerman" ia memandangku lekat-lekat.

Kuambil tas kerja dan laptop, bergegas menuju pintu dan pergi meninggalkannya. Ia sedikit berteriak memanggil. Ini tak mungkin, dan tak boleh terjadi. Tak mungkin. Tak boleh. Aku sibuk mengulang kata itu, meyakinkan diri sendiri.


Dalam taksi arah pulang kuseka air mata. Hendra sudah berkeluarga, kami dulu menjalin cinta diam-diam karena namanya terkenal di kampus sebagai calon dekan. Dan status itu tadi, sudah berkeluarga seolah melekat semacam parasit yang mengganggu kami. Dan ia beranak dua. Mungkin akan beda persoalan jika ia belum memiliki jagoan-jagoan yang setia menyambutnya pulang, begitu pemandangan yang kulihat ketika berkunjung ke rumahnya meminta tanda tangan di outline skripsiku. Tak tega rasanya menyakiti perempuan berjilbab yang sudah 9 tahun bersamanya dengan menikah diam-diam. Ia tak salah apa-apa, pun cinta kami tak juga salah. Entahlah.


***

Aku terpekur dalam sujud yang panjang. Menangisi kebodohan dan cinta mujur yang tak kunjung berpihak. Mungkin sampai aku kelelahan berdoa, duh Gusti. Aku menyebut. Kembali berdoa banyak-banyak, menyisir tasbih dan tertidur di atas sajadah merahku sampai subuh.

"Selamat kepagian, apa kabarnya hari ini Run?". Sebaris sms masuk sebagai pesan paling pagi. Rengga.

"Selamat pagiii.. Iya agak sibuk kemarin", bayangan Hendra berkelebat.
"Udah sarapan?".
"Belum", hangat ciuman Hendra masih terasa.

" Jangan lupa sarapan, hati-hati di jalan nanti".
Selalu begini, yang satu belum selesai tapi yang lain sudah muncul. Tuhan ciptakan manusia berpasang-pasangan, pastinya bukan hanya untuk ditumpuk menjadi kenangan dalam hati kan? Aku bertanya pada diri sendiri. Kemarin drama pagi dimulai dengan Herry kecelakaan. Kemudian Hendra yang muncul tiba-tiba. Taksi. Lobi hotel. Dan tahu-tahu pagi lagi.

Ketika hati berubah menjadi piala. Direbut sana-sini dan sang benda berwarna emas tak punya kemampuan menolak sebab tak bertangan dan kaki. Akulah piala itu. Menunggu hingga suatu saat diangkat tinggi-tinggi ke udara dengan bercucuran peluh. Dan mungkin sampai piala berubah menjadi karatan atau tetap cantik, namanya tetap akan sama sampai kapanpun.


"Nduk, sarapannya dihabiskan. Ngelamun aja pagi-pagi", ibu menegur pelan.

"Run, kamu inget om Ricky nggak? Teman sekolah Papah dulu".
"Nggak inget aku Pah" jawabku cuek. Pasti ini soal dijodohkan. Pasti ini. Pikiran negatif berseliweran.
"Aku males ah Pah klo ngomongin jodoh. Masih pagi, ngomongin rejeki aja gimana? " lanjutku sambil tersenyum lebar.
Jingga tak ikut nyeletuk, pasti selain tak paham dengan kata 'jodoh' ,matanya sibuk menatap lurus ke arah televisi menonton kartun Spongebob. Menjadinya mungkin tak ada beban. Tak kenal cinta. Ia cuma tahu caranya dicintai, kemudian membalas cinta dengan ucapan terima kasih atas gula-gula atau apapun yang diberikan orang. Baginya itu cara membalas cinta di mata seorang mata gadis kecil bermata bulat umur empat tahun. Atau ia cuma tahu menangis, jika keinginannya tak dipenuhi. Tak peduli bagaimana cara memahami orang lain yang berjuang memenuhi inginnya.
"Bukan, itu lho mereka mau buat ruko di dekat sini. Kemarin Papah liat trus sekalian mampir. Udah setengah jadi" sergahnya.
"Oyah? Bangun berapa ruko Pah. Di sebelah mana sih, aku nggak tau".
"Di depan jalan Garuda. Ke kanan sedikit ada tujuh ruko lagi dibangun" jawabnya.
"Banyak juga ya".
"Iya, kemarin ngobrol juga sekalian di warung Solo. Sekalian ngomongin anaknya, si Rengga".
Rengga?



~ (oleh @IedaTeddy)

No comments:

Post a Comment