Tentang 30 Hari Cerita Cinta

20 September 2011

#8: A Night With Adrian (pt. 2)

Adrian H. Choi.
Mahasiswa, 22 tahun. Salah satu yang terbaik dari jurusan Jurnalistik. Ketua Ohio University Journalist selama tiga tahun. *Freelance columnist and amateur photographer*. *So called cool guy, yet sociable and humble. Good looking *(*who can't ignore *Landon Pigg's *twin*, eh?). Aku dengar, dia juga lihai menggebur drum.
Pertemuan-pertemuan kami bisa dihitung dengan jari – empat atau lima kali sejak presentasi di aula. Di balik pembawaannya yang *cool*, ternyata Adrian adalah sosok yang ramah, sopan, dan humoris. Tidak sulit untuk berdaptasi dengannya, karena dia selalu membuat lawan bicaranya nyaman untuk berbagi cerita.
Di pertemuan ketiga saja, aku sudah sanggup dibawa tertawa dan kaget begitu tahu kepanjangan dari nama tengahnya: Hephasetus – si dewa pandai besi Olympus. Adrian juga tidak menyembunyikan kegeliannya begitu mengetahui nama asliku: Aphrodite. Kami bergidik hebat, tapi juga malu sendiri mengingat kisah kedua dewa-dewi dalam Mitologi Yunani ini. *Well,* Adrian tidak tahu asal usul nama tengahnya itu, jadi dia sangat bersyukur saat ibunya menikah dengan pria berkebangsaan Korea, dan memberi nama belakang Choi  untuknya.
Setelah dua bulan yang melelahkan dan penuh drama di Norfolk, aku kembali duduk di sampingnya. Menutupi kakiku dengan selimut, sementara Adrian duduk menungguku di samping dengan tangan terlipat di dada. Dia meminta untuk menemaniku di kamar dengan tawaran untuk mendengarkan kisahku sanpai tamat.
*He's a good listener like Jared.*
Masalahnya sekarang... aku bingung harus memulai dari mana. Apa yang terjadi di Norfolk juga ikut menarik *love life*-ku di SMA.
"Ceritakan saja dari," Adrian menggumam sejenak, "siapa yang membuat kamu patah hati."
Aku menarik nafas panjang, lalu memulai kisahnya. Diawali dengan hubunganku dengan Ares di Norfolk*. Well,* aku ingin memangkas ceritanya jadi sependek mungkin. Tapi, semakin lama, semakin ingin aku membeberkan semuanya. Bahkan tentang Yudika... tidak ada yang dibuang sama sekali! Ini membuatku muak dan merasa sedih; kenapa momen-momen itu bisa terekam sangat baik?
*"So, yeah, we decided to separate,"* pangkasku menutup cerita berdurasi satu jam lebih lima menit. Beberapa kali, aku menyeka air mata dengan sapu tangan yang Adrian berikan tadi siang. *"Bittersweet."*
Adrian menegakkan punggungnya yang hampir merosot ke bawah, lalu menatapku sejenak. *"Do you still love him?"*
Mataku mengerlingnya tajam. Kenapa harus pertanyaan itu yang terlontar?
"Kamu... kamu tahu sendiri jawabannya."
*"Yeah, and that makes you crying like this*," sahutnya kalem. "Dan setelah hari itu, apa yang kamu harapkan?"
"Seperti yang hampir semua cewek harapkan – si cowok mudah-mudahan lagi mabuk dan nggak sengaja ngomong ngalur-ngidul. Setelah sadar, si cowok ngejar si cewek dan minta maaf. *And the relationship gets its track again*,"
paparku miris. "Ya, seandainya seperti itu. Seandainya Ares mabuk hari itu dan ngejar aku ke sini—"
Aku terdiam karena menyadari... ucapanku tadi terdengar seperti orang putus asa. Jelas, itu tidak mungkin terjadi! Ares sadar, terlalu sadar untuk menentukan pilihannya. Aku juga mungkin sedang terlalu logis untuk
mengiyakan keputusannya.
"*I'm disappointed, because there was just a less drama*," candanya. "Tapi, aku salut sama kamu, Dita. *You get maturing by loving him so much*.
Sebagian besar cewek mungkin akan memberontak dan ingin si cowok menelan kembali keputusan itu. *But, you just agreed because... it wouldn't work out. You fought the fear. Fearless."*
*"Thanks."* Pujiannya berlebihan. *"But, I'm not *Taylor Swift."
Adrian terkekeh. "Apa kamu menyesal dengan keputusan itu?"
Aku menggelengkan kepala. "Sakit karena harus berpisah, ya. Tapi, untuk menyesalinya... tidak. *I thought for it back and forth, so, it didn't leave the regret."*
Senyumnya merekah semakin lebar. "Gimana kalau seandainya... dia ngasih kamu kesempatan kedua untuk membangun hubungan itu lagi?"
HAH, nampaknya, aku harus membuat *FAQ – Frequently Asked Questions* nanti!
"Tergantung ya, Ad. Tapi, pada dasarnya, aku nggak bisa mencintai orang yang sama dua kali, *especially if he gets my heart hurt*. Bahkan untuk Ares..."
Kepalaku mengangguk lemah. "Lebah nggak bisa ngambil madu dari bunga yang sama, kan? Bunganya udah layu..."
*"Sounds interesting,"* gumamnya. "Bahkan kalau dia... sudah bisa mencintai kamu sepenuhnya?"
"AD!" gertakku kesal.
Tangannya terangkat. "Maaf, Dita. Tapi, kemungkinan-kemungkinan kecil seperti itu bisa meruntuhkan pendirian, lho!"
Bola mataku berputar. "Kayaknya kamu punya banyak pengalaman, ya, untuk masalah perKENCANan."
*"In fact, no,"* sanggahnya, mengagetkanku, *"I haven't been dated with any girls."*
Aku semakin melongo.

***

Adrian kecil tumbuh di tengah keluarga yang serba kekurangan. Dulu, mereka tinggal di Brooklyn, New York, yang dikenal dengan lingkungannya yang keras.Ibu Adrian hanya seorang pekerja di toko permen kecil, sementara ayahnya pergi entah kemana setelah Adrian lahir. Meski begitu, Adrian dibesarkan dengan baik oleh ibunya. Dia tetap disekolahkan dan Adrian membantu keuangan keluarganya dengan berjualan koran. Adrian senang membaca berita-berita yang muncul setiap harinya di koran yang dia jual. Dari sanalah minat jurnalisnya tumbuh. Baginya, tidak ada yang lebih menarik dari kata-kata yang terangkai dengan apik di atas secarik kertas.
Beberapa tahun kemudian, Adrian mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di salah satu SMA terkemuka di New York. Sang ibu tak lama kemudian bertemu dengan guru Literatur-nya, Tuan Choi, dan menikah lima bulan kemudian. Hidup mereka berubah 180 derajat; Adrian dan sang ibu pindah ke apartemen kelas menengah. Namun, itu tidak lantas membuat Adrian lengah dan melupakan cita-citanya untuk menjadi seorang jurnalis.
Karena tidak suka dengan hiruk-pikuk New York, Adrian memutuskan untuk kuliah di Ohio University atas rekomendasi temannya setelah sang ayah tiri memboyong ibunya untuk pindah ke Korea karena alasan  pekerjaan. Di sini, dia langsung mendapat perhatian karena prestasinya yang menagumkan. Adrian mendapatkan beasiswa di semester tiga.
"Nah, justru karena sibuk mengejar cita-cita itu-" bahunya mengedik "-aku jadi nggak punya waktu untuk ngurusin kencan atau apalah. Jangankan kencan, *to **have a crush is totally like a falling star for me."*
Aku tergelak. "Tapi, jangan bilang kamu nggak pernah jatuh cinta!"
"Pernah beberapa kali," gumamnya dengan dahi mengerut. "Tapi, cita-cita itu selalu berhasil menarikku kembali untuk tidak memikirkannya."
"Kalau gini terus, kamu bisa jadi bujang lapuk!" Kami tertawa lepas.
*I told you –* Adrian selalu membuat lawan bicaranya terhibur. Satu jam yang lalu, aku masih menangis karena patah hati. Tapi, sekarang, aku menangis karena tertawa bersamanya.
Adrian menghela nafas panjang. *"Glad to see you laughing again."*
"Ini juga gara-gara kamu!" timpalku sambil menyeka air mata. "Mmh, ini sapu tangannya gimana? Aku kembaliin kalau udah dicuci, ya?"
"Simpen aja buat kamu."
"O-Oke."
Kemudian, Adrian meraih ponselku yang tergeletak di atas meja. "Wah, pantesan aja nggak diangkat! Ternyata dimatiin."
"Sengaja. Aku nggak mau..."
Tapi, Adrian malah mengaktifkannya dan membuatku panik. Dalam sepuluh detik, ponselku terus berbunyi karena terlalu banyak pesan yang masuk dan *missed call* yang tidak terhitung.
Sampai, satu panggilan baru masuk: dari Ares.
Adrian menyodorkannya padaku. "Kamu boleh sakit hati, tapi bukan berarti hubungan kalian benar-benar berakhir."
Meski ragu, aku mengambil ponsel itu dari tangannya dan menekan '*yes*' untuk menjawab panggilan.
"Dita?" Aku menahan diri untuk tidak menangis lagi, sementara Adrian menguatkan dengan mengusap-usap punggungku.
"A-Ares," kataku berusaha tenang, "maaf aku baru nyalain ponselnya. *By the way,* aku udah nyampe kampus, kok."
Dia menghela nafas lega. "Glad to hear you're okay."
Ares ternyata sudah berada di Boston karena paksaan dosennya untuk mengganti ketidakhadirannya tempo hari. Dia juga baru mengantar Artemis pulang ke Yunani sebelum pergi ke Boston. Awalnya, terasa sangat sakit untuk mendengar suara Ares, tapi aku memaksa diri untuk membiasakannya.
"Good luck for you, Dita."
*"You too. Bye, Ar."*
Rasanya, jiwaku baru kembali setelah percakapan itu berakhir. Adrian masih menepuk-nepuk punggungku untuk memberi kekuatan.
"Kamu baru saja memulainya." Dia menganggukan kepala*. "You'll heal faster than you ever expect."*
***


~ (oleh @artemistics)

No comments:

Post a Comment