Tentang 30 Hari Cerita Cinta

13 September 2011

Sonata Kenangan : Cinta itu, Dia!

"Happy anniversary, sayang!" Kecupnya mendarat di keningku.
Di malam ini, hanya lilin temaram yang merekat. Memadu dua hati yang saling erat.
Ya, inilah tahun ketiga aku bersama kekasihku, Revand Adisaputra. Dimulai saat menjalani masa-masa indah di awal SMP. Aku mengenalnya sebagai kakak senior yang memandu MOS di kelasku. Dulu, aku sama sekali tidak meliriknya, atau menyukainya. Bahkan aku membencinya. Tapi karena hal yang entah, aku perlahan mulai mengaguminya. Dan tanpa sadar rasa cinta itu pun tumbuh. Ya, bisa dibilang itu hanyalah cinta masa anak-anak, cinta monyet. Tapi nyatanya, hubungan kami bertahan tiga tahun meski sempat banyak goncangan yang melilit.
Teman-teman sekolah pun banyak yang mengacungi jempol atas kebersamaan kami yang bisa dibilang langgeng. Mungkin karena masa-masa SMP kebanyakan menjalani hubungan yang kandas di bulan yang kesekian. Tapi entah, aku bersyukur memiliki Revand di sampingku. Dia indah. Semua tentangnya, seakan terlukiskan dalam satu kata; cinta.
"Kamu, dengarkan lagu ini, ya. Lagu ini untukmu."
Aku memainkan gitar, dan menyanyikan sebuah lagu dari band asal luar negeri, Paramore. Lagu The Only Exception ini memang sangat menggambarkan diriku. Dimana aku yang dulu trauma akan cinta karena masalah keluargaku yang broken home. Dimana dulu, papa dan mamaku tiada akur semenjak yang kuingat. Bagaimana Tuhan mengirim buliran hujan yang deras di tengah keluarga kecil kami. Sampai akhirnya aku harus merelakan papa menjalani kehidupannya sendiri, itu pelik. Seperti lagu ini juga, aku bergidik setiap kali mendengar kata cinta. Bagiku cinta adalah kemusnahan, kebohongan, kemunafikan!
Tapi mengenal Revand adalah perubahan bagiku. Dia merubah pandanganku akan cinta. Ternyata cinta, itu kekal, abadi, dan ada. Aku yakin sekarang, aku mengenal cinta yang sesungguhnya.
"Suara kamu indah, sayang."
"Haha... Gombal!" Aku mencubit gemas lengannya.
Dia membalasnya dengan mengacak-ngacak rambutku.
Aku terbatuk. Aku mendekap dadaku erat-erat dengan sebelah tanganku. Dengan tiba-tiba rasa sakit menyeruak di sana.
"Kenapa, Vina? Radang paru-paru kamu kambuh, ya?" Dia merangkulku.
"Yah... Sepertinya. Aku gak apa-apa, kok."
"Hmm... Kamu itu apa-apa. Radang paru-paru dengan batuk berdarah itu apa wajar?"
Aku menatap perlahan tangan yang ditunjuk Revand. Benar, ada segumpal darah di sana. Apa ini sungguh? Apa benar ini darahku?
"Vin, kita pulang sekarang, ya."
"Gimana kamu, deh." Aku menurut, tak kuasa menolak. Karena memang lambat laun dadaku menyesak. Seakan dihimpit dua dinding yang kian menyempit. "Besok jadi temani aku manggung, kan?"
"Kamu tetep mau manggung besok? Apa ngga apa-apa?"
"Aku ga apa-apa, sayang. Sebentar lagi juga paling sembuh, kok."
"Ya udah, aku pasti temenin, kok!"
Aku menggandeng dan menariknya sebagai isyarat 'cepat-cepat'. Dan, sepertinya Revand mengerti.
Sesampainya di rumah, hanya sebuah kecupan yang kuberi pada mama. Aku tak berani berada di depannya lama-lama di saat seperti ini. Dia tau betul keadaan anaknya yang sedang sakit. Aku hanya tak mau membuatnya memikirkanku. Jadi, aku lebih memilih cepat-cepat naik ke kamarku. Dan merebahkan paru-paruku yang mungkin merengek minta istirahat.
Aku sejenak membersihkan diri. Kutanggalkan ikat rambut yang melilit rambut ikalku sedari tadi. Ketika aku bercermin, merapikan rambutku yang bisa dibilang sulit diatur; satu, dua, tiga tetes darah mengalir perlahan dari hidungku. Dengan cepat aku meraih tissue di sampingku, menghilangkan tiga tetesan darah di meja rias. Dan menghalangi darah yang terus menetes di hidungku. Tuhan, aku ini kenapa?
"Vina..."
Aku terkejut. Aku membalik badan, menghadap mama dengan tissue masih kuletakkan di hidungku.
"Vin, kamu kenapa?"
"Eh..." Aku tergagap, "Pilek, ma."
"Ooh... Mama kira kamu kenapa. Ya udah, istirahat sana. Mama buatin susu hangat, ya?"
"Nggak usah, ma. Vina mau langsung tidur, kok."
"Oh ya udah. Night, sayang..." Mama menutup pintu perlahan.
Aku melepas tissue yang menghalangi darahku, ada banyak darah di sana. Aku heran, mengapa mama tak jeli melihat tumpukan merah di sini? Entahlah...
***
"Hei! Cepetan naik!" Revand menyembul di balik jendela.
"Kamu bisa nyetir?"
"Tentu. Masa aku kalah sama bidadariku ini?" Senyum gombalnya merekah.
"Hahaha... Apa sih, kamu." Aku masuk, menduduki jok di sampingnya.
Mobil mulai berjalan menuju tempatku akan menyanyi nanti.
"Kamu udah gak apa-apa, nih? Tetap mau manggung?"
"Aku gak apa-apa, kok. Iya, cerewet!" Aku tertawa geli melihat wajahnya yang berubah masam.
Sekian menit kemudian, aku sampai. Siap untuk dirias dan menjalankan tugasku seperti biasanya. Satu, dua lagu berhasil kunyanyikan. Meski di lagu pertama sempat terasa nyeri di dadaku, tapi di lagu kedua sungguh berjalan lancar. Di lagu ketiga pun sama! Aku sukses menyanyikannya hingga akhir. Namun, ketika aku sampai di belakang panggung, aku mendadak begitu lemas.
"Revand..." Teriakku lirih.
"Vinaaa..!!" Revand meraihku. Lalu semua terasa lesap dari pandangan, gelap menyeruak.
"Vina... Kamu sudah sadar??" Ada mama di sampingku.
"Mama? Kok aku di sini?" Aku berkata dengan lemah yang tetap.
"Tadi Revand bawa kamu ke sini. Kamu pingsan seusai menyanyi."
"Sekarang mana Revand?"
"Mama menyuruhnya pulang," mama membelaiku perlahan, "Kamu kenapa sih, sayang? Sekarang apa yang kamu rasa?"
"Lemas aja, ma. Dada Vina sedikit sesak." Aku tak kuasa berkata bohong. Aku yakin, mama sebenarnya sudah tau keadaanku yang sebenarnya.
"Kita ke dokter Riana, ya?"
"Ya sudah..." Aku berusaha tersenyum.
Tak lama aku menanti di ruang tunggu ini, namaku sudah dipanggil.
"Hallo, Vina. Kamu sudah besar, ya? Umur berapa sekarang?" Dokter Riana menyambut kami dengan hangat.
"13 tahun, dok." Aku tersenyum dan balik menjabat hangat tangannya.
Dokter Riana sejenak membaca buku catatan rumah sakitku. Buku catatan itu berisi riwayat-riwayat penyakitku semenjak aku menjadi pasien dan mendaftar di rumah sakit ini.
"Jadi, kamu kenapa nih, Vin?"
"Ini, dok. Semalam Vina mimisan, dan tadi baru saja pingsan. Katanya lemas dan dadanya sesak."
Aku menatap mama lekat-lekat, "Lho, mama kok...?"
"Kamu kira mama bisa kamu bohongi? Hihihi..."
Aku tersipu. Ah! Memang tak seharusnya aku merahasiakannya semalam. Karena bagaimana pun mama memang pasti tahu.
"Ada batuk berdarah?"
"Hmm... Ya."
Dokter Riana terdiam cukup lama, "di sini ditulis riwayat penyakitmu adalah radang paru-paru," matanya terpaku pada lembaran-lembaran bukuku. "Melihat kondisinya, memang belum bisa saya simpulkan. Tapi..."
"Tapi kenapa, dok?" Aku seakan tak sabar.
"Saya rasa kamu cukup parah."
"Hah?? Parah bagaimana maksud dokter?"
Dokter Riana terdiam dan membelai wajahku, "Kita akan lakukan pemeriksaan lebih lanjut."
Aku hanya bisa diam, menatap ke ujung meja di depanku, merenung. Ya Tuhan, aku ini kenapa?


- (oleh @LandinaAmsayna - http://landinaamsayna.blogspot.com)

No comments:

Post a Comment