Tentang 30 Hari Cerita Cinta

14 September 2011

Sonata Kenangan : Apa Aku Masih 'Aku'?

Aku mengikuti semua yang diarahkan dokter Riana. Mulai dari merebahkan diriku di sebuah alat putih panjang; yang ada sesuatu yang melingkar di sana, pemeriksaan segala sampel, dan sebagainya. Semua rumit. Aku tak mengerti itu apa, bahkan nama-namanya saja tak dapat kuhafal. Dari semua yang kujalani saat ini, aku yakin; memang aku tidaklah baik-baik saja.
Handphone-ku bergetar, ada sebuah pesan singkat masuk. Kuklik tanda 'buka' dan terbacalah pesan itu. Oh! Ternyata Revand, sudah kuduga.
Vin, kamu udah sadar?
Gimana keadaan kamu?
Aku jenguk, ya?
Aku seketika menekan tombol 'balas' dan membalas pertanyaannya yang merombong.
Aku udah baik-baik aja kok, Rev.
Ngga usah, sayang. Lagian aku gak apa-apa, kok. Makasih ya tadi udah nganterin aku pulang...
Tak lama kemudian balasan Revand tertera di layarku.
Ya udah, kamu istirahat sana.
Sama-sama, sayangku.
Aku tak membalasnya dan membiarkan handphone-ku mendekam lagi di kantung jeansku.
"Revina Karina..." Namaku dipanggil suster yang bertugas di ruang praktek dokter Riana.
Aku dan mama segera masuk tanpa diaba-aba.
Sekilas dokter Riana tersenyum penuh arti padaku. Seperti, sekilas menelusup dalam pancaran mataku.
"Ibu dan Vina, saya tidak mau ada yang ditutup-tutupi di sini. Ibu dan Vina berhak tahu yang sebenarnya menurut saya. Apalagi, Vina saya rasa sudah cukup dewasa."
Aku dan mama bertatap-tatapan heran, "Baik, dok. Jadi, Vina kenapa?" Tanya mama seolah mewakili pertanyaanku.
"Saya mohon Ibu dan Vina bisa tenang, semua ada jalan keluarnya," dokter Riana menghela nafas sebentar, lalu melanjutkan, "Vina positif kanker paru-paru."
"Apa, dok??? Dokter jangan becanda!!" Mama histeris. Aku hanya bisa menangis lemah dalam dekapan mama.
"Mohon ibu tenang dulu. Ini, kankernya bersarang di sini." Dokter Riana menunjukkan foto yang entah apa dan menunjukkan tempat kankerku bersarang. Aku dapat melihat dari daerah yang ditunjukkan dokter Riana, kankerku cukup menyebar dengan luas.
"Ya Tuhan..." Mama menangis lemah, seakan hilang tenaga.
"Tapi, dok. Vina masih bisa sembuh, kan??"
"Pasti bisa, bu. Dengan gabungan kemoterapi, radioterapi dan oprasi," dokter Riana kembali membuka lembaran-lembaran bukuku, "Tapi resiko sangat berat. Vina terlalu lemah dan masih belia. Saya takut tubuhnya tidak kuat merangsang obat-obatan keras."
"Saya yakin saya bisa, dok. Saya pengen sembuh." Aku sungguh terisak.
"Ini tidak semudah yang kamu kira, Vina. Butuh banyak pertimbangan. Kamu masih kecil, kamu terlalu lemah sedari kamu bayi, dan; maaf saya dengar ibu single parent?" Tatapannya beralih ke mama.
"Hmm... Ya, memang saya single parent. Tapi saya akan usahakan segalanya, dok. Saya cinta Vina."
"Sebaiknya ibu pertimbangkan dahulu semuanya. Jika keluhan berulang, kemarilah."
Dan kami berjabat untuk pamit. Dengan mata yang sembab, ibu menyetir dalam keremangan hatinya yang tak bisa ia pungkiri; begitu pula aku. Aku masih saja tak bisa mempercayai segala ucapan dokter Riana tadi. Aku menderita kanker?
***
Kini Revand telah berada di depanku, "kamu masih sakit, ya? Kamu udah aku izinin ke SMP, kok."
Ya, gedung sekolahku mulai dari TK, SD, SMP sampai SMA terletak di satu lokasi. Sehingga aku dan Revand masih begitu mudah bertemu meski sudah beda sekolah.
"Iya, sayang. Makasih, ya..." Aku membalas genggaman hangatnya.
"Hmm... Rev,"
"Ya?" Ia menoleh, menatapku dengan tatapan tajamnya.
"Aku inget, dulu kamu pernah bilang bahwa kamu ga mau punya kenalan yang sakit parah karena gak akan kuat saat kamu kehilangannya."
"Oh itu, terus?"
"Kalau aku yang sakit parah, gimana?"
"Sayang, dengerin aku baik-baik, ya. Apapun yang terjadi, aku bakalan tetep bareng-bareng kamu. Nemenin kamu. Cintai kamu." Tangannya membelaiku, "memangnya kenapa, sayang? Kok ngomongnya gitu?"
Aku menghambur memeluknya, perlahan buliran air mata mengalir membasahi sunyi.
"Aku kanker, Rev... Aku kanker." Aku berbicara sekuat keberanianku.
Revand merekatkan pelukkannya, aku dapat merasakan dirinya menangis, "Vina, gimanapun kamu, aku akan tetap cintai kamu. Kamu yang kuat, ya! Kamu harus tetap menjadi kamu. Kamu yang cantik di mataku, yang periang, yang selalu semangat!"
Aku benar-benar tak kuasa menahan air mata. Buliran itu menderas.
Tuhan, terima kasih telah mengirimkan cinta yang tegar untukku, Revand...
"Rev, kalau aku jadi botak karena kemoterapi, gimana? Gak akan ada lagi rambut ikal yang kamu sukai."
Revand terdiam, menatap sendu pada gumpalan rambutku yang diikat rapi ke belakang. Seperti menerawang, menerjang gawang. Entah apa...


- (oleh @LandinaAmsayna - http://landinaamsayna.blogspot.com)

No comments:

Post a Comment