Tentang 30 Hari Cerita Cinta

17 September 2011

Tuhan, Aku Ingin Bebas

"Maaf nunggu lama." Hanya sepatah kata itu yang kuucapkan. Kini Viva, Azizah dan Jennifer telah ada di hadapanku. Setelah Jennifer absen karena izin ke luar kota bersama orang tuanya, ia kembali bersama kami.
Viva menatapku, aku tau dia mengerti apa yang baru saja kualami.
"Lo kenapa sih akhir-akhir ini sering ngilang tiba-tiba? Kadang tiba-tiba di kamar mandi, tiba-tiba jauh di belakang kita. Yah, tiga kali semenjak aku masuk lagi." Jennifer merangkulku.
"Waduh, memangnya gue setan ngilang tiba-tiba? Hihihi..." Aku hanya berusaha mengalihkan heran yang pasti perlahan-lahan akan menguasai pikiran Azizah dan Jennifer, atau mungkin Deo. Meski Deo jarang melihat aku sakit.
Bukan aku tak percaya pada mereka, atau menganggap mereka bukan yang kusayang. Hanya, ragu masih mengikat kuat otakku.
"Are you okay?" Viva setengah berbisik. Dengan maksud agar Azizah dan Jennifer di depan tetap asik dengan candaannya sendiri.
"Yeah... I think." Aku menggenggam tangannya kuat-kuat. Lemas dan pusing menyerangku dengan tiba-tiba. Aku selalu merasa seperti ini saat darah terus menerus tak betah mengalir di diriku.
Menjalani usia SMP dengan kanker yang kian melejit dalam tumbuhku tidaklah mudah. Selain namaku harus sering menjadi daftar absen sakit di kelas, ketika aku masuk pun; tidak jarang kanker itu seolah memaksaku untuk tidak melanjutkan pelajaran. Aku sering tak konsen menerima pelajaran, bahkan saat ulangan. Juga teman-temanku yang semakin hari semakin menyadari kejanggalan ketika aku hanya menjawab "sakit biasa, kok." Dan mungkin begitu pula dengan guruku, walau mereka tidak ada yang bertanya lebih lanjut.
Aku hanya, merasa membohongi mereka.
***
Aku langsung merebahkan diri di kasur setelah di perjalanan darah itu kembali mengalir.
Mama datang, duduk di sampingku.
Aku sontak memeluk mama, "Ma, Vina pengen sembuh. Vina capek..." Teriakku lemah.
Mama menangis, juga.
"Maafin mama, sayang. Mama pengen kamu cepat-cepat ikut terapi dan pengobatan lain. Dokter Riana juga sudah berani memberi pengobatan kamu. Tapi, dapat dari mana mamamu ini uang, sayang? Kamu tau keadaan kita seperti ini." Air mata mama mengalir begitu deras. Aku menjadi semakin menangis. Bukan memikirkan diriku yang terus melemah, tapi mama. Aku merasa bersalah telah meledakkan air mata mama.
Aku terdiam, tanpa mama jelaskan, aku dapat mengerti maksudnya. Papa tak mungkin kami harapkan.
"Kenapa ngga alternatif aja, ma? Kata temen Vina pengobatan alternatif itu manjur, kok."
"Kamu ingat tante Mellisa, yang meninggal karena leukimia?"
"Iya, Vina inget." Mataku menerawang wajah tante Mellisa. Cantik, bersuara emas, juga baik. Sayang, leukimia telah memakan nafasnya.
Memang, kankerku ini kurasa faktor genetik dari keluargaku. Setidaknya aku tak dikucilkan dalam keluarga, mereka banyak yang sama denganku. Hanya, aku memang yang termuda.
"Dia satu-satunya dari keluarga kita yang terserang kanker yang menjalani pengobatan alternatif. Bukan mama tidak percaya atau bagaimana, mama tau kok pengobatan alternatif itu manjur. Bahkan teman-teman mama yang terkena kanker berhasil sembuh setelah menjalaninya. Tapi mama trauma, sayang. Kamu ngerti, kan?" Mama membelai halus rambutku.
Aku hanya mengangguk, pasrah.
"Mama bakalan terus berusaha, bagaimanapun kamu harus sembuh!" Terdengar nada semangat dalam gemuruh suaranya.
Aku mempererat pelukanku, tak ingin lepas meski sekejap.
Meski tanpa sosok seorang ayah, aku bisa merasakan memiliki orang tua lengkap di sini. Mama, orang yang lembut namun berhati baja. Aku merasa bahagia dapat memilikinya.
Tuhan, kalau boleh, aku ingin lebih lama memeluk erat mama dan adikku; juga papa. Setidaknya, sebelum perkembangan sang kanker ini kian melejit.
Tuhan, boleh aku mendekap sedikit kebebasan seperti sediakala? Bolehkah aku sembuh?


- (oleh @LandinaAmsayna)

No comments:

Post a Comment