Tentang 30 Hari Cerita Cinta

15 September 2011

Sonata Kenangan: Selamat Tinggal, Nada...

"Revand, kamu kenapa diam?"
"Tidak... Tidak apa-apa," mulutnya kembali mengatup, "Kamu tahu, kamu tetap cantik di mataku, bagaimanapun rambutmu atau keadaanmu yang lain. Tapi, aku akan merindukannya..." Revand mencubit kecil lenganku, tanda mengalihkan kesedihan.
Aku cekikikan, mencoba berbaur dengan suasana yang baru saja ia terbitkan.
"Hmm... Vin, kayaknya mau hujan, deh. Aku pulang, ya? Aku naik motor soalnya."
"Ya udah, hati-hati di jalan ya, sayang. Maaf aku gak bisa anter kamu sampe pintu depan."
"Gak apa-apa kok, sayang. Daaah..." Dan dia sudah tepat di depan pintu kamarku sekarang, sekejap ia berbalik badan, "Vina, kamu yang kuat, ya..."
Aku hanya mengangguk. Ada banyak perasaan berkecamuk di sana; dalam dada.
***
"Vivaaa, Azizaaah, Deooo...!!" Aku histeris saat melihatnya di hadapanku sekarang. Sejak kejadian itu, aku absen sekolah selama satu minggu. Kau pasti tahu bagaimana rindunya aku pada mereka, sahabat-sahabatku.
"Vinaaa..!!" Deo menyambut hangat.
"Kemana aja lo? Ngilang." Viva menyenggol sedikit lenganku.
"Tau, nih. Gue kangen mainin rambut lo. Hahahaha..." Timbal Azizah yang memang bisa dibilang hobi mengacak-ngacak ujung rambutku yang sering diikat satu saat sekolah.
"Iih, emang rambut gue mainan apa? Hahaha... Gue sakit, guys." Aku menggebrak meja dengan tasku yang lumayan berat.
"Sakit apa lo?"
"Sakit hati. Hahaha..."
"Serius!" Azizah seakan mewakili ekspresi wajah Viva.
"Sakit biasa, kok. Hehe..." Terlintas di fikiranku untuk mengatakan hal yang sebenarnya kepada mereka, bagaimanapun mereka sahabat terbaikku. Namun, sepertinya ini tidak akan berdampak baik. Aku tak yakin mereka akan tetap menerimaku, "ada PR?"
"Hmmm... Tidak." Seperti biasa, Deo langsung melirik pada Viva dan Azizah tanda tidak yakinnya dia.
"Iya, nggak ada, kok."
"Bagus deh, soalnya kalau ada gue belum ngerjain. Hahaha..." Menetralisir suasana hatiku sendiri tidaklah mudah. Baru saja mendapat tekanan yang tanpa disengaja kudapat adalah suatu yang berat bagiku.
Syukurnya, dari awal pelajaran sampai selesai pelajaran, kankerku tidak kambuh sama sekali. Bahkan yang biasanya batukku mengeluarkan darah, atau mimisan yang kerap terjadi, semua lenyap. Aku tahu, Tuhan bersamaku saat ini.
"Vina..." Sapaan Revand membuyarkan pikiranku.
"Eh, kamu." Aku segera memasukki mobilnya, kali ini supirnya yang menyetir.
"Nanti, kalau gak kuat jangan dipaksain, ya..."
"Iya, sayang." Aku memberi tatapan 'yakin' padanya.
Ini pula hari pertamaku kembali bernyanyi setelah kejadian saat itu. Kuharap semua akan baik-baik saja. Bagaimana pun, aku tetap harus membantu perekonomian keluarga yang menurun semenjak ayah menjalani kehidupannya sendiri. Yah, meski tak seberapa, setidaknya aku tak perlu lagi meminta uang dari mama untuk keperluanku. Aku bisa memenuhinya dengan sendiri. Biar hasil mama bekerja untuk memenuhi dirinya dan adik kecilku, Reno.
Namun kenyataannya, semua tidaklah sempurna. Aku tak sadarkan diri, lagi. Entah aku jatuh saat di panggung, atau bagaimana, semua sulit terekam dalam memoriku. Dan ketika aku terbangun, aku sudah di rumah sakit dengan Revand dan mama di sampingku.
"Vina, kamu istirahat dari bernyanyi dulu, ya." Dokter Riana ternyata juga berada di sampingku.
"Maksud dokter?" Suaraku bahkan hampir lenyap.
"Vina, saya tahu kamu begitu menyukai musik. Tapi, menyanyi itu berat bagi kamu, Vin. Tidak mudah."
"Tapi, dok....."
"Vina, turuti apa kata dokter. Semua demi kebaikan kamu." Revand memotong perkataanku.
Aku tiada kuasa lagi untuk menolak. Tidak menyanyi lagi adalah suatu keputusan yang sulit kujamah. Bukan semata karna hobiku yang sejak kecil, tapi; bagaimana dengan mama dan Reno? Beban mereka pastilah lebih meninggi. Belum lagi biaya obat-obatanku yang tak kusangka mahalnya.
"Vina, nurut, ya?" Mama memegang erat tanganku.
Dokter Riana menatapku dengan harap.
"Baiklah..." Aku menjawab lirih, dengan sekuat tenagaku.
Nada, selamat tinggal. Aku berjanji, aku akan mendiamimu dalam hatiku. Dan suatu hari, aku akan kembali menyentuhmu; demi mereka. Tetapi saat ini, mungkin aku tak berarti...
Tuhan, mengapa aku ditakdirkan tiada berguna bagi mereka? Mengapa aku malah mempersulit mereka?



- (oleh @LandinaAmsayna - http://landinaamsayna.blogspot.com)

No comments:

Post a Comment