Tentang 30 Hari Cerita Cinta

17 September 2011

Elegi Purnama #5

Aku berjalan tergesa menuju Kampus Unitra BNN, ah sudah telat lima menit rupanya. Di sebelahnya, bangunan putih menjulang berbentuk kotak bernama Gedung Panti Rehabilitasi. Beberapa staf Unitra Lido keluar dari gedung, Pak Jandri dan Bu Rika melambai dari kejauhan.

Melewati taman kecil berpancuran, bangunan minimalis ini terlihat kaku. Aku masuk melewati lobi gedung yang terlihat lebih seperti hotel dan bertemu dengan seorang peserta kelas menulis yang baru keluar dari toilet.

Di luar, riuh suara penghuni rehab sedang berlatih basket. Akan ada turnamen minggu depan rupanya. Di sinilah, tempat pemuda bangsa yang terlanjur berkenalan dengan narkoba menempa kembali semangatnya untuk hidup lebih baik. Bangun setiap pukul lima pagi dan mereka harus melaksanakan solat subuh bagi yang menjalankannya. Piket mengepel lantai ruangan dengan cara berjongkok. Meletakkan semua barang sesuai dengan tempatnya, sedikit saja salah meletakkan handuk misalnya, akan diberi hukuman menulis janji untuk tidak lupa menaruh handuk lagi di sebuah buku tulis tebal. Mirip hukuman pada murid Sekolah Dasar. Bedanya tidak ada hukuman setrap, berdiri di depan kelas dan menjewer telinga sendiri. Tak ada hukuman fisik, semua hanya efek jera dan penerapan disiplin tinggi. Dan semua fasilitas ini gratis di sediakan pemerintah. Hanya kesediaan menjadi lebih baik menjadi syaratnya.
***
Kumasuki ruang kelas seperti biasa, dua tahun terakhir kuluangkan waktu menjadi sukarelawan setiap sabtu dari sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat di Jakarta. Kala itu ragu kuterima tawaran di kelas menulis karena tak punya bekal mengajar. Hanya sesekali mengajar di tempat terapi membaca khusus anak-anak yang kubentuk bersama dengan tiga orang teman. Dan mengajar orang dewasa adalah pengalaman pertama, sekaligus menyenangkan. Mereka yang memiliki pengalaman hidup di luar diri sendiri selalu menjadi pembelajaran tanpa mengalami kejadiannya.

Di sini sangat berbeda, awalnya agak ngeri membayangkan wajah-wajah seram akan berada di kelasku sendiri. Nyatanya, meski ruangan ini penuh dengan wajah dari seantero nusantara dengan berbagai suku dan sekaligus kelas paling hening dan paling interaktif, mereka sangat manis. Bersama kami menggali ide untuk dituliskan. Bagaimana membuat plot yang menarik dan penasaran. Pada kenyataannya, banyak diantaranya yang berbakat dan tulisan mereka akan diterbitkan bulan depan. Menulis adalah salah satu terapi bagi para mantan pecandu narkoba. Mereka yang resah butuh pelampiasan ke hal positif.

Kelas menulis dimulai pukul 07.00-13.00, dilanjutkan dengan konseling sampai sore. Aku kembali menjadi orang yang dicurhati mereka. Mendengarkan berjam-jam. Ada yang butuh hanya didengarkan, dan aku seolah ditugaskan memandanginya menangis, tertawa, tangan yang bergerak ke sana kemari mengekspresikan rasa, berdiri dari tempat duduknya sambil mondar-mandir atau mengacak-acak rambutnya sendiri. Ekspresiku sama, manggut-manggut dan sesekali tersenyum. Terkadang ada juga yang butuh diberi saran karena naksir dengan penghuni rehab sebelah.

Sabtu berarti menjadi hari paling surga bagi mereka, boleh dijenguk keluarga atau handai taulan. Dengan pemeriksaan ketat lebih dulu tentunya. Malam hari, kami akan berkumpul di udara terbuka menikmati api unggun. Diskusi tentang banyak hal, terkadang motivator diundang hadir.
***
Malam ini dingin Lido seakan menggigit tulang. Kami duduk mengelilingi api unggun dengan baju hangat warna-warni mendengarkan seorang artis yang telah keluar dari jerat narkoba. Diskusi tanya jawab menghangatkan udara. " Neng Runny, minggu depan ada anak baru yang ikut kelas nulis ya" Pak Jandri berbisik. "Iya Pak, silakan. Sudah berapa lama di sini?". "Ah, eta budak mah udah keluar dari lama. Cuma masih sering aja ke sini. Kangen katanya, suka maen juga ke rumah saya". Aku tersenyum.

Malam ini mataku bertemu kerlip mata lainnya, bertubuh sedikit tambun, agak botak dan sibuk menyimak diskusi. Sesekali ia bicara dengan teman di sampingnya kemudian mengajukan pertanyaan ke narasumber. Seperti pernah mengenalnya, di mana, kapan, siapa. Aku berusaha mengingat.

 
- (oleh @IedaTeddy)

No comments:

Post a Comment