Tentang 30 Hari Cerita Cinta

17 September 2011

Si Lelaki Hujan #3


                 "Hujan. Kamu dan aku terjebak dalam kenangan -- @naminadini"

28 November 2008 (15:10)
                Ajaib. Hujan benar-benar berhenti. Langit hanya menyisakan titik-titik air pada kuncup bunga dan pucuk dedaunan. Beberapa ruas jalan dipenuhi genangan air serupa "jebakan". Tingginya hampir semata kaki, membuat para pejalan kaki harus mawas diri. Langit tidak begitu cerah, namun tidak juga mendung. Hawa dingin menelusup pori-pori dan akan membekukan tubuh jika saja tadi aku jadi tidak menggunakan sweater. Entah ada konspirasi apa antara alam dengan si peramal cuaca gadungan, Sam, lelaki yang aku sangat sukai itu.
                Teringat penggalan kalimat sebelum perbincangan kami ditelepon berakhir,
"Dih, yakin bener sih kamu! Percaya sama siapa ujannya bakalan berenti? Percaya sama kamu? Dasar peramal cuaca gadungan.." ledekku.
Sam tertawa. "Percaya sama Tuhan lah, Cantik" lanjutnya kalem.
"......"
Aku sukses dibuatnya tak bisa berkata-kata.  Sam memang penuh kejutan, pribadi yang spontan dan blak-blakan. Beberapa poin lagi yang membuat aku tergila-gila padanya.

Perjalanan dari rumahku ke tempat kami janjian membutuhkan waktu 60 menit, sudah termasuk macet sana sini setelah hujan turun. Aku datang terlambat. Sial, baru sekali diajak janjian aja udah telat, curiga besok-besok dia kapok janjian sama aku! Rutukku pada diri sendiri.
"Kiri bang!" ujarku pada supir angkutan umum.
Sial lagi. Kejauhan dari tempat janjian! Terpaksa, setengah berlari aku menghampiri tempat itu.
                Tempat kami bertemu namanya  Gor C-tra Arena, letaknya di Jl.Cikutra, Bandung. Tempat ini biasa dijadikan pusat kegiatan olahraga dan beberapa kali dijadikan tempat pertandingan olahraga tingkat nasional. Saat masuk, kulihat suasana gor tidak terlalu ramai seperti biasanya jika ada pertandingan olahraga bergengsi dilaksanakan. Beberapa orang memang sedang bertanding basket di lapangan. Mataku menjelajah seisi gor, seharusnya tidak sulit menemukan Sam dengan tubuhnya yang menjulang tinggi hampir mencapai 2 meter itu.
                "Hei, non.. nyari siapa?" ujar seseorang dari belakang seraya menepuk pundakku. Suaranya begitu familiar.
                Reflek kubalikkan badan. "SAM!!! Tiang listrik dasar!!! Ngagetin aku aja!!! Kalau kamu reflek aku kasih jurus tae kwon do gimana coba!" teriakku, berpura-pura marah.
                Sam tertawa.
Bagus, bener Tuhan pemandangan didepan mataku ini. Andai saja bisa kuhentikan waktu barang sejenak, biar sosoknya bisa kuabadikan dalam gambar.
"Yuk, pertandingannya baru masuk kuarter 3 tuh" ujar Sam, sambil menggandeng tanganku.
Tuhan, ini cobaan apalagi? Setelah Kau ijinkan aku melihatnya tertawa sekarang Kau biarkan ia menggandeng tanganku pula. Oke, ini berlebihan, tapi sumpah aku tidak bisa mengendalikan diriku untuk senyum-senyum sendiri. Setengah mati aku tahan rasa bahagia ini. Bisa disangka gila aku nanti.
Kami duduk tak jauh dari bangku pemain. Sam duduk tepat disebelah kiriku. Ada beberapa orang yang duduk dengan kami disana. Satupun tidak ada yang kukenal wajahnya. Tapi syukurlah, bukan aku satu-satunya wanita di tempat ini.
"Ini pertandingan apa, Sam?" tanyaku, mencoba memulai percakapan. Sebenarnya sekalian sih menggugurkan rasa canggungku. Kebiasaan buruk yang selalu berhasil aku siasati. Canggung di depan gebetan. :))
"Pertandingan antar gereja non, ini yang main gereja tempat aku biasa ibadah" jawabnya. Sambil menatap mataku.
Belum tuntas kekagetanku mendengar pernyataan Sam tentang gereja-tempat-dia-biasa-ibadah ditambah pula grogi karena tatapan matanya Sam terhadapku. Aku tidak bisa membayangkan ekspresi apa yang terdapat di wajahku ini.
Aku memang berteman cukup lama dengan Sam, tapi aku baru tahu kalau dia seorang Kristiani. Dulu aku sempat beberapa kali melihat dia di mesjid sebelum latihan basket dimulai. Seolah bisa membaca pikiranku, Sam bersuara:
"Sehabis lulus kuliah, aku masuk Katolik, Non. Ayahku seorang pastur, ibuku dulu muslim, setelah melahirkanku beliau masuk katolik juga. Mereka tinggal di Medan, sedari kecil aku tinggal di Bandung dan dibesarkan oleh nenekku yang seorang muslim, ibu dari ibuku. Aku masuk Katolik tanpa paksaan kok, keluarga mengajariku Islam dan Katolik, mereka bilang setelah dewasa aku boleh memilih masuk ke agama manapun yang aku yakini. Dan inilah, pilihanku" ceritanya sambil tersenyum
"oh…" hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Speechless mendengar ceritanya sekaligus bingung karena dia begitu terbuka mengenai keluarganya kepada aku yang notabene bukan siapa-siapanya. Mulai lagi deh aku geer. Hehe.
"Padahal aku nggak nanya loh, Sam" candaku. Mencoba mencairkan suasana yang agak kikuk. Buatku sih terutama. Aku lihat dari wajah Sam, ekspresinya begitu tenang. Atau dia memang pandai menyembunyikan perasaannya?
"Muka kamu itu, Non! Muka pengen tahu, muka penasaran! Kayak anak umur 5tahun ilang di pasar!" ledeknya.
"Kampret! Emang mukaku segitunya apa? Sok tahu kamu!" ujarku sewot.
"Hahaha, apa sih yang aku nggak tahu dari kamu? Kamu tuh bisa kebaca tau nggak, begitu aku liat ekspresi muka kamu, aku udah bisa nebak apa yang ada di pikiran kamu!"
"Cih, baru sekali doang bener ngeramal cuaca, udah  sok-sokan jago baca pikiran orang!"
"Itu kuasa Tuhan, Non. Tapi, ramalanku jitu semua kan, Non? Kamu juga mengakuinya kan!"
"Errr.. Nan, Non, Nan, Non! Kamu tuh lupa namaku ya! Kalau SMS manggil "Cantik"!" ujarku sedikit kesal dan coba mengalihkan pembicaraan.
"Tiara Mentari, keberatan kalo aku pengen manggil kamu Nona Cantik?" ujarnya dengan tatapan memelas.
Sial sesial-sialnya. Lagi aku dibikinnya skak-mat.
"Terserah deh…" jawabku jutek. Memalingkan muka darinya sebelum mukaku memerah gara-gara ucapannya barusan.
"Hahaha, duh gitu aja marah. Bercanda, Non. Aku suka liat kamu lagi jutek gitu. Gemes pengen godain mulu"
Nih orang maunya apa ya? Dari tadi bisa banget bikin aku jadi salah tingkah, mati kutu.
"Sam? Samudera Wijaya Hasibuan?" sapa seorang lelaki. Ia berdiri tak jauh dari tempat kami duduk. Tak lama ia menghampiri aku dan Sam.
"Ojan? Huaaa Ojaaaannnnnn kan?!!!!" teriak Sam, kemudian ia dan lelaki itu bersalaman, dan berpelukan sesaat.
"Iya Sam, ini gue Ojan! Elo apa kabar?"
Awalnya aku berpikir si Ojan ini adalah sosok penyelamat. Ditengah situasi aku sedang di-bully oleh Sam dia datang dan membuat keadaan kembali normal. Namun, kedatangannya ternyata agak mengganggu, sekarang pusat perhatian Sam tertuju pada si Ojan ini. Mereka mengobrol seolah didunia ini Cuma ada mereka berdua. Wait, did it mean I'm jealous?
"Eh itu cewek lu, Sam?" Tanya si Ojan sambil menunjuk ke arahku.
Udah datang tiba-tiba, mengganggu kencanku dan sekarang bersikap sok tahu. Tuhan, kenapa harus ada makhluk ini sih disaat aku sedang berduaan dengan Sam?
"Haha, dia temen kampus gue, anak basket juga. Kenalan dulu deh kalian" perintah Sam.
Lelaki itu mengulurkan tangannya kepadaku. "Ojan" ujarnya singkat.
"Tiara Mentari, tapi temen-temen sih biasa manggil aku Yara. Eh, namanya beneran Ojan?" tanyaku, sembari membalas jabat tangannya.
"Haha, itu nama panggilan doang dari temen-temen, nama lengkapnya sih Ananda Lelaki Hujan"


31 Agustus 2011

Raining Man (01:40)
                No, it's still you. Still looks my same dear sun.
                if I still looks your same dear sun, does it mean you still love me too? terbesit pertanyaan itu saat kubaca ulang pesan darinya. Ingin rasanya pertanyaan itu aku ajukan padanya sekarang, tapi untuk apa?

Tiara Mentari (01:41)
                Haha. I took that as a compliment. :P Anyway, thx u. :)
SEND.

BIPP! BIPP!
Raining Man (01:42)
                Your welcome my dear. Hope you always being my sun. :)

Kantukku menghilang, namun kini yang timbul malah rasa penasaran. Seperti ada yang coba ia sampaikan.  Aku yakin 1000%, jika pesannya kubalas, maka hal-yang-entah-apa itu akan terungkapkan. Namun, jika pesannya tidak kubalas, tidak akan pernah ada yang terungkapkan. Lalu adakah bedanya sebelum dan setelah aku mengetahui pesan yang dia coba sampaikan? Aku berpikir cukup keras.

Kini, aku tahu apa yang harus aku lakukan.


~ (@naminadini)

No comments:

Post a Comment