Tentang 30 Hari Cerita Cinta

17 September 2011

A Broken-Hearted

* *
* I don't even know the real me, anymore*
* I can't even show how I feel, I hit the floor*
* I'm talking rock bottom, my feelings fought 'em*
* I can't believe it's come to this*
* Cause I need to a grip on reality*
(*Sensitivity* – Alex Goot)

Ohio University, Athens.
Musim panas di sini mungkin lebih 'kejam' daripada di Norfolk, tapi aku jauh
merasa lebih tenang. Asrama kampus masih sepi karena sebagian besar
mahasiswanya masih menikmati liburan musim panas dan akan kembali minggu
depan. Waw, apa aku datang kelewat cepat?
Setelah mengikat rambut menjadi ekor kuda, aku kembali menyeret koper ke
kamar. Lisa, *room mate*, dan Hye-jin baru akan kembali lima hari lagi. Hah,
padahal aku sedang membutuhkan seseorang untuk bersandar sekarang.
Aku terdiam di depan pintu. Rasa sakit itu kembali mendera dadaku.
Ares. Ar—
Kepalaku menggeleng cepat, lalu tanganku merogoh saku untuk mengambil kunci
kamar. Tapi, mataku memanas dan membuat penglihatanku kabur. Sampai tanpa
sengaja, aku menjatuhkan kunci ke lantai. Begitu juga aku. Aku terduduk di
samping koper dan menangis tersedu-sedu. Suaranya memantul di sepanjang
lorong – menciptakan gema yang lirih menakutkan. Tapi, aku tidak peduli jika
nanti ada yang memergoki. Dadaku berdenyut-denyut. Luka itu masih setengah
kering.
Ya Tuhan, sesakit inikah rasanya?
*Is this what most people called broken hearted? *Aku sepertinya tidak
sanggup menahan ini sendirian...
"Dita?"
Tangannya yang besar dan kokoh memegangi kedua pundakku yang
berguncang-guncang. Adrian – aku mengenal suaranya yang berat dan dalam. Dia
duduk di sampingku; berusaha menenangkan meski tidak tahu apa yang
menyebabkanku seperti ini.
Lalu, tanpa pikir panjang, Adrian mengambil kunci kamarku dan membukakan
pintunya. Aku tidak mau banyak membantah saat dia memapahku masuk dan
membawa koperku ke dalam. Aku duduk di tepi tempat tidur, masih terisak
hebat. Sepertinya sulit dikendalikan.
"Mau aku bawain minum atau cemilan?" tawar Adrian sembari menghapus air
matanya dengan sapu tangannya. Karena malu, aku mengambil sapu tangannya dan
menyeka sisa air mata di pipi.
"N-Nggaku usah. Makasih," tolakku halus. "Aku... mau sendirian aja dulu, Ad.
Bisa tinggalin aku di sini?"
Dari balik kacamatanya, Adrian menatapku semakin cemas, tapi akhirnya dia
mengangguk. "Sapu tangannya di kamu aja dulu. Kalau butuh bantuan... *just
call me, 'kay?*"
Aku mengangguk dan memaksakan diri untuk tersenyum agar dia, setidaknya,
merasa tenang. Adrian menutup pintu kamar perlahan; seolah-olah aku akan
menangis semakin keras saat dia pergi.
Tapi, itu benar. Aku berguling di atas kasur dan berbaring menghadap tembok.
Tanganku meraih sebuah bantal, memeluknya untuk meredam tangisku. Cahaya
jingga matahari sore memantul dari jendela dan beberapa helai daun
berguguran diterpa angin. Kurasa, musim gugur akan segera tiba.
Membawa pergi kenanganku bersamanya.
Ares William Dragness.
***


- (oleh @artemistics)

No comments:

Post a Comment