Tentang 30 Hari Cerita Cinta

16 September 2011

Bayangan ke Lima - Kopi Hitam

Ricardo memasuki halaman rumahku, aku terdiam melihatnya mendekat.

“Bayang..” ucap Bayang ke Ricardo sambil mengulurkan tangannya.
“Ricardo” Ricardo menyambut tangan Bayang namun matanya mengarah padaku, sedangkan aku masih diam.
“Sinar, mandi gih, aku sarapan di warung kemarin, abis itu temenin aku cari buku ya. Ricardo, nice to meet you” ucap Bayang diakhiri dengan senyuman. Aku masih terdiam, namun Bayang tidak menghiraukan dan meninggalkan rumahku.
“Nar, siapa tuh?” tanya Ricardo membuyarkan kediamanku.
“Eh, hmmm..itu, temen”
“Temen di mana? Kayanya bukan anak kampus kita. Lu kan maennya sama gue doang, atau gak noh sama si Febri temen SMA lo”
“Bawel ah, gue mau mandi”
“Lah? Gue curhatnya kapan? Hmmm..gitu cara lo ya, Nar.. ada temen baru Ricardo dilupakan.. Okeey okeey..” ucap Ricardo dengan nada setengah becanda. Setengah? Iya, kayaknya dia sedikit serius di kalimat tadi.
“Apaan sih, orang gue Cuma mau mandi”
“Iya, abis mandi mau nemenin tu cowok perlente nyari buku.. hmmm”
“Gue gak bilang gue mau nemenin dia kok”
“Tu cowok rapi amat yak, mau ke toko buku doang aje padahal, aneh”
“Aneh kenapa?”
“Kagak tau dah, tadi pas ada dia gue risih aja”
“Bilang aja lo sirik, karena akhirnya ada yang ngalahin kegantengan lo di komplek sendiri, hahaha”
“Oooo..gitu yang namanya Sinar, maenannya bawa-bawa fisik, okeey, Nar, okee..”
“Auk ah, gue mau mandi”jawabku sambil masuk ke rumah.
“Eh, Nar.. tapi tumben-tumbenan lo ngakuin ganteng” ucap Ricardo dengan sedikit kencang, hingga aku masih bisa mendengar suaranya dari dalam rumah dan tersenyum sambil menggelengkan kepala.

--

Selesai mandi aku hanya mengenakan kaos putih polos, rok jeans berwarna biru tua dan sepatu keds. Sejenak aku berfikir, hmmm..benar juga apa yang dikatakan Ricardo, setiap ketemu Bayang sepertinya dia selalu rapi, bahkan kelewat rapi untuk ukuran sekedar mau cari buku doang. Aku mengibaskan pikiranku. Lah..terserah dialah, mau rapi apa gimana.
Aku keluar kamar, Ricardo terlihat sedang asik menyantap mie goreng yang sepertinya tadi dia masak sendiri. Aku mengambil piringnya dan menyantap mie yang sedang dia nikmati.
“Jadi gini, Nar.. rencananya gue mau mutusin Alyssa malam ini” ucap Ricardo saat aku masih mengunyah mie goreng tadi.
“Hah?” kunyahanku berhenti karena sedikit tersedak. Ricardo mau mutusin Alyssa? Cewek secantik dan sesexy itu? Diputusin?
Kupukul kepalanya, “Lo kan baru jadian dua minggu sama dia, Do. Kenapa lagi sik?” ucapku.
“Dia anaknya ribet banget..” ucap Ricardo dengan nada kekanak-kanakan.
“Aiishh..bukannya semua mantan-mantan lo itu ribet semua..”
“You have no idea.. “
“Yaudah, kalau mau putus tinggal putus, palingan seminggu lagi lo punya pacar baru”
“Nar, ah.. elu mah, bukannya nasehatin gue yang bener, malah ngomong gitu” ucapnya sambil menoyor kepalaku. Aku duduk di sampingnya dan dia mengambil piring mie goreng tadi yang aku pegang.
“Yaelah, emangnya selama ini kalau gue ngasih saran tentang cewek-cewek yang elo pacarin, pernah lo dengerin? Pret”
Ricardo mendiami ucapanku dan berjalan ke arah dapur, beberapa detik kemudian dia kembali mebawa botol minum dan gelas, dia menuangkan air dan memberikannya kepada ku, aku mengambilnya. Diapun kembali duduk di sampingku.
“Gini, Nar...” belum habis dia bicara, lalu terdengar lagi suara bel rumahku, yang menandakan ada seseorang di balik pagar hitam tinggi di depan.
Aku bangkit dari dudukku dan pergi ke luar untuk melihat siapa yang datang, Bayang.
“Nah, kalau kaya ginikan cantik. Yuk jalan..” ucap pria yang disebut Ricardo perlente saat dia melihatku membukakan pintu.
“Hah? Emang kita mau ke mana?”
“Toko buku yang deket-deket sini aja, mau cari buku bacaan nih, semua koleksi bacaan ketinggalan di Aussie. Eh, kamu sudah sarapan?”
“Udah, bentar” ucapku sambil menunjukkan bahwa aku akan masuk ke rumah lagi.
Aku masuk ke rumah, ke kamarku mengambil tas dan menghampiri Ricardo.
“Do, lo mau di sini? Entar kalau ke luar, jangan lupa dikunci, pegang aja kuncinya, kalau mau cabut kemana, kuncinya titipin sama orang rumah lo” ucapku pada Ricardo.
“Hmmm” ucapnya singkat.
“Yaelah, Do..bentaran doang, nanti kita lanjutin curhat-curhatannya di rumah lo yak”
“Hmmm”
“Gue jalan ya, Do!” entah kesambet setan apa aku saat itu, tetiba aku mengecup pipi kirinya dan berpamitan. Tujuanku sih Cuma satu, agar dia tidak “Ham hem ham hem” mulu.
Kutinggalkan Ricardo, dan menghampiri Bayang yang sudah ada di dalam mobilnya menungguku.

“Dia itu siapa?” tanya Bayang saat kami di perjalanan.
“Siapa?”
“Itu teman kamu yang tadi di rumah, saudara?”
“Ah, bukaaan.. itu sahabatku dari kecil’
“Sahabatku.. Oooo..aku..”
Duh, lagi-lagi aku memakai “aku” tanpa disadari. Aku tidak menjawab ledekan Bayang saat itu. Hhhh..entah mengapa hari ini Bayang terlihat lebih menyenangkan daripada saat pertama dan kedua kali kami bertemu. Aku suka wangi parfumnya, entah merknya apa, tapi wanginya sangat lembut namun tetap terkesan laki banget. Sepanjang perjalanan Bayang jarang berbicara, seperti biasa dia mengenakan kaca mata hitam dan konsen dengan menyetirnya. Sok serius.

Sepanjang perjalanan aku BBM-an sama Elang, sesekali aku tertawa tiba-tiba karena obrolan tersebut, namun Bayang tidak bereaksi atau bertanya, aku sedang apa, kenapa tertawa. Sepertinya dia bukan tipe cowok yang ribet, sesekali akupun mencuri pandang melihat wajah Bayang yang bersih dan lengannya yang kekar.

Sesampainya kami di toko buku, kami berpencar, Bayang sibuk di deretan buku-buku Filsafat, sedangkan aku pergi ke deretan novel-novel cinta.
Hmmm, aku mencium wangi ini lagi, parfum lelaki yang sedari tadi ada di sebelahku menyetir dengan konsetrasi. Akupun tersenyum, ternyata Bayang mengikutiku, aku membalikkan badan, eh? Tidak ada Bayang, hanya ada seorang lelaki yang tidak kalah tampan dengan Bayang yang sedang melihat-lihat novel-novel percintaan juga. Wiw..ternyata ada lelaki yang baca novel beginian yah.. aku berjalan melalui lelaki itum bermaksud untuk menyusul Bayang di tempat buku-buku filsafat tadi.
“Aduuh aduh, maaf..” ucapku karena terkaget sekaligus menyesal, karena berjalan sambil memikirkan ini itu hingga tidak menyadari lelaki tadi berdiri dan menubrukku.
“Gak apa-apa” dia tersenyum dan membalikkan badan meninggalkan lorong novel tadi.

“Sudah ketemu buku yang dicari?” ucapku ke Bayang.
“Eh, ini sudah dapat tiga, kamu beli apa?” tanyanya.
“Nggak beli apa-apa, kan emang ke sini Cuma nemenin lo”
Bayang tersenyum dan berjalan menuju kasir sambil....menggandeng tanganku. OMG, aku kok diam aja, dan apa ini di dalam dadaku? Kenapa jadi hangat seperti ini? Perasaan ini..beda. Aku mengikuti langkahnya, sambil menatap wajahnya dan sesekali melihat genggaman tangan kita.
Elang gak pernah seperti ini, saat berjalan di tempat umum, kami akan berdampingan, namun tidak pernah sekalipun dia menggandeng tanganku seperti saat ini Bayang mengandeng tanganku. Hangat sekali, di sini. Di hatiku saat ini. Akupun tersenyum melihat wajah Bayang, tetiba dia melihat ke arah ku, ikut tersenyum, namun itu justru membuatku salah tingkah melepas gandengan tangan tadi pas sudah ada di depan kasir. 

Bayang membayar semua buku yang tadi dia pilih. Selesai membayar, dia berjalan lagi menuju pintu keluar...tanpa menggandeng tanganku seperti tadi.
Ni orang aneh bener, pikirku. Aku masih diam di depan kasir.
“Non, buruan, ngapain di situ?” ucap Bayang meleburkan pikiranku, aku mengelengkan kepala dan sedikit berlari mengejar dia.

Di bawah toko buku ini, ada cafe untuk minum kopi, kami mampir dulu ke sana untuk mengobrol. Aku memesan kopi hitam dan sepotong brownies, dia hanya memesan segelas karamel macchiato. Kali ini Bayang banyak bercerita, tentang hobinya menulis dan berenang, di sana dia pernah jadi atlet renang. Dia di Aussie sejak usia 2 tahun, sesekali kembali ke Indonesia untuk mengunjungi oma dan sepupu-sepupunya. Akupun bercerita tentang kegiatanku di kampus dan bagaimana keluargaku. Kami saling bercerita ringan, tertawa dan banyak senyum kulihat dari wajahnya kali ini.
“I think that possibly maybe I’m falling for you. Yes, there’s a chance that I’ve fallen quite hard over you. I’ve seen the paths that your eyes wander down, I want to come too. I think that possibly maybe I’m falling for you. No one understand me quite like you do, through all of the shadow corners of me. I never knew just what it was about this coffee shop I love so much, all of the while I never knew”

-Landon Pigg Falling In Love At Coffee Shop-
 
Tidak terasa kami mengobrol sampai jam empat sore, Bayang mengantarku ke rumah.
“Non..” ucap Bayang selagi aku mencoba membuka pintu mobilnya untuk keluar.
“Yah” jawabku sambil menengok ke arahnya.
“Thank you, you’ve made my day” ucapnya sambil tersenyum.
“It’s all good” balasku dengan tersenyum juga.
Aku keluar dari mobilnya dengan tersenyum, memasuki pagar rumahku yang tidak dikunci tanpa berfikir “kenapa tidak terkunci?” dengan tersenyum dan membayangkan senyum Bayang. Hangat di dada tiap kali terlintas wajahnya di kepalaku.
Namun senyumku terhenti saat kulihat pintu rumahku terbuka. “loh?”
“Bu, ibu sudah pulang tah?” ucapku saat memasuki rumahku.
Tidak ada jawaban, ruang tamu kosong, “HAH! Ricardo Redaya! Berani-beranian dia ninggalin rumah gak kunci gini!” ucapku kesal. Aku berjalan ke dapur untuk mengambil air minum. Langkahku terhenti.
“Do. RICARDO” ucapku saat melihat Ricardo tergeletak di depan lemari es dan di sampingnya ada botol minum dan gelas pecah yang pasti tadinya dia pegang lalu ikut terjatuh.
“Do, lo kenapa Do?” aku mengangkat kepalanya dan kuletakkan di atas pahaku. Memegang pipinya, mendekatkan wajahku ke dadanya, masih berdetak dan masih bernafas, aku menangis tidak karuan sambil terus memanggil namanya. Ya Tuhan, Ricardo kenapa, wajahnya pucat.
“Do, lo kenapa? Bangun Do.. jangan becanda begini.. Do.. Ricardo! Bangun!”
“SOMEBODY HELP ME! MY BEST FRIEND IS DYING HERE!” teriakku sambil menangis dan terus memegang tangan dan kepala Ricardo.
Bersambung...




oleh: @ekaotto - http://ekaotto.tumblr.com

No comments:

Post a Comment