Tentang 30 Hari Cerita Cinta

16 September 2011

Elegi Purnama #4

Selamat siang, dengan Runny bisa dibantu?. Tanganku mulai dingin dan berkeringat. "Neng Runny, Herry gak mau nginep di rumah sakit. Jadinya kita pulang ke rumah Kebayoran. Nanti tolong tengok-tengok kalo Ayah kerja ya". Suara di sana sedikit memelas. "Maaf Yah, aku agak sibuk minggu ini, kenapa nggak sewa perawat buat Herry di rumah?".




Oke, ini sudah keputusan final kurasa. Seorang tua seperti Ayahnya pun tak akan bisa menahanku lebih lama lagi. Berbagai alasan akan dilakukannya agar aku kembali. Dan ini adalah alasan keseratus dua puluh kurasa. Tipikal mudah mengasihani benar-benar dimanfaatkan Herry. Ia sendirian di rumah. Ibunya meninggal empat tahun lalu terserang kanker paru-paru. Ayahnya menikah lagi dengan perempuan beranak tiga dan tinggal di rumah yang berbeda. Tak apalah predikat 'tega' menjadi nama belakangku sekarang. Siapa peduli perasaanku sendiri ketika masih segar dalam ingatan Herry mencium bibir gadis lain di depan mata saat aku berupaya meyakinkan diri sendiri agar cintaku bisa tulus untuknya dalam pura-pura manis. Ternyata usaha sekeras baja pun masih dibalas dengan selingkuh. Kami bertengkar hebat kala itu dan ia cuma mengatakan, sejauh apapun aku pergi, aku akan pulang ke hatimu. Bah, gombal basi.




"Run, cepet ke ruang meeting. BB (blackberry) lo kenapa sih, daritadi ditelpon gak bisa. Gw BBM juga kaga 'D' kaga 'R'. Telepon meja lagi online. Jadi yaa gw samperin lo deh. Buru!" Abi datang berkemeja abu-abu dan masih dengan cengiran khasnya.




Meeting dengan para pembesar bank ini adalah melelahkan. Seharusnya kugarisbawahi, cetak tebal dan huruf dengan ukuran 72 untuk kata melelahkan ini. Masing-masing berargumen dan harus berkonsentrasi tingkat tinggi untuk menyimak. Sementara Agnes, sahabat di samping kiriku begitu sumringah dengan Abi di depannya. Pelan-pelan kuinjak kakinya dengan ujung stiletto. Ia mengaduh kecil dan balas mencubit pinggang. "Sialan lo!" Bisiknya pelan.




Meeting selesai pukul lima sore. Aku menarik napas lega, berarti tak akan terlalu malam sampai Bogor.


15 sms, dan BBM berhamburan masuk. Semua dari Herry. Kututup gemas semua pesan tanpa dibaca. Pasti akan sama, mendayu-dayu minta dijenguk. Takut sendirian. Dengan siapa aku nanti. Sangat merindukanmu. Bla bla bla.. Satu lagi sms masuk, ah pasti dari orang yang sama. Kumasukkan semua dalam tas dan pamit pulang lebih awal.




Kereta menuju Bogor tak terlalu ramai, beberapa sibuk dengan gadgetnya di gerbong khusus perempuan yang tak terisi penuh ini. Kusandarkan bahu dan mengingat semua yang terjadi hari ini. Herry adalah pribadi baik, dulu. Enam bulan pertama mengenalnya ia bagaikan datang menunggang kuda putihnya menuju gadis yang kesepian di ujung jalan dengan seikat bunga krisan putih. Aku mengenalnya di konser White Lion, saat ternyata temannya adalah teman SMU-ku. Dari situ kami makin sering berkomunikasi, datang ke konser kecilnya di pentas seni dan menemaninya latihan di studio. Saat aku sendiri tak paham betul apa yang didendangkan dari sebuah band musik rock-nya. Aku mencintainya, dulu.


Jika orang mengatakan cinta luntur karena laku, mungkin akulah salah satu orang yang paham betul dengan kalimat itu. Betapa tidak, menyandang status sebagai vokalis band beraliran keras tak menghalanginya menjadi laki-laki cengeng. Jika gadis lain akan terharu apabila pria idamannya rela menangis untuknya, aku tidak sama sekali. Ini soal sikap, bagaimana laki-laki yang tak menye-menye akan sangat bisa diandalkan nantinya. Dengannya, semua harus serba aku yang mengatur. Dari soal kemeja hari ini sampai akan belok ke arah mana menuju suatu tempat. Ah, bagaimana seorang perempuan menjadi makmum dari laki-laki.




"Runny, apa kabar hari ini?". Pengirim: Rengga.
"Baik, gimana handphonenya? udah beli lem UHU belom?".
"Kata warung sebelah lagi abis, adanya lem tikus".
"Bukannya lem biru?".
"Kalo lem biru kudu ke roxy, cuma di sana adanya".
"Emang gak bisa salto ke sana?".
"Aku biasa sikap lilin sambil kayang".
"Aku biasa koprol sambil benerin jenggot"
"Ternyata aku ngobrol sama bu jenggot dari kemaren".
"*pelintir kumis*".
"Benerin poni".
"Aih mak, ternyata aku ngobrol sama balon".




Sebentar, ada yang aneh dengan percakapan lewat sms malam ini. Tanpa sadar gw-lo berubah menjadi aku-kamu. Aku tersenyum. Tak mungkin, bantahku sendirian.


Sepanjang jalan Sudirman-Bogor tak pernah secepat dan menyenangkan begini. Ada yang menemani dari kejauhan dengan gurauan pendek. Enam puluh sms terkirim dan aku menyesali karena stasiun Bogor tinggal beberapa menit lagi.


"Runny, aku boleh telepon?".
"Mau ngapain?".
"Mau ngetes, jangan-jangan aku sms-an sama banci".
"Ahahaha, nanti aja live!".


Ningrum, sahabatku yang berprofesi sebagai dosen muda IPB duduk menunggu di bangku peron. Berjaket hitam dan jilbab biru, ia sibuk mengetik di ponselnya. Mungkin sedang bertukar kabar dengan tunangannya di Bali. Jejak aspal basah masih terasa di luar stasiun, beberapa timer angkutan umum sibuk berteriak agar cepat penuh dan jalan. Beberapa ada yang membukakan pintu agar penumpang menempati bangku depan. Tukang gorengan berjajar, menggoreng risol dan singkong besar-besar yang kelihatan gurih. Tukang ojek mengerumun, mereka sedang bergurau sambil menunggu penumpang datang. Sepintas kudengar mereka sedang membicarakan pertandingan bola yang akan tayang dinihari nanti.




Sepanjang jalan menuju rumahnya, berderet-deret makanan dijajakan. Penjual nasi goreng sedang memasukkan bumbu ke dalam wajan. Di sampingnya, penjual pecel lele sedang melayani pembeli. Di sebelah kanan sana, penjual es krim durian sedang menghitung uang. Diiringi musik anak-anak dari odong-odong yang dinaiki beberapa anak kecil dengan baju tidur warna-warninya.






- (oleh @IedaTeddy - www.bungaliar.tumblr.com)

No comments:

Post a Comment