Tentang 30 Hari Cerita Cinta

16 September 2011

Kebo dan Anak Presiden #4

Saat lonceng pulang berbunyi, aku bergegas membereskan barang-barangku dan berlari menuju kelas Keisya. Kudengar panggilan Roby, tapi aku mengacuhkannya. Aku harus segera menemui Keisya sebelum dia pulang.
"Keisya!" panggilku, tepat saat dia hendak turun dari lantai dua. Keisya menoleh, dan melambaikan tangannya sambil tersenyum. Aaah.. senyumnya. Ini juga salah satu alasan mengapa aku suka padanya. Dengan cengiran lebar aku menghampirinya.
"Kamu sendirian? Mana teman-temanmu?" sapa Kesiya.
"Masa mau ketemu pacar harus sama teman-teman," jawabku mencoba menggodanya. Biasanya jurus ini mampu membuat gadis tersipu-sipu malu.
"Oooh, kamu malu ya ketahuan pacaran sama aku?" tanyanya. Langkahku terhenti. Jurusku dipatahkan dengan mudah olehnya. Ternyata Roby benar. Gadis ini berbeda.
"Eh, bukan gitu. Ngapain harus malu pacaran sama kamu. Malahan aku mau pamer ama mereka karena berhasil jadi pacar kamu." Kali ini jurusku pasti berhasil. Pacaran dengan berbagai tipe cewek membuatku sedikit paham bagaimana cara menyenangkan hati mereka.
"Barang kali dipamerin," ujarnya sambil tertawa kecil. 2-0. Kembali kata-kataku dikembalikan olehnya. Aku hanya bisa garuk-garuk kepala, tak bisa lagi memberikan perlawanan. Kami sudah sampai di depan gerbang. Dia menepuk bahuku.
"Aku pulang duluan ya. Supirku udah nunggu," katanya sambil menunjuk sebuah mobil BMW terbaru. Disebelahnya ada dua orang lelaki. Yang satu memakai seragam safari. Sepertinya itu supir yang dimaksud Keisya. Lalu yang satu lagi berbadan kekar dengan kaos ketat dan kacamata hitam.
"Kei, itu yang badanya kekar siapa?" tanyaku hati-hati.
"Itu Mas Bob. Dia bodyguard aku," jawan Kesiya santai. Dia mengucapkan kata 'bodyguard' dengan enaknya. Hatiku mencelos. Siapa sih yang aku pacarin kali ini? Anak presiden?
"Bo.. Bodyguard?" ulangku terbata. Keisya mengangguk ceria. Dia menarik tanganku.
"Sini aku kenalin ke Mas Bob. Dia orangnya baik kok." Aku melotot kearahnya. Kenalan dengan mesin pembunuh itu? I don't think so.
"Eh, Kei, emmm… Nggak usah. Lain kali aja mungkin. Aku buru-buru mau pulang," aku berusaha menghindar. Ada sedikit raut kecewa di wajahnya. Tapi segera ekspresi itu hilang.
"Ya udah deh. Lain kali aja. Aku pulang duluan, Keenan," pamitnya. Aku mengangguk kepadanya. Kulihat dia berbicara dengan Mas Bobnya itu sambil menunjuk ke arahku. Waduh, gawat ini. Bisa-bisa besok aku nggak masuk sekolah digebukin sama gorilla itu. Cepat-cepat aku berbalik dan menuju mobil sambil berdoa semoga dia tak sempat mengenali wajahku.


- (oleh @farahpai)

No comments:

Post a Comment