Tentang 30 Hari Cerita Cinta

16 September 2011

Rekam Imaji #4

Rekam Imaji #4
"Kadang aku berharap,
Februari tak pernah ada dalam kamusku."

Sejak itu, seminggu sudah aku berlari dari tiap pertemuan
yang di buat Langit dengan Bumi. Aku mencari-cari banyak sekali alasan, atau
terkadang sengaja pergi lebih dulu, emncari kesibukan hingga aku bisa menjawab
pertanyaan dari Langit.

"Aku akan datang ke
kotamu."
"Oh ya? Kapan?"
"Lusa...aku ingin
bertemu, bisakah?"
"Emm...di mana?"
"Pilih saja tempat
yang kamu suka, tunggu aku di sana, maukah?"
"Baiklah...ingatkan
aku."

Sayangnya Bumi...menunggumu ibarat sepuntung rokok. Meremah
menjadi abu, lalu habislah waktuku...
Aku hanya tahu janji, kemudian menunggu. Menunggumu yang
sepertinya selalu saja lupa ada aku. Mengingatku sepertinya menjadi pekerjaan
yang cukup berat untukmu. Sayangnya, itu tak membuatku berhenti merindumu...
Ini adalah saat di mana aku tidak menikmati rindu sama sekali. Meracau
sendiri dengan tanya. Aku jadi seperti gila dan berharap imaji tentangmu akan
segera mati ketika aku terbangun dan sadar diri. Nyatanya, rindu itu sudah
menggali terlalu dalam dan membangun rumahnya sendiri tanpa izin...
Rindu itu, tak bisa dilarang...

Langit bilang Bumi meninggalkan Jogja untuk sementara, mengurus sebuah
pekerjaan yang tertunda. Maka seringnya aku menghabiskan waktu bersama Langit.
Atau...sendiri...menyusuri lagi padang ilalang tanpa perlu takut ada Bumi di
sana, menjelajah bersama Langit. Bumi dan Langit, keberadaan keduanya tanpa
jarak serasa menghimpitku dengan bom waktu.
"Kamu jadi perempuan yang sangat ahli berlari."
Anggap saja aku bermimpi, anggap saja suara itu hanya imaji. Anggap
saja suara itu sisa rinduku pada Bumi. Berjalan saja terus, terus..hingga kamu
mendapati Langit yang menunggumu.
"Bisakah berhenti berpura-pura aku hanya imaji?!"
"Kamu nyata Bumi...tapi kebersamaan kita hanya imaji...".
"Dan rasamu?"
Bumi...masih pantaskah kamu mempertanyakan rasa?
"Bagaimana dengan nyalimu Bumi?"
"Langit bilang kamu meninggalkan Jogja?"
"Kamu percaya?"
"Apa aku harus tidak percaya?"
Perdebatan yang tidak ada habisnya. Ini bukan perdebatan yang biasanya
terjadi dalam hubunganku dengan Langit. Kalaupun ada, sewajarnya dalam sebuah
hubungan, pasti ada yag namanya pasang surut. Pasti ada tidak sepaham yang
membuat kami adu argumentasi. Tapi aku dan Bumi...menggelikan! Kami
memperdebatkan soal nyali dan rasa padahal bukan lagi masanya. Tidak seharusnya
juga aku menanggapi pertanyaan-pertanyaan Bumi...sharusnya ini hanya menjadi
godaan jelang 'hari besar'ku dan Langit. Godaan yang tak sengaja dibawa oleh
Langit...
"Bumi....".
Aku menghentikan langkah, "aku lelah bermain aksara...Rekam Imaji, adalah
tumpukan rindu yang ku susun untuk kamu." Aku sengaja tidak berpaling. Aku tak
ingin Bumi melihat butiran air mata yang perlahan jatuh. Mengucapkan segala
yang pernah terpendam itu ternyata menyakitkan. Karena tiap luka yang disayat
rindu ternyata belum sembuh, aku baru tahu...selama ini hanya ku tutupi dengan
selambu tanpa rekat. "itu adalah inginku padamu...temu. Setidaknya sedikit
mengusik nyalimu. Kamu nyata, tapi hanya sebatas itu, sebatas yang aku
tahu...lalu ku ciptakan sebuah masa di mana kamu dan aku berada dalam titik
temu...ruang imaji. Walaupun sedikit, jejakmu pernah terekam...".
Perlahan dapat ku rasakan jemari bumi di atas kulitku tatkala ia
menjelajah di atas lenganku. "Kamu nyata, kebersamaan kita imaji...rasa dan
rindu...terlalu nyata hingga menghasilkan luka."
Aku tahu, sekuat apapun ku tahan, nyatanya aku masih saja saja
tersedu. Terlebih menikmati sentuhan Bumi, tanpa jarak. Aroma tembakau seperti
candu yang membakar. Tuhan...sekali lagi, beri aku tamparan!

Liar adalah kamu yang ku cumbu
dengan napas menderu semalam, desah napasmu yang ku jamah semalam suntuk, ketika
letupan rindu menemui titik temu. Tak perlu lagi akasara bahkan kata, menyentuhmu
dengan rupa dan aroma...tembakau, rindu, resah meruah…
Tak perlu menakuti malam yang
kemudian akan menjadi pagi, siang lalu sore, dan nantinya akan kembali malam. Kita
sudah punya satu tempat untuk mengadu, memiliki rasa untuk diadu dengan rindu, memilin
bilur-bilur ketika bibir saling adu, bersentuh kulit dengan ujung jarimu
berpeluh…
Sayang…liar adalah kamu yang
membuatku rindu dijamah, dikecup, diusap, dijelajah…
Liar adalah kamu ketika menjelajah
tubuhku tanpa merayu terlebih dahulu, ketika degup jantungku seperti mengaduh, ketika
semalam tanpa memejam,
Sayang,…liar adalah ketika pagi nanti
masih ada kamu, kita dan selambu biru…


- (oleh @NadiaAgustina - http://kekasihsenja.tumblr.com)

No comments:

Post a Comment