Tentang 30 Hari Cerita Cinta

15 September 2011

Ind(e)ra Milik Milanka #4

Sore itu, aku duduk di taman kampus menikmati sore yang berangin. Adriana yang menemaniku, dia tampak bingung melihatku mematung. Aku tahu, dia ingin bicara tapi nampaknya dirinya sudah lebih mengenalku daripada diriku sendiri. Adriana adalah teman baikku di kampus, kami berkenalan dengan cara yang tidak menyenangkan.
Waktu itu aku memakai sepatu kesayanganku, sebuah flat shoes berpita merah dengan paduan warna krem yang dominan, itu hadiah dari mama. Hari itu ditengah perjalananku ke kampus tiba-tiba hujan deras. Aku sangat menyesal memakai sepatu itu, namun apa daya. Tiba-tiba didalam bus yang penuh sesak, seorang perempuan naik terburu-buru dan menginjak sepatu kesayanganku. Spontan aku melotot kesal.
"Liat-liat dong, sepatu gue kotor tuh !", kataku ketus.
Kemudian perempuan berambut cepol itu memalingkan wajahnya ke arahku dengan wajah yang sama kesalnya dengan aku. Rambutnya agak basah terkena hujan.
"Heh, lo pikir cuma sepatu lo yang kotor ? Sepatu gue juga. Kalo enggak mau kotor, enggak usah naik angkutan umum. Nih liat sepatu gue !", ucapnya.
Aku mengikuti arah telunjuknya, melihat ke kakinya dan ternyata sepatu dia yang pakai sama dengan yang aku pakai hari itu. Spontan mataku membelalak, tak menyangka akan ada yang "kembaran" denganku hari ini.
"Kok sama ?", ucapku dan dia berbarengan.
Seketika kami saling melihat dan kemudian tertawa kecil. Dia mengulurkan tangannya padaku.
"Hai, gue Adriana. Lo ? Jangan bilang kita sekampus juga deh ?", tanyanya.
"Milanka, panggil aja Anka. Kayanya kita sekampus deh, sama-sama naik bus ini kan ?", jawabku agak sok tahu.
Tak berapa lama, bus yang membawaku dan Adriana sampai di tempat yang kami tuju. Kampus. Aku berjalan agak mendahului Adriana, jamku sudah menunjukkan pukul 10.05, itu berarti aku terlambat 5 menit masuk ke kelasku dan kelasku ada di lantai 3. Lantai paling atas.
"Dri, gue duluan ya. Telat nih. Sampe nanti yaa", ucapku agak berteriak.
"Iya, hati-hati Anka", jawabnya ramah.
Aku lari terburu-buru mencapai kelasku yang paling atas. Aku menghela nafas, ternyata kelas belum dimulai. Dosenku yang super-sibuk-tukang-absen belum datang. Jadi aku masih sempat masuk dengan leluasa tanpa haru berbasa-basi menjawab pertanyaannya. Tak berapa lama, aku lihat pintu kelas terbuka lagi. Dan sosok Adriana, kulihat jelas berdiri disana. Ya, kami sekelas. Sebuah kesamaan LAGI ! Setelah melihatku, senyumnya mengembang lebar. Dia mengambil tempat duduk disebelahku, memindahkan tas tanpa pemilik ke bangku sebelahnya.
Sejak saat itu, aku dan Adriana akrab. Adriana-lah yang banyak menjadi tempat sampah ceritaku akan Indra. Bahkan mengapa kini dia ikut diam menemaniku di taman kampus juga karena dia tahu kalau teman baiknya sedang tak tahu arah.
"Anka, lo yakin masih mau terus sama Indra ? Lo masih kuat ? Lo mau nyembunyiin semua rasa sakit lo ini sendiri ? Kenapa enggak ngomong aja sih sama Indra ?", tanyanya dengan nada gemas.
"Coba lo yang jadi gue Dri", jawabku singkat.
"Gue mungkin enggak bisa jadi lo, tapi paling enggak semua masalah harus diselesein dong. Lo kan berkomitmen berdua. Masa lo pikirin ini sendiri ?", sahutnya kesal.
"Lo enggak tau Indra sih. Dia tuh enggak pernah mikir kalo hubungan ini ada masalah. Dia selalu mikir ini baik-baik aja. Kalaupun gue omongin, enggak pernah ada solusi berarti. Terus menurut lo, gue harus apa ?", jawabku ketus.
"Dia enggak bakalan ngerti salahnya dimana kalo lo enggak ngomong jujur sama dia. Lo enggak pernah bahas kan soal SG itu ? Kenapa sih ?", tanyanya lagi.
"Gue enggak mau sakit hati, gue setengah mati lupain kejadian itu", jawabku.
"Tapi nyatanya apa ? Lo enggak pernah lupa juga kan ?", tegasnya
Aku hanya bisa diam, tak menjawab Adriana. Rasanya sulit menjelaskan perasaanku pada siapapun. Pada diriku saja sudah sulit. Aku tak bisa memaksakan sakit hatiku untuk diam dan tak mengontrol semuanya tapi nihil. Tiba-tiba didepan tempat aku dan Adriana duduk, parkir sebuah sedan yang aku hafal betul itu milik siapa. Indra. Dia pasti tahu aku disini, ini tempat favoritku seusai mata kuliah yang melelahkan.
Indra berjalan menghampiri aku dan Adriana, wajahnya terlihat sumringah tanpa beban. Heran, kok manusia satu ini enggak peka banget ya ?, tanyaku dalam hati.
"Hai cantik", sapa Indra padaku sambil menjawil daguku. "Halo Dri", sapanya pada Adriana.
"Hai Ndra, tumben kesini ? Udah balik ngantor ? Kan masih jam 4 sore ?", tanya Adriana
"Gue mau jemput Anka. Di kantor lagi makan gaji buta", jawab Indra.
"Dijemput ? Emang aku minta jemput kamu ? Kayanya enggak deh, aku enggak sms apa-apa kok ke kamu", jawabku sambil menyedot teh botol dihadapanku.
"Emangnya aku jemput kamu kalo kamu minta aja ?", jawab Indra sambil nyengir.
"Hahahaha, lo berdua lucu. Udah ya, gue mau balik. Nanti malem Alan mau ngajak dinner. Gue mau nyalon. Dah Anka", ucap Adriana sambil cipika cipiki padaku.
"Dah", ucapku sambil tersenyum dan melambaikan lima jariku pada Adriana.
Aku melihat Adriana memberi kode padaku, dua telunjuknya dikaitkan. Katanya, itu kode perdamaian. Dia selalu memberikan kode itu padaku saat dia tahu aku dan Indra lagi perang dunia. Sebelum masuk ke mobil, dia tersenyum-kiss-bye padaku.
"Anka, kok kamu enggak ngabarin aku sih beberapa hari ini", tanya Indra yang kini sudah duduk disampingku. Dekat, dekat sekali.
"Emang harus ?", tanyaku singkat.
"Kamu selalu ngabarin aku kemanapun kamu pergi lho. Kemarin aja aku tahu kamu pergi sama Adriana dari mama", jawab Indra.
"Sejak kapan kamu pengen selalu tau aku kemana dan ngapain ? Segitu pentingnya buat kamu ?", tanyaku lagi. Kali ini dengan nada lebih ketus.
"Kamu kenapa sih ? Aku nanya baik-baik ya !", bentak Indra.
Aku langsung melihat mata Indra, menatapnya dalam-dalam. Ini bukan rasa marah karena dia membentakku, aku sudah tidak peduli. Ingin rasanya Indra tahu soal perubahanku tapi bukan dari aku. Sebegitu acuhkah Indra sampai bertanya sebuah hal berulang kali padaku ?
"Aku bukan malaikat yang bisa tahu apa isi hati dan kepala kamu", ucap Indra memecah keheningan kami.
"Aku juga bukan customer service yang bisa kamu tanya berulang kali", tantangku.
Indra marah. Aku tahu, aku kenal betul cara mata itu melihatku. Gurat-gurat wajah itu semakin jelas. Indra murka padaku. Tak lama Indra pergi, berjalan masuk ke mobilnya. Membanting pintu tapi tak meninggalkanku. Dia hanya membuka kaca dan mengisyaratkan aku agar segera masuk ke mobilnya. Aku diam, pura-pura tak melihat.
"Anka !", panggilnya tegas.
Akhirnya dengan langkah yang berat dan setumpuk rasa keterpaksaan aku berjalan perlahan menuju mobil Indra. Rasanya aku ingin kabur kalau tidak mengingat banyak orang ditaman kampus ini. Bisa-bisa aku terkenal besok di kampus, maklumlah kampusku kecil. Tiba-tiba telepon genggamku bergetar. Ada sebuah pesan singkat. Segera aku baca.
"Milanka, apa kabar ? Aku di Jakarta lho. Sekarang aku pindah kerja disini, dimutasi. Kapan-kapan ketemu ya. Salam buat mama. Ini nomor baruku, save ya. Take care dear ! BARRY"
Langkahku terhenti. Demi Tuhan, aku tak percaya ini nyata. Kembali aku baca pesan singkat itu. Oh, ini akan semakin menyulitkan keadaanku dan Indra. Barry kembali lagi.
***


- (oleh ameliaharahap - http://messynauli.blogspot.com)

No comments:

Post a Comment