Tentang 30 Hari Cerita Cinta

15 September 2011

Bayangan ke Lima - Sekotak Tisu



“Kenapa sih, dari tadi kamu kelihatannya gelisah gitu makannya?” tanya Elang selagi kita makan.

“Hah? Eh, hmmm.. gak apa-apa” jawab ku sambil tersenyum dengan sedikit dipaksakan.

“Beberapa jam lagi aku kembali ke kotaku, belum tau kapan bisa datang ke mari lagi. Tapi aku janji secepatnya aku pasti ke mari untuk ketemu kamu.. Nar..Sinar..” Elang menghentikan ucapannya, sadar aku tidak begitu mendengarkan apa yang sedang dia utarakan.

“Apa? Ya.. iya, kamu harus cepat balik lagi kemari, jangan lama-lama di sananya..” jawabku dengan sangat canggung.

“Kamu kenapa sih? Dari tadi kayak gak fokus dan gak nyaman ada di sini, ada yang salah sama makanannya?” 

“Aku harus balik lagi ke kampus, buku yang aku perluin buat ujian senin depan tadi ketinggalan di kelas”
“Coba telepon Ricardo, minta tolong dia, mungkin dia masih di kampus”

“Hmmm..gak, dia sudah balik tadi. Eh, maksudnya tadi aku ketemu dia pas sebelum ketemu kamu, katanya dia sudah mau balik” duuuh..kenapa gue jadi bohong gini sih sama Elang.

“Ya sudah, makannya selesaikan dulu, nanti aku antar ke kampus kamu lagi” 

“Gak usah, aku sendiri aja” jawabku cepat.

“Loh, kamu gak ikut nganter aku ke bandara?”

“Kayanya kali ini gak bisa, Sayang.. aku harus buru-buru ke kampus lagi, kalau kamu nganterin aku lagi, nanti kamu keburu-buru banget jalan ke bandaranya, ngerinya bukunya gak ada, aku harus cari-cari dulu siapa yang nemu, belum kalau nanti macet. Kamu langsung aja dari sini, aku gak apa kok sendiri”

Elang tersenyum, dan menyelesaikan kunyahan makanan yang sedang berada di mulutnya.

“Iya, kalau begitu mau kamu, aku gak maksa” jawabnya sebentar lalu melanjutkan makannya.

Siang ini rasanya beda, kenapa pikiranku jadi pecah begini. Gak biasanya aku bohong sama Elang untuk hal gak penting gini. Terlebih lagi ini jam-jam terakhir aku bisa melihat dia sebelum dia kembali ke Medan. Aduh..aku kenapa sih. Aku memukul-mukul kepalaku dengan kesal.
--

“Yuk, biar pak Ilham nganter kamu, aku naik taxi aja” ucap Elang setelah membayar bill makanan.

“Eeh, gak usah. Kamu nih! Ih. Aku sendiri aja, kamu pergi sama pak Ilham. Kampusku deket, lari 10 menit juga sampai” tolakku.

“Oke, kayaknya hari ini kamu lagi sibuk banget. Kamu hati-hati ya. Aku bakal kangen kamu banget” ucapnya sambil merangkulku,

“Aku juga, kamu baik-baik ya di sana. Kabarin aku kalau sudah sampai” aku menggenggam tangannya.
Akupun ikut menunggu pak Ilham datang ke lobby dan memeluk Elang untuk terakhir kalinya di hari ini sebelum dia masuk ke mobil.

Mobil Elang menjauh dan aku langsung berlari kembali ke arah kampusku. Kulihat jam di hpku, damn! Jam 4. Itu orang masih ada di sana gak ya? Aku mesti buru-buru, mana dia gak ngabarin masih nungguin apa gimana.
--

Masih sangat ngos-ngosan saat aku tiba di depan mobil sedan hitam yang dua hari lalu menyerempetku, mobilnya masih ada, jadi dia masih di sini. Mataku masih melihat sekeliling tempat parkir restoran tersebut, dan pandanganku berhenti di sebuah mobil sedan berwarna putih yang sangat familiar sekali. Hah? Di dalam ada Radit, duh.. ada-ada aja sih. Ini ngapain sih si Bayang masih aja di sini, aku sudah dua jam telat, kenapa dia gak pulang aja sih.

Aku pun berjalan masuk ke restoran bebek bakar yang lokasinya hanya tiga puluh meter dari kampusku. Mana nih si Bayang, kok gak ada. Pandanganku berhenti ke meja yang berada di sudut kanan restoran, pria yang kemarin ada di kamarku, dia bersama wanita berambut pendek, tinggi jenjang dan manis, tunangannya. Mereka terlihat baik-baik saja, tertawa dan saling berpegangan tangan. Euuw.. 

“Ah, akhirnya datang juga non” suara itu mengagetkanku dengan sebuah sentuhan di bahu dari belakang. Bayang!

“Eh, iya, maaf telat. Tadi ada perlu dulu. Kenapa lo gak balik aja sih? Yakin banget kalau gue bakal dateng?”

Dia tersenyum dan mengarahkan aku untuk ikut mengarah ke kursi yang berada tepat di sebelah meja Radit dan tunangannya. Dia menarikkan bangku untukku. Shit! Kenapa harus duduk di sini sih. Radit melihatku dan Bayang, tidak menyapa, namun aku yakin di dalam kepalanya penuh dengan pertanyaan.

“Aku yakin kok kamu datang, nih buktinya sekarang kamu di sini” Bayang berkata sambil memberikan buku menu yang ada di dekatnya kepadaku.

“Gue gak makan, masih kenyang. Lo aja, gue temenin” ucapku.

“Gak bisa, satu, karena aku gak biasa makan sambil ditontonin orang semeja. Dua, karena kamu terlambat dua jam lebih, jadi kamu gak boleh ngecewain aku lagi dengan ngebiarin hal yang pertama harus terjadi” jawab Bayang.

“Bawel lo ya, dibilang gue gak makan. Gue minum aja, lagian gue gak bisa lama-lama. Gue harus cepetan balik ke rumah” 

“Oke, minum. Mbak..” Bayang memanggil pelayan yang sedang melewati meja kami. Sesekali aku melihat reaksi Radit di meja sebelah, reaksinya berubah, tidak sama dengan saat pertama kali aku melihat dia saat masuk restoran ini, ah..dan dia melepaskan pegangan tangannya dari sang tunangan.

“Kamu minum apa?” tanya Bayang.

“Air mineral”

“Air mineral dua, Mbak. Terima kasih” 

“Lah, lo gak makan? Ini dari tadi nungguin juga gak mesen apa-apa?”

“Nggak, kan memang mau makan siangnya sama kamu, kamunya gak makan. Ya udah..”

“Idih..makan tinggal makan. Masa lo dari tadi di sini udah dua jam lebih Cuma mesen air mineral dua biji sih?”

“Dua botol” ucapnya mengkoreksi bahasaku.

“Iya, dua botol maksudnya”

“Gak apa, toh air mineralnya juga beli, dan kayanya di restoran ini gak ada larangan minimal harus makan apa, dan gak boleh nunggu orang berapa lama” jawabnya cuek.

"Mbak, minta tisu?" ucapku ke pelayang saat mengantarkan makanan.

"Buat apa tisu?" tanya bayang.

"Lo gak liat muka gue keringetan gini ?"

"Duh..segitu pengen ketemu aku ya? sampai buru-buru gitu?"

"Haa?" 

--
Dia banyak bertanya tentang aku, aku mejawab seadanya. Hingga kami memutuskan memesan kentang goreng untuk menemani obrolan kami. Tidak terasa sudah satu jam,  Raditpun sudah pergi meninggalkan restoran ini bersama tunangannya.

Ternyata Bayang baru saja selesai kuliah di Aussie, dia di Jakarta sejak tahun lalu, dan saat ini dia bekerja sebagai arsitek di daerah Jakarta selatan, tidak jauh dari kampusku. Pantas.

Bayang mengantarku pulang, lagi-lagi di dalam mobil dia tidak banyak bicara, sama persis saat pertama kali dia mengantarkan aku ke mall saat pertama kali ketemu. Tapi..

“Kriiuuuk...” suara kecil terdengar dikeheningan percakapan kami dari perutnya.

“Kan, kelaperan kan lo, gue bilang juga apa. Makan. Pake belaguan gak mau makan segala” ledekku.

“Eh, maaf, perutku bunyi depan kamu, gak sopan Maaf’ ucapnya dengan sedikit nada malu.

“Santai aja, mau makan gak lo? Deket rumah gue ada rumah makan kecil, tapi enak, gak ada alasan deh. Makan!” 

Dia tersenyum dan melihatku, “Iya, makan. Laper banget ternyata dari tadi Cuma minum air mineral doang.. hahaha” 

Dan akupun ikut tertawa.

Kami sampai di rumah makan depan komplek perumahanku, rumah makan kecil, tau deh orang kayak dia pernah makan di tempat kaya gini apa nggak. Ini rumah makan tempat aku dan Ricardo makan saat rumah kami sama-sama tidak ada makanan yang bisa saling dibagi saat kelaperan banget.

“Tuh, lauknya pilih aja, bilang mbaknya nanti diambilin” ucapku ke Bayang yang masih melihat isi rumah makan ini dengan tatapan meragukan.

“Hmmm, kamu makan apa?” dia balik bertanya.

“Bu, biasa yah” ucapku ke Ibu warteg. Iya, kami di warteg! 

“Mbak Sinar, tumben gak sama mas Ricardo. Ini temannya mau makan apa?” jawab Ibu warteg yang biasanya menemukan aku berdua Ricardo tiap kemari.

“Makan apa lo? Itu ditanya juga” 

“Aku samain sama pesanan kamu deh” 

“Bu, biasa, 2 yah bu. Yang buat mas yang ini nasinya dibanyakin, seporsinya Ricardo” ucapku ke Ibu warteg.

Hihihihi, sepertinya ini kali pertama Bayang makan di tempat seperti ini. Aku tersenyum melihat dia sibuk mengibas-ngibaskan dasi yang dia kenakan. Ibu warteg memberikan makanan kami. Nasi putih, sayur daun singkong dan ikan tongkol pedas. 

“Selamat makan...” ucapke ke Bayang yang masih melihat piringnya.

“Iya, selamat makan” ucap Bayang.


Suasana mulai berubah, dia mulai terbiasa dengan suhu rumah makan kecil ini, dia tidak mengibas-ngibaskan dasinya lagi, keringat mengalir dari dahi sampai ke pipinya, aku tersenyum dan mengambil tisu yang baru saja ku beli dari dalam tasku, ku lap keringat tersebut dan dia menatapku dengan senyuman yang membuat lesung pipinya terlihat. Akupun ikut tersenyum.
Kami mengobrol lagi dengan lebih santai, dan tidak terasa sudah jam tujuh malam lewat. Bayang pun pulang menaiki mobilnya, aku melambaikan tangan ke arah kaca mobil yang dia buka, senyumnya....
Ah, menyenangkan hari ini.

--
Aku berjalan menuju rumahku, rumahku gelap, belum ada lampu yang dinyalakan. Ibuku hari ini tidak pulang, karenan nenekku sakit dan dia memutuskan untuk menjenguk serta menginap di rumah nenekku.
Ku buka pintu pagar, dan.. tetiba ada bayangan pria tinggi di depanku, pantulan dari sosok yang berada di belakangku. Akupun menengok ke belakang untuk memastikan siapa dia.

“Radit?” ucapku pelan.

“Ngapain kamu ke sini, jam segini, Dit?” kali ini nada bicaraku sedikit lebih marah namun tetap pelan.
Radit menghiraukan ucapanku, menggengam tanganku dan menariknya masuk ke dalam pagar berwarna hitam tinggi yang melindungi rumahku dari pandangan luar. Pagar rumahku cukup tinggi, untuk dapat dilihat dari luar. Apa yang kami lakukan di dalam rumah tidak akan terlihat jika dari luar.

“Siapa dia? Siapa yang tadi bersama kamu di restoran? Siapa dia, Nar?” nada bicara Radit sedikit tinggi sambil memegang kedua tanganku, wajahnya hanya sepuluh senti dari wajahku, aku bisa menghirup amarah yang keluar dari seluruh lubang yang ada di wajahnya.

“Apa sih kamu, dateng-dateng langsung marah-marah gini? Gimana coba kalau sekarang ada Ibuku di dalam?” ucapku sambil melepaskan genggaman dia dengan paksa.

Akupun meninggalkan dia, dan membuka pintu masuk rumahku. Dia terdiam tidak mengejarku atau berkata apa-apa, memandangku dengan penuh amarah dan kesal.

“Masuk. Ibuku lagi gak ada di rumah. Rumah ini kosong seperti kemarin” ucapku ke dia sebelum memasuki rumah.

Lalu diapun melangkahkan kaki, aku duduk di sofa hitam tua yang berada di ruang tamu, dia masih berdiri. Belum berkata apa-apa, memandangku dengan kesal. Sepuluh menit kami saling terdiam, sepertinya dia tau apa yang sedang terjadi, aku menemukan lelaki baru. Terlihat jelas ketakutan dari raut wajahnya. Aku menghelakan nafas panjang, berdiri dan menghampirinya.

“Kamu kenapa sayang? Muka kamu serem banget sih” aku mencoba menenangkan emosinya dengan mengelus rambutnya sambil tersenyum. Ku kecup bibirnya dengan sedikit gigitan, agar dia terpancing untuk membalasnya. Namun sia-sia, dia meninggalkanku dan duduk di tempat aku duduk sebelumnya. Aku mengikutinya, duduk di sebelahnya. 

“Dia teman baru, aku juga baru kenal sama dia dua hari yang lalu, gak sengaja. Kamu mau tau apa lagi tentang dia? Aku gak ada apa-apa sama dia” aku menjawab pertanyaan yang radit pertanyakan saat kami di luar.

“Bener gak ada apa-apa? Aku sudah berbagi kamu dengan pacar kamu yang sialan itu, aku gak mau kamu bagi-bagi lagi ke laki-laki lain!” ucap Radit dengan tatapan serius kepadaku.

“Kamu bilang apa? Sialan? Kamu jangan kurang ajar ya, nyebut Elang sialan. Heh! Yang sialan itu kita, bukan Elang! Trus apa maksud kamu dengan ‘bagi-bagi’ ke laki-laki lain? Kamu fikir aku perempuan macam apa? Aku tau betulkan alasan kenapa aku masih berhubungan sama kamu?! Taukan kenapa? Bukan semata-mata karena sex!” jawabku dengan emosi.

“Sinar, Sinar.. maafin aku. Aku tadi benar-benar cemburu liat kamu berdua sama dia, iya, aku minta maaf tadi sampai ngomong gitu. Maafin aku. Kamu jangan emosi gini” kali ini dia yang melemahkan nada suaranya.
--
Aku kesal, dengan ucapannya, dia tau jelas, kami masih berhubungan diam-diam seperti ini karena apa. Dulu saat aku belum resmi pacaran dengan Elang dan dia putus dengan tunangannya saat itu kami dekat, dia baik, bilang kalau agama bukan segalanya, masih bisa dibicarakan, “dijalani saja dulu”. Dia bikin aku jatuh cinta dengan segala perlakuannya. Tapi disaat hati aku mulai sangat bergantung dengannya, dia mulai meributkan soal agama jika hubungan kami ingin diresmikan, dan tidak lama setelah itu dia malah balikan dengan tunangan yang tadinya sudah putus. Aku ditinggal dengan segala sakit hati dan harapan. Elang yang datang saat itu mengobati sakit hatiku ke Radit. Aku gak rela Radit nyebut Elang sialan.

Saat Elang harus pergi ke Medan pertama kali, dan Radit tau mengenai itu, Radit meminta maaf atas perlakuannya meninggalkanku begitu saja dan kembali ke tunangannya saat rasaku ke dia sangat dalam. Dia bilang dia mau jagain aku selama Elang gak di Jakarta, dia bilang dia mau jadi sahabatku. Namun karena dari awal kami saling menyukai satu sama lain, hubungan kami tidak layak disebut hubungan ‘persahabatan’. Radit meniduriku saat kami sama-sama mabuk.

Kejadian itu sekitar empat bulan lalu, bulan ke enam Elang berada di Medan. Aku kesepian, butuh teman yang lebih dari sekedar teman, kami mulai sering jalan bareng dan menghabiskan waktu lebih banyak berduaan entah di hotel, rumahku atau kostan dia. 

Sampai akhirnya terjadilah kejadian itu, kejadian pertama yang akhirnya membuat kami saling ketergantungan sex satu sama lain. Kami berdua mabuk, Radit membawaku ke hotel lalu semuanya terjadi untuk pertama kalinya. Dia bilang, akupun orang pertama yang dia tiduri. Aku menangis di pagi harinya, dia berjanji tidak akan meninggalkanku. Dia akan terus berada di sampingku hingga Elang kembali ke Jakarta untuk menetap. Begitulah yang terjadi di antara kami. Hubungan rahasia dengan penuh nafsu di dalamnya. Hubungan untuk jiwa yang kesepian.
--

“Sayang..kamu ngertikan kenapa aku marah kaya tadi? Aku cemburu. Aku gak rela liat kamu bisa ketawa dengan orang lain..” Radit melanjutkan ucapnya.

“Sepertinya hubungan kita harus segera dihentikan” ucapku dengan nada serius tanpa berani menatap matanya.

“Maksud kamu? Gak, kamu ingatkan janji kita dulu? Aku akan terus di samping kamu, sampai dia balik lagi di sini, nemenin kamu nunggu dia. Kamu yang minta itukan? Aku gak mau ngelanggar ucapanku sendiri. Nggak Sinar, gak akan” Radit menjawab sambil memegang bahuku, sekarang posisi dia ada di depanku.
Aku melepaskan pegangannya, menghelakan nafas panjang dan melempar tubuhku ke belakang agar bersandar ke sofa. Diam.

“Sinar... aku janji, aku gak akan kaya tadi lagi, aku gak akan cemburu-cemburu lagi, maafin aku ya” ucapnya lagi sambil membenarkan rambutku yang tidak beraturan, mengecup keningku, hidung dan bibirku. Aku diam, dia terus menciumi seluruh wajahku, membuka bajuku, merebahkan tubuhku di atas sofa yang tadi sama-sama kami duduki, aku masih saja hanya diam.

Terjadi lagi hal yang selalu kami lakukan saat hanya ada aku, Radit dan nafsu di dalam satu ruangan. Malam ini tidak sedikitpun aku menikmati apa yang kami lakukan, aku menatap langit-langit ruang tamuku dengan tatapan kosong, ada sedikit air mata keluar dari mata kananku. Radit tidak memperdulikan reaksiku, dia tidak menyadari kehampaanku malam itu, dia hanya menikmati tubuhku, tidak memperdulikan jiwaku, apa yang aku rasakan saat ini, saat tubuh besarnya berada di atas tubuhku tanpa sehelai baju.
--


“Sinar.. lo di rumahkan? Nar..” Suara Ricardo dari luar sambil mengetuk-ketukan kunci pagarku, tidak suara pagar terbuka, dia masuk!.

Radit sedang di kamar mandi di dalam kamarku, aku masih di atas sofa, hanya mengenakan baju tanpa bra dan tanpa bawahan apapun. Segera ku ambil sekotak tisu, ku lap air mataku, ku bersihkan semua noda yang ada di sofa, segera kuberi tahu Radit untuk tidak bersuara dan diam di dalam kamarku, ku sembunyikan semua benda milik Radit yang tercecer di ruang tamu, ku kenakan celana dan merapikan rambutku, aku membuka pintu dan keluar menemui Ricardo.

“Do..” aku menyapanya yang sudah duduk di bangku teras rumahku, ku rapatkan pintu rumahku, seolah memberi kode bahwa ‘kita mengobrol di teras saja’.

“Bah.. lama amat lo buka pintu, abis ngapain?” tanya Ricardo.

“Tidur, sori lama. Kenapa, Do?” tanyaku lagi.

“Gak apa-apa, mampir aja, beuh..hari ini kelakuan Alyssa bener-bener bikin gerang, belum ada sebulan jalan sama ni cewek, perasaan pegel amat hati gue” Ricardo ternyata datang kemari ingin curhat, duh..saat yang tidak tepat.

“Do, lo pasti akan baik-baik aja” ku potong cerita dia dengan kalimat tadi sambil memeluknya.
“Nar, kenapa lo? Lo nangis?” tanyanya sambil mengelus rambutku.

“Gak sekarang ya, Do. lo balik dulu, besok kita cerita-cerita. Sekarang gue lagi mau sendiri dulu. Maafin banget hari ini gue gak bisa dengerin curhatan lo” ku lepaskan pelukanku dan menyuruhnya untuk meninggalkanku.

“Nar, lo kenapa? Oke, gak hari ini. Sekarang lo lagi pingin sendiri. Oke..sekarang lo istirahat ya. Jangan begadang, pintu rumah di kunci” lanjut Ricardo sambil mengecup keningku.
“Iya, Do. Makasih..”

“Jangan nangis, kalau ada apa-apa  kabarin gue. Gue balik yah” Ricardo berpamitan, berjalan keluar pagar dan aku kembali masuk ke rumah, masuk ke kamarku.

Ku lihat Radit masih mengenakan handuk, berdiri di dekat jendela, ah..dia mengintip. 

“Kenapa kamu pelukan sama dia?” tanyanya saat melihat aku melihat aku di pintu masuk.

“Gak sekarang, Dit. Please.. jangan mulai lagi. Kamu taukan, dia sahabatku dari kecil” aku menjawab dengan nada pelan, aku pun duduk di atas tempat tidur, tanpa sedikitpun menatapnya.

“Oke, gak sekarang, artinya kita akan bahas masalah persahabatan kamu dan dia yang menurut aku berlebihan. Kecup kening? Persahabatan macam apa itu?” Radit terus berbicara, dan aku hanya menyalakan rokok mendiami dia.

"Close enough to start a war, all that I have is on the floor. God only knows what we're fighting for, all that I say, you always say more. I can't keep up with your turning tables, under your thumb, I can't breathe. So I won't let you close enough to hurt me. No, I won't ask you, you to just desert me. I can't give you what you think you gave me. It's time to say goodbye to turning tables, to turning tables.

-Adele Turning Table- 

Belakangan ini setiap ketemu Radit pasti kita meributkan hal-hal itu saja, agama, cemburu, cemburu dan cemburu. Aku muak dengan semuanya, kepalaku sakit tiap kali Radit menaikan nada suaranya menanyaiku ini dan itu. Persahabatan macam apa? Hubungan macam apa? Pacar macam apa? Isi kepalaku penuh. 

Radit memakai bajunya dan menghampiriku, memeluk, menciumku sekali lagi sebelum berpamitan pulang. Aku hanya tersenyum, tidak mengantarnya keluar, tidak peduli apakah nanti di luar akan ada orang yang melihatnya ke luar dari rumahku atau tidak. Aku penat!
--


Setelah mandi, aku mengambil hp, sepuluh miss called dari Elang, BBM dari Elang dan Ricardo dan satu SMS dari Bayang. Ku jawab satu persatu BBM yang masuk. Ku baca ulang isi SMS dari Bayang.

“Selamat istirahat, Sinar. Terima kasih untuk hari ini. You’ve made my day, non.” 

Aku tidak membalas SMS Bayang, namun tersenyum saat membacanya kembali. Perasaan seperti ini yang aku rindukan, perasaan yang muncul saat pertama kali Elang dan Radit mendekatiku, saat kami belum berhubungan, muncul lagi, namun kali ini dengan orang asing yang baru saja ku kenal bernama Bayang.
--


Jakarta, 11 Juni 2011
“Kemarin malem gue liat mobil senior kita yang dulu deket sama lo keluar komplek rumah lo, pas gue makan di warung si Ibu” isi bbm dari Ricardo semalam, yang baru sempat aku baca saat bangun tidur.

“Pagi” balasan BBM ku ke pesan tadi untuk Ricardo tanpa sedikitpun komentar tentang apa yang dia lihat kemarin.

Hari ini aku gak ada kuliah, aku pun belum memutuskan untuk mandi jam berapa, aku merokok di teras sambil meminum segelas kopi hitam. Pagi yang cerah, dan tetiba lamunanku terbuyar karena bunyi bel. Siapa pagi-pagi gini ke rumah? Perasaan Ibu bilang beliau baru mau pulang sore nanti. Kubuka pintu pagarku dan wangi ini... ini parfumnya...

“Pagi, Non..” BAYANG! Pagi-pagi gini? Dan dari mana dia tau rumahku? Aduh, tadi Ricardo bilang setengah jam lagi dia mau ke rumahku.

“Ngapain kamu kemari?” tanyaku sambil membereskan rambutku sekenanya.

“Ciyee..manggilnya ‘kamu’” jawabnya dengan tersenyum dan meledek.

Duh..ngapain gue manggil kamu ke dia? Sinar begooooooo!

“Eh, iya, ngapain lo kemari? Dan tau dari mana lo ini rumah gue?” tanyaku kembali.

“Aku tau rumah kamu dari Ibu warung tempat kemarin kita makan, lalu aku kemari untuk ngasih ini” dia memberikan sebuah kotak berwarna pink ke arahku.

“Apaan nih?” 

“Buka aja” ucapnya sambil berjalan melaluiku, dia masuk ke teras rumahku dan langsung duduk tanpa dipersilahkan di bangku teras yang tadi kujadikan tempat melamun.

“Siapa yang ngizinin lo masuk dan duduk?”

Dia berdiri, “Jadi gak boleh masuk dan duduk? Meski Cuma di teras? Oiya, orang rumah kamu pada kemana? Kok sepi gini?” 

“Gue cuma berdua sama Ibu gue di sini, dan beliau sekarang lagi gak ada. Eh! Jangan macem-macem lo! Gue bisa karate!” ucapku ke padanya dengan mimik muka serius, akupun duduk di bangku satu lagi yang ada di teras.

“Sekarang aku boleh duduk kaya kamu gitu atau kita ngobrol dengan aku berdiri seperti ini?” dia tidak menghiraukan ucapanku sebelumnya. 

“Duduk aja” jawabku singkat.

“Kamu minum kopi hitam? Udah sarapan emangnya?” ucap Bayang saat melihat secangkir kopi hitam di atas meja.
“Hmmm” aku menjawabnya singkat sambil membuka kotak yang tadi dia berikan.

Sebuah tisu? Isi kotak ini sebungkus tisu yang dengan merk yang biasa aku pakai.

“Apaan nih? Ngasih tisu, pake dikotakin segala?” tanyaku sambil menunjukan isi kotak tersebut dengan mimik wajah bingung.

“Kamu belum mandi ya? Beleknya tuh” dia malah mengomentari tampangku yang masih berantakan. 

Langsung aku membalikan badan dan memeriksa apa yang baru saja dia ucapkan, ku buka tisu yang baru saja ku dapat darinya, ku lap seluruh mukaku. Damn! Gue lupa kalau gue belum mandi atau cuci muka sama sekali. Ini cowok sinting ngapain coba jam segini ke rumah gue!

“Nar...Sinaaaaar...” suara Ricardo di balik pagar rumahku, dan lagi-lagi terdengar suara bel sepagi ini.

Duh.


Bersambung....

No comments:

Post a Comment