Tentang 30 Hari Cerita Cinta

15 September 2011

Rekam Imaji #3

Rekam Imaji #3
Keadaan menjadi semakin berat karena Langit meminta Bumi menjadi
fotografer pre-wedding sampai resepsi pernikahan kami. Aku menjadi lebih sering
bertemu dengan Bumi ketimbang Langit yang masih disibukkan dengan pekerjaannya.
Aku ingin mengatakan semua, bercerita, mengutarakan kalau ini bisa memberatkan
posisiku. Tapi aku juga tak ingin merusak hubungan baik Bumi dan Langit. Tapi
ada baiknya ia tidak sesering ini meninggalkanku berdua dengan Bumi. Sekeras
apapun aku menghindarinya, berusaha menyibukkan mataku, Bumi selalu saja
berhasil menarik perhatianku. Belum lagi celotehnya di lajur waktu...ah...
"Sepertinya lama tidak melihatmu dalam lajur waktu. Apa Langit begitu
menyita waktumu?"
Aku melirik Bumi yang sepertinya sengaja menyibukkan diri dengan
mengutak-atik kamera kesayangannya. Pertanyaan macam apa itu? Pikirku....
"Hanya sedang malas saja."
Ku sandarkan sepeda ontel pada pohon besar di tengah padang ilalang. Membelah
padang ilalang yang biasanya ku lakukan bersama Langit, kali ini rasanya
sedikit aneh karna ada Bumi yang terus membuntutiku dan mengarahkan kameranya
kepadaku. Ini seperti selebriti Hollywood yang terus dikuntit papparazi.
"Aku suka ke sini sama Langit, kalau dia lagi nggak sibuk."
"Bukannya kamu yang selalu menyibukkan diri?"
"Selama di Jogja, aku khusus menemani Langit, tidak menerima pekerjaan
apapun."
"Ah, sekarang aku harus mendengarkan kisah cinta...ini salah satu hal
yang membuatku sering menolak menjadi fotografer macam gini."
Bumi membaringkan tubuhnya, aku pun duduk di sebelahnya. "Lantas,
kenapa kamu menerima tawaran dari Langit?"
Ia bangun dari pembaringannya, jarak kami sangat dekat, mata dengan
mata. "Karena aku menemukan sesuatu yang menarik...". Bumi terdiam sesaat.
Jemarinya menyingkap rambut yang menutupi mataku, lalu... "kamu...".
Aku berharap Bumi sedang bercanda seperti biasa saat itu. Tapi aku
sadar, tak ada seringai jahilnya, tidak ada tawa yang membuatku gemas hingga
melayangkan pukulan dan cubitan. Bumi menatapku, lekat, di mata, sama seperti
dulu...

Seketika lampu-lampu
membidik ke arahku. Aku tak berkedip. Karena saat itu, untuk pertama kalinya
kamu menatapku lama. Tepat di mataku. Mataku dan matamu beradu, tapi kita
sama-sama bisu.

Sebuah suara dari telepon genggamku membuyarkan imaji lalu. Aku
tersentak menemukan nama Langit pada layar yang berkedip-kedip. Segera aku
beranjak. Rasanya seperti sebuah sentilan, mengingatkanku untuk jangan lagi
bermain dengan kotak Pandora, karena aku sudah tau rasanya siksa akibat aku
berani mengintipnya.
"Ayo kita kembali." Ujarku.

Bumi masih terduduk sembari mengeluarkan kepulan beraroma tembakau. Ku
ambil tasku lalu berjalan menjauhi Langit, hingga akhirnya ucapannya menghentikan
langkahku.
"Aku udah baca Rekam Imaji...".
Aku menoleh, "Oh ya? Gimana menurut kamu?"
"Apa sesakit itu rasanya rindu?"
Kali ini aku berbalik, memandang lekat. Akhir-akhir ini ia
sering kali begitu, menatap lekat. "Apa masih perlu dipertanyakan kalau rasanya
sudah ku tulis semua di sana?"
"Kalau pria imajimu itu datang? Sekarang? Atau,
entahlah...mungkin dalam waktu dekat ini?"
"Maka rindu itu tidak akan lagi menyakitkan...karena aku
sudah tahu harus di mana rindu itu ditempatkan." Aku kembali melangkahkan kaki.
Aku tahu Bumi mengikuti langkahku.
"Di mana?"
"Tergantung dengan apa dia datang...".
"Haha...bagaimana kalau ia membawa mahar?!"
"Haha...maka akan ku acungkan jari manisku padanya...".
Langkahku kembali terhenti, kamipun kembali diam. Suara
angin bermain-main dengan ilalang yang menari-nari, mengiringi kupu-kupu
bercengkrama tatkala langit semakin menguning. Bumi memandangi kilau yang
melingkar di jari manisku, dan aku memandangnya dengan rindu yang kalau saja
tak berhasil ku tahan, sudah meluap tumpah ruah! Aku jadi tak tahan melihatnya
diam, aku jadi benci mendapati matanya yang menjadi sendu...apa itu untukku?
Apa itu rindu? Bumi...seandainya dulu, bersamamu, rindu temu dan waktu adalah
sahabat...itu andai Bumi..
"Bumi...kamu tahu?"
Kau angkat wajahmu, masih dengan tatapan yang ku benci itu. "Seseorang bilang...katanya perempuan diciptakan Tuhan untuk
belajar mencintai. Sedangkan lelaki, tak ada kata menunggu dan belajar
mencintai dalam kamusnya. Lantas aku menjajal kekuatan yang diciptakan untukku
itu, menjajal sejauh mana aku mampu belajar, tidak mengejar, tidak jatuh.
Nyatanya, rindu itu serasa dosa, bagai berhala...rindu itu layaknya
candu...Bagaimana menurutmu Bumi?"
"Apa ketika perempuan tersiksa rindu artinya ia telah jatuh
cinta? Bukankah cinta itu tidak mengenal perempuan dan lelaki? Dicintai dan
disiksa rindu, apa kamu tengah membunuh dirimu secara perlahan?"
"Remah rindumu itu seperti jebakan. Semakin ku tarik,
semakin menggigit. Rindumu itu seperti virus yang menular, rindumu itu seperti
perempuan melumah tanpa busana...minta dijamah. Rindumu itu seperti aroma dapur
ketika ibuku sedang memasak. Rindumu yang tanpa kata...Pelangi...kamu membuatku
ingin mati...demi Tuhan! Kamu akan menikahi sahabatku Pelangi!" Nada suaranya
semakin meninggi.

Bukan hanya rindu yang tengah berusaha mendobrak pintu yang
telah ku timbun, tapi juga sakit dan perih. Entah atas dasar apa Bumi
menumpahkan buncah emosinya, melepas rasa yang sepertinya lama dipugar dan
menyakiti dirinya sendiri...oh, tidak..menyakitiku juga, kami...
"Aku lelah mencumbu imaji...aku lelah menanti waktu dan temu
bersahabat...aku lelah dengan segala rayumu yang sebatas kata, aku lelah
merindu hanya sebatas aksara...tidakkah sedikitnya kau rasa iba? Tidakkah
nyalimu sedikit terusik?!" Nada suarakupun semakin meninggi, ketus. "Kamu yang
bilang kamu bukan pilihan...kamu yang bilang kamu tidak akan menyesal
mengatakannya. Lantas apa yang bisa ku bantah saat itu Bumi?! Apa kamu tidak
ingat? Aku hanya mengenalmu sebatas itu, sebatas yang kamu inginkan...lantas
bersalahkah aku tidak mengenal Langit sebagai sahabatmu?"
Diam...apa kamu hanya bisa diam Bumi?
"Kadang aku berharap, Februari tak pernah ada dalam
kamusku."


- (oleh @NadiaAgustina - http://kekasihsenja.tumblr.com)

No comments:

Post a Comment