Tentang 30 Hari Cerita Cinta

15 September 2011

Secret Past: Rainy Day #3

III
RAINY DAY

            Saat Adiana mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, perpustakaan FKUI itu tampak sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa/mahasiswi senior yang sedang membuka laptop dan penjaga perpustakaan yang berada di ruangannya. Sesuatu yang sangat jarang terjadi karena kursi-kursi yang nyaman ditambah pendingin udara di tempat tersebut biasanya mampu menarik mahasiswa/mahasiswi angkatan Adiana untuk menghabiskan waktu disana.
            Tetapi hari ini semua kegiatan praktikum dibatalkan untuk alasan yang tidak jelas. Bukannya itu sesuatu yang penting karena toh tidak ada mahasiswa/mahasiswi yang peduli. Kesempatan untuk terbebas dari rutinitas kuliah lebih cepat dari biasanya—hanya itu yang mereka pedulikan. Karena itulah hampir setiap orang menggunakannya untuk pergi berjalan bersama kelompok pertemanannya masing-masing, tidak terkecuali Adiana yang sudah membuat janji.
Dan dia menunggu janji tersebut dengan duduk sendirian di salah satu meja perpustakaan bersama Laptop Apple miliknya.
            Adiana memasang headphone berwarna merah muda melingkari kepalanya dan mulai memilih-milih file di dalam laptop tersebut. Beberapa detik setelah dia menekan tombol Enter tampak anime Claymore diputar di layar laptopnya dan segera dia larut dalam salah satu hobi favoritnya.
            Gadis itu begitu serius menonton anime tersebut, hingga dia tidak sadar bahwa seseorang sudah berdiri di sampingnya sambil memperhatikannya. Dia baru terkejut saat sebuah tupperware pink diletakkan di sampingnya. Dia mendongakkan kepalanya dan melihat sosok Ariyo yang sedang menatap ke arah layar laptopnya.
            Dengan sedikit buru-buru, Adiana melepaskan headphone-nya. "Eh… Ariyo… Sejak kapan loe ada di sini?"
            Alih-alih menjawab pertanyaan tersebut, Ariyo masih tetap menatap ke arah laptop Adiana. "Claymore... One of the greatest anime ever…" Ariyo menoleh ke arah Adiana. "Gue tidak menyangka kalau cewek seperti loe termasuk penggemar anime."
            "Well... Kebiasaan anak kecil yang sulit hilang." Adiana tersenyum malu.
            "Gue rasa tidak juga... Hanya orang bodoh yang mengatakan seperti itu."
 Adiana terdiam. Baru kali ini ada laki-laki yang berpikiran sama dengannya. Dan kata-kata tersebut mengingatkannya pada seseorang yang selalu mengatakan sebaliknya
"Tidak semua anime untuk anak kecil." Ariyo menunjuk layar laptop Adiana. "Claymore jelas bukan untuk anak kecil. Ini episode waktu Teresa menyelamatkan Clare kan? Saat dia pertama kali membunuh manusia. Scene ini..."
            Tiba-tiba saja mereka berdua sudah duduk bersebelahan sambil membahas topik yang jelas sekali sama-sama merupakan kesukaan mereka. Adiana sama sekali tidak mengira bahwa dirinya dan Ariyo dapat mengobrol banyak seperti ini. Ariyo tidak berbicara lebih banyak dari Adiana dan dia sama sekali tidak tersenyum sepanjang pembicaraan, tetapi Adiana merasa bahwa laki-laki itu terasa tidak begitu dingin seperti biasanya.
            Tanpa terasa mereka sudah mengobrol selama hampir setengah jam, hingga tanpa sengaja tangan Adiana menyenggol tupperware pink yang berada di sebelah laptopnya dan hampir saja menjatuhkannya ke lantai bila tidak segera ditahan oleh Ariyo.
            "Masih saja ceroboh." Ariyo berdecak sinis. "Tapi berkat itu jadi ingat. Anime ini membuat gue lupa tujuan utama gue datang kemari. Ini, gue kembalikan."
            "Oh iya, terima kasih... Emmm..." Adiana terdiam menunggu Ariyo berkata-kata lebih lanjut dan karena tidak ada, maka dia melanjutkannya. "Dan bagaimana browniesnya? Enak atau..."
            "Brownies itu loe buat sendiri?"
            Adiana menganggukkan kepala. "Pertama kali sebenarnya..."
            "Kalau boleh jujur, gue tidak terlalu suka dengan cokelat atau makanan manis."
            "Oh..." Adiana merasa seolah ada yang menusuk hatinya.
            "Tapi... Brownies itu yang pertama bisa membuat gue untuk mulai suka."
            Adiana tersentak. Dia berani bersumpah dia baru saja melihat laki-laki itu tersenyum untuk pertama kalinya, meskipun hanya sesaat sebelum wajahnya kembali dingin. Selanjutnya Adiana sendiri merasa ada kehangatan yang menjalar di dalam dadanya.
            "Well... Syukur deh kalau itu cocok di lidah loe..."
            "Ana?"
            Suara laki-laki itu memotong perkataan Adiana. Dia menoleh ke arah suara tersebut dan melihat Aditya sudah berdiri di samping Ariyo.
             "Ah..." Entah mengapa Adiana merasa ada kepanikan yang menjalar di dirinya. Dia tahu dia seharusnya mengatakan sesuatu, tetapi mulutnya terasa terkunci.
            "Wah, sudah jam segini." Ariyo berdiri dari kursinya. "Baik Adiana, gue sudah harus pergi sekarang. Thanks, gue sudah boleh ikut menonton animenya."
            Ariyo mengucapkan salam perpisahan dan tidak menunggu sampai adanya jawaban sebelum pergi dari tempat itu. Adiana hanya dapat melihat laki-laki itu hilang dari pandangan di pintu masuk perpustakaan.
            "Anime lagi?" Aditya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Masih saja melakukan hobi anak kecil." Dia menarik kursi di samping Adiana. "Si Ariyo itu juga suka toh?"                  
"Yah, begitulah... Kebetulan tadi dia melihat aku nonton, terus dia ikut nonton."
            "Hoo..." Aditya mengangkat bahunya seraya melihat jam tangannya. "Well... Sudah siap? Filmnya di Blitz dimulai satu jam lagi, lho."
"Iya, tinggal masukin laptop kok."
Aditya kemudian melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. "Eh, apa ini? Wah, tupperware-nya sudah diisi lagi. Apa lagi kali ini yang kamu buat?"
            Adiana baru tersadar bahwa tupperware yang diberikan oleh Ariyo tersebut tidak kosong. Saat Aditya membukanya, barulah dia melihat empat potong mousse cokelat tertata rapi di dalamnya.
            "Wah, sepertinya enak nih." Aditya meraih satu potong.
            "Tunggu sebentar." Adiana menghentikan tangan Aditya, kemudian lebih dahulu mengambil satu potong mousse dan menggigitnya. "Cuma ingin memastikan rasanya." ujar Adiana sambil tersenyum.
            Tetapi dia tahu bukan itu alasannya. Dia hanya tidak ingin ada yang mencoba makanan itu lebih dulu daripada dirinya. Mousse cokelat pemberian Ariyo. Dia ingin jadi orang pertama yang merasakannya.


Adiana berjalan cepat menuju halte bis di depan Rumah Sakit Carolus. Meskipun tangannya menggenggam payung kecil berwarna putih di atas kepalanya, tetapi angin kencang yang menyertai hujan hari itu tetap menyemburkan air ke seluruh tubuhnya. Dan begitu tiba di halte hampir seluruh baju dan roknya telah basah oleh air hujan. Seolah dia berlari menembus hujannya, bukannya berlindung di bawah payung.
Halte itu sudah dipenuhi oleh orang-orang yang berteduh. Adiana berdiri di tepi yang menghadap jalan raya dan itu membuat air hujan yang tertiup angin semakin membasahi tubuhnya. Sebenarnya masih ada tempat di bagian lebih belakang, tetapi sudah ada bapak-bapak tua yang merokok di sana.
Adiana sangat membenci asap rokok. Bukan hanya karena masalah kesehatan sebagai perokok pasif yang sudah diketahui secara umum, tetapi juga karena bau rokok benar-benar membuatnya ingin muntah.
Adiana sesekali melongokkan kepalanya ke jalan raya. Arus lalu lintas di hadapannya saat ini benar-benar seperti neraka. Padat oleh berbagai jenis kendaraan bermotor yang saling membunyikan klakson. Tetapi dari semua kendaraan tersebut, tidak ada yang lebih diharapkannya selain bus kota bernomor 67 jurusan Blok M-Senen.
Hari ini Jumat. Waktunya pulang ke rumah.
Kegelisahan yang bercampur kekesalan mulai terlihat dari raut wajah dan gerak-geriknya.
Ayo dong... Sudah hampir setengah jam. Lebih lama lagi gue di sini sama saja gue mandi.
Sebuah sedan Honda Civic berwarna hitam berhenti di depan Adiana. Kaca-kacanya sangat gelap, sehingga Adiana tidak dapat melihat orang di dalamnya. Dia tidak mematikan mesinnya.
Gue nunggu bis yang datang malah mobil. Adiana tersenyum geli. Enak sekali hujan-hujan begini dijemput. Siapa ya yang mau dijemputnya?
Kaca mobil tersebut terbuka turun dan betapa terkejutnya Adiana melihat wajah Ariyo melongok dari kursi pengemudi.
"Loe mau kemana hujan-hujan begini?" tanya Ariyo setengah berteriak, mencoba mengalahkan bunyi bising jalanan.
"Ah, nggak... Gue cuma mau pulang ke rumah."
"Naik, cepat."
Adiana tertegun. Siapa dia berani merintah-merintah gue kayak gitu.
"Tidak perlu kok, Yo. Gue lagi nunggu bis, sebentar lagi juga datang."
Kaca mobil di hadapannya bergerak naik menutup. Adiana benar-benar tidak habis pikir dengan sikap kasar laki-laki ini. Tanpa ada salam apapun, dia akan pergi begitu saja.
Yah, bukan urusan gue juga sih dia mau kayak gimana...
Tetapi betapa terkejutnya Adiana saat pintu mobil pengemudi terbuka dan Ariyo setengah berlari ke arahnya.
"Hujan-hujan begini akan sulit buat loe dapetin bis. Ayo naik ke mobil."
"Eh, tidak usah, Yo. Beneran kok. Itu bis gue juga udah kelihatan, sebentar lagi."
Laki-laki itu menggelengkan kepalanya dan tanpa berkata apapun membuka pintu mobil bagian penumpang depan. Tangannya memberikan isyarat kepada Adiana untuk segera masuk. Gadis itu hanya terdiam dengan pandangan tidak percaya. Kemudian dia melihat tetes-tetes air hujan yang mengalir dari kepala Ariyo hingga membasahi tubuhnya. Laki-laki itu seperti tidak mempedulikannya. Seperti robot, Adiana masuk ke dalam sedan hitam tersebut.
Tidak beberapa lama Ariyo sudah menyusulnya ke dalam dan sedan hitam tersebut segera meluncur di jalan raya.
"Rumah loe di mana, Di?" tanya Ariyo singkat.
Adiana berusaha menyembunyikan perasaan tidak enaknya. "Oh... Rumah gue di Bintaro. Nanti gue turun di tempat terakhir yang searah sama loe aja."
"Gue tidak suka mengerjakan sesuatu setengah-setengah. Gue akan mengantarkan loe sampai ke rumah. Beritahu saja jalan yang biasa loe lewati, biar kita tidak tersasar." Ariyo menoleh sekilas ke arah Adiana dan melihat wajahnya yang menyiratkan perasaan tidak ingin merepotkan. "Dan lagipula rumah gue juga dekat daerah itu, jadi kita memang searah."
"Oh ya sudah... Kalau begitu gue terima tawaran loe. Terima kasih ya."
"By the way... Hujan begini kenapa tidak minta diantarkan Aditya?"
Adiana tersentak. Dia memandang Ariyo dengan rasa penasaran.
"Tidak perlu terkejut begitu. Kejadian di perpustakaan waktu itu... Sudah jelas kalau dia cowok loe."
Adiana berusaha bersikap biasa. "Nggak... Dia kan ngekos di sini. Akan terlalu merepotkan. Dan lagipula... Dia bukan cowok gue, kok."
Adiana tidak berbohong  karena memang mereka berdua belum memiliki status apapun.
"Hmm... Bukannya berhubungan dengan masalah di depan Aula tadi?"
Kali ini Adiana benar-benar tidak habis pikir dengan laki-laki ini. Adiana dan Aditya memang bertengkar tadi siang. Laki-laki itu mengungkapkan keberatannya karena merasa gadis itu lebih terlalu mementingkan teman-temannya dibandingkan dirinya. Masalah klise, tetapi cukup membuat mereka berdua saling beradu mulut dengan penuh amarah.
Pertengkaran itu memang cukup hebat, tetapi dia sama sekali tidak mengira bahwa akan ada orang yang melihatnya. Dan itu membuatnya tersinggung karena membuatnya merasa ada yang mencampuri urusannya.
"Itu bukan apa-apa." sahut Adiana berusaha menyembunyikan kekesalannya. Singkat dan dingin.
Ariyo berdecak sinis. "Loe nggak perlu kesal begitu. Gue tidak tahu ada masalah apa dan gue tidak peduli untuk tahu. Itu urusan loe sendiri."
Kalau begitu kenapa harus loe ungkit? pikir Adiana semakin kesal.
Selama beberapa lama tidak ada suara sedikitpun di dalam mobil itu. Kesunyian yang ada terasa lebih tajam dari pedang. Adiana sudah terang-terangan memalingkan wajah ke arah luar jendela.
"Hai..."
Adiana tersentak saat merasa ada yang menyentuh lengannya. Dia menoleh sambil berusaha menyembunyikan ekspresi marahnya—tidak terlalu berhasil dengan baik.
"Dengar... Gue..." Ariyo terdiam. Adiana melihat laki-laki itu seperti kesulitan untuk melanjutkan kata-katanya, seolah-olah apa yang akan dikatakannya bukanlah sesuatu yang sering diucapkannya.
Laki-laki itu berdehem. "Gue minta maaf... Maksud gue... Kalau kata-kata gue tadi sudah menyinggung perasaan loe, gue minta maaf. Gue terbiasa berbicara apa adanya. Jadi... Yah... Begitulah..."
Adiana masih merasa kesal dengan sikap Ariyo, tetapi melihat ekspresi wajah Ariyo yang meskipun tetap terlihat dingin tidak menyembunyikan salah tingkahnya, membuatnya merasa sedikit geli. Dia tertawa kecil sambil tetap berusaha mengendalikan dirinya agar apa yang dipikirkannya tidak terlalu terlihat.
"Apa yang lucu?"
Adiana menggelengkan kepalanya. "Tidak... Bukan apa-apa. Yah, sudahlah. Bukan sepenuhnya salah loe. Gue juga lebih sensitif hari ini." Adiana terdiam dan berusaha mengalihkan pembicaraan. "Ngomong-ngomong, kenapa loe tadi sampai mau turun dari mobil cuma untuk membukakan pintu mobil buat gue?"
"Well... Seandainya loe tadi langsung masuk begitu gue minta, gue tidak perlu melakukan itu. Tapi tampaknya memang itu yang diperlukan untuk bisa menyuruh cewek keras kepala seperti loe."
Laki-laki itu kembali sarkastik. Tetapi anehnya kali ini Adiana tidak merasa tersinggung dan justru ingin membalas perkataannya.
"Ya... Dan itu keluar dari mulut seorang cowok yang tidak mengerti arti kata-kata "tidak usah" dan malahan hujan-hujanan cuma karena keinginannya harus terpenuhi."
Kali ini Ariyo yang tersentak. Dia menatap gadis tersebut dingin. Untuk sesaat Adiana sudah bersiap-siap untuk turun dari mobil seandainya laki-laki itu meledak marah. Tetapi kemudian bibir laki-laki tersebut mulai melengkung dan menyunggingkan senyuman. Mau tidak mau dia juga ikut tersenyum geli.
Beberapa saat kemudian, suara tawa dari seorang laki-laki dan seorang gadis sudah memenuhi sedan hitam tersebut.

            Beberapa puluh kilometer dari sana. Pemakaman Joglo.
Gadis itu sudah berdiri di depan nisan itu selama hampir lima belas menit. Sebuah payung merah terbuka menutupi kepalanya. Hujan yang sebelumnya turun dengan deras sudah cukup mereda saat ini, meskipun masih menyisakan gerimis yang teratur. Sepatu hak rendah berwarna merahnya terlihat cokelat di beberapa tempat karena cipratan lumpur. Sepatu adalah salah satu hal yang paling dicintainya di dunia ini dan biasanya dia akan berteriak karena itu. Tetapi kali ini dia seolah tidak mempedulikannya.
Dia menunduk dengan khidmat berusaha meresapi dalam-dalam aura yang dipancarkan oleh kuburan tersebut. Pandangan matanya nanar menatap ke arah nisan batu marmer berwarna putih tersebut. Berkali-kali dibacanya sebaris nama yang terukir di nisan tersebut. Bahkan hingga saat ini, dia masih berusaha mengharapkan adanya keajaiban dan orang itu akan muncul di hadapannya. Tersenyum manis dan menyenangkan seperti biasa. Mengobrol dan bercanda seperti halnya yang dulu selalu mereka lakukan.
Harapan itu selalu berakhir dengan dia tersadar bahwa itu tidak akan terjadi.
Saat itu semuanya terasa begitu sempurna baginya. Dia dan orang itu bagaikan tidak terpisahkan. Tidak ada seorang pun di sekitar mereka yang tidak mengakuinya. Hingga seorang datang dan merebut semuanya dari dia. Awalnya tidak begitu terasa, tetapi lama-kelamaan dia menyadari bahwa mereka berdua sudah tidak lagi tak terpisahkan. Duet sempurna itu berakhir sudah.
Awalnya dia masih bisa bertahan. Hanya karena satu alasan. Dia belum pernah melihat orang itu merasa sebahagia itu. Karena itulah dia membiarkannya perlahan-lahan ditarik dari kehidupannya.
Tetapi kemudian terjadilah kejadian itu...
Gadis itu mengepalkan tangannya dengan keras. Tatapan matanya yang sebelumnya sayu kini berubah menjadi tajam menusuk. Bibirnya benar-benar membentuk garis tipis tanpa senyuman dan menghilangkan hal terakhir yang masih mempertahankan raut kebaikan di wajahnya. Untuk seorang gadis yang dianugerahi oleh kecantikan lebih, sungguh mengherankan saat ini tampangnya tidak berbeda dengan seekor harimau yang siap mencabik-cabik mangsanya.
Pikirannya kini melayang ke pemandangan yang dilihatnya sekitar satu jam yang lalu. Benar-benar murni kebetulan. Pagi tadi dia datang terlambat, sehingga tempat parkir di FKUI sudah terlebih dahulu penuh. Satu-satunya pilihan terbaik adalah memarkir mobilnya di lapangan parkir Rumah Sakit Carolus yang berbatasan dengan halte bus oleh tiang-tiang pagar besi berwarna hijau. Dan di situlah dia melihatnya.
Gadis itu semakin mengeraskan kepalannya, hingga kuku-kuku jari tangannya melukai telapak tangannya. Titik-titik darah menetes satu-persatu ke genangan air hujan di bawah sepatunya.
Dia masih berdiri di sana selama sepuluh menit kemudian, sebelum mulai setengah berlutut dan menempelkan tangannya yang berdarah ke atas gundukan makam di hadapannya. Dia mengucapkan beberapa kata tanpa suara, kemudian berdiri dan membalikkan badannya menjauhi makam tersebut.
                       
            Ariyo menyalakan komputernya dan memasang playlist Windows Media Player-nya. Tak lama lagu Whisper dari Unsun mulai menghentak keras di kamarnya. Setelah itu dia tidak repot-repot melepaskan kemeja dan celana panjangnya sebelum menghempaskan badannya ke atas tempat tidur. Tubuhnya terasa penat di berbagai tempat. Tidaklah mengherankan bila melihat fakta bahwa dia baru saja menyetir selama hampir empat jam menembus neraka kemacetan Jakarta. Tambahan satu jam didapatkannya sebagai hasil dari perjalanan dari Bintaro ke rumahnya.
            Laki-laki itu menatap lurus ke arah langit-langit dan memikirkan semua yang terjadi hari ini.
            Saat dia berjalan menuruni tangga untuk menuju ke Lobi Bawah FKUI, dia tidak sengaja melihatnya. Pertengkaran antara kedua orang itu tampak cukup hebat, meskipun dia tidak yakin apakah itu sebuah pertengkaran. Yang perempuan hanya lebih banyak diam, menerima apa saja yang dikatakan oleh yang laki-laki, seringkali dengan nada tinggi. Untuk sesaat dia bahkan mengira laki-laki itu akan memukulnya, meskipun akhirnya tidak terjadi apa-apa.
            Biasanya dia tidak peduli dengan hal tersebut. Dia sangat tidak suka mencampuri urusan orang lain, sama seperti ketidaksukaannya bila ada yang mencampuri urusannya. Tetapi, entah mengapa, dia justru menemukan dirinya bersandar di balik dinding di tempat yang tidak begitu terlihat dan mendengarkan semuanya. Meskipun dia tidak begitu memperhatikan apa yang menjadi masalah mereka karena dia terlalu fokus kepada keadaan gadis tersebut.
            Dia sudah terlalu banyak berhubungan dengan gadis tersebut selama beberapa hari terakhir ini. Kejadian dengan para pemuda pemabuk itu yang membuatnya berkorban darah, kue brownies yang diterimanya, dan kemudian kemarin saat dia membicarakan tentang anime bersama gadis tersebut di Perpustakaan. Semua kejadian tersebut terjadi hanya dalam waktu kurang dari seminggu.
Dia sebenarnya sangat menghindari hal ini. Dia tidak ingin terlibat dengan gadis itu lebih jauh lagi. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Seperti waktu di Perpustakaan, dia sebenarnya hanay berencana untuk mengembalikan tupperware pink itu dan pergi secepatnya, tetapi akhirnya dia malah duduk dan mengobrol hampir setengah jam bersama gadis itu.
             Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang menariknya. Sesuatu yang membuatnya tidak mudah untuk berpaling begitu saja seperti yang selama ini selalu dilakukannya. Sesuatu yang tak terjelaskan, tetapi cukup nyata untuk dirasakan.
            Itulah sebabnya dia tidak bisa menahan diri ketika melihat gadis itu meninggalkan laki-laki tersebut dengan terburu-buru. Dia tidak dapat melihat dengan jelas, tetapi dari gerak-geriknya tampaknya gadis itu berjalan dengan penuh emosional. Dia berusaha untuk tetap tidak terlihat dan terus memperhatikan gadis itu saat dia mengeluarkan payung putih dari dalam tasnya dan menggunakannya untuk menembus hujan keluar ke arah jalan raya.
            Tanpa berpikir panjang, dia segera berlari menuju Honda Civic hitamnya, tanpa mempedulikan rambut dan pakaiannya yang basah oleh air hujan. Tanpa membuang waktu dia segera menjalankan mobilnya keluar dari tempat parkir FKUI menuju jalan raya. Begitu dia melihat seorang gadis berambut panjang dengan baju denim berwarna hitam dan rok panjang selutut berwarna pink dengan motif bunga, berdiri di depan halte bus Rumah Sakit Carolus, dia telah menemukan apa yang dia cari.
           
Ariyo masih memikirkan tentang apa yang dilakukannya hari ini saat lagu Unforgivable Sinner dari Lene Marlin mulai mengalun di kamarnya. Ekspresi wajahnya berubah menjadi tegang. Sinar matanya menunjukkan rasa bersalah.
Dia menggelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang. Sebelum lagu tersebut habis, sebuah keputusan sudah melintas di kepalanya.
Ini salah. Tidak seharusnya gue melakukan itu.
Ariyo mengepalkan tangannya dengan keras tanda keyakinan.
Gue harus menghentikan semua ini.
            

- (oleh @Satrio_MD )

No comments:

Post a Comment