Tentang 30 Hari Cerita Cinta

14 September 2011

Di Kota Kecil Itu #2: Tiba

David berdiri di depan pintu gerbang terminal Greenville dengan wajah kesal.

Mengapa dia bisa ketiduran selama perjalanan yang hanya membutuhkan sekitar tiga jam ini? Dia belum sempat menanyakan pada Florence kapan mereka bisa bertemu lagi, berapa lama Florence akan tinggal di sini, dimana tempat tinggalnya. Dia bahkan tidak menanyakan nomor ponsel Florence.

David memarahi dirinya dalam hati. Hingga akhirnya dia menghembuskan napas dengan jengkel. Waktu tidak dapat diputar balik. Dia hanya bisa berharap bisa bertemu Florence lagi.

Di kota sekecil Greenville, bisa saja aku bertemu dengannya. Mana tahu besok sudah bertemu.

Sambil menghibur dirinya, David mengeluarkan ponsel dengan maksud untuk menghubungi kakeknya. Dia harus memberikan kabar bahwa dia sudah sampai di Greenville.
           
            Tetapi, begitu dia membuka flap, gerakannya terhenti. Sekujur tubuhnya membeku. Dia tidak percaya betapa cerobohnya dia sampai lupa menanyakan nomor telepon kakek.
           
            Menghubungi orang tuanya bukan opsi yang bagus. Dia pasti akan diomel habis-habisan. Mood David sekarang tidak dapat menanggung beban seperti itu lagi.

            David berdiri sambil mengernyit. "Ku rasa kakek tidak pindah rumah," gumamnya.

            David melihat ke sekeliling. Di dekat gerbang masuk berdiri seorang petugas yang sedang menatapnya dengan pandangan aneh. Pada saat itu juga David mengurungkan niatnya untuk bertanya.

            "Iya, ku rasa kakek tidak pindah rumah," kata David pada dirinya sendiri.

            David menyeberang dan mulai menelusuri jalan kota kecil yang cukup ramai itu.

            Arah jalan menuju rumah kakek masih sama. Untunglah pemerintah setempat tidak mengubah jalannya.

Meski begitu, perubahan-perubahan kecil tetap ada. Bangunan-bangunan tampak lebih modern. David berjalan sambil menikmati pemandangan kota Greenville.

Tiba-tiba David teringat sesuatu dan mempercepat langkahnya. Tidak jauh dari tempat dia berada, ada sebuah toko roti. Toko roti favorit David. Menurutnya roti-roti yang dijual adalah yang paling lezat sedunia.

Kalau berdasarkan ingatannya, seharusnya setelah tikungan di depan. David mengernyit sebab merasakan sesuatu yang janggal. Tidak ada aroma roti.

Jangan-jangan…

Persis seperti dugaan David. Toko roti itu sudah tidak ada. Yang menempati bangunan merah ini adalah sebuah toko baju anak-anak.
           
            Tempat bermain di seberang juga sudah tidak ada. Sebuah rumah besar berdiri di atas tanah yang cukup lapang itu.
           
            Pasti orang super kaya yang mampu mendirikan rumah seperti ini, batin David.

            Bangunan itu dikelilingi pagar tembok tinggi bercat putih. Pintu pagar hitamnya juga hampir setinggi tembok. Yang tampak hanya bagian atas bangunan saja.

            Bangunan putih yang sudut kanan depan dan kiri depannya berbentuk lingkaran. Gorden biru menutupi dindingnya yang hanya berupa kaca. Sebuah beranda lebar menghubungkan ke dua buah pilar raksasa.

            Saat perhatian David tersita oleh bangunan megah itu, sesuatu menabraknya. Untung saja dia tidak terjatuh.

"Hei!" sahut David sambil menoleh ke samping.

Si penabrak ternyata seorang gadis berambut hitam panjang yang sekarang sedang sibuk meminta maaf.
           
            "Tidak apa-apa." David mendecak lidah. Tidak mungkin dia marah-marah pada seorang gadis. Mempermalukan dirinya sendiri saja.

            "Benar?" tanya gadis itu. Kepalanya diangkat dan David bisa melihat dengan jelas raut wajahnya.

            Mata cokelat gadis itu menatap lurus pada David. Bibir bawahnya digigit dengan kuat dan keseluruhan ekspresinya menunjukkan rasa bersalah yang sangat.

            Dengan ekspresi tertegun, David mengangguk pelan.

            "Aku rasa aku mengenalmu," gumam David.

            "Kamu…" Gadis itu mendekatkan wajahnya, membuat jantung David berdebar lebih keras. "David?!" sahutnya dengan senyuman girang.

            Mata David membesar. "Gloria?"

            Melihat gadis di depannya mengangguk dengan semangat, senyuman David mengembang.

            Sambil mengobrol, kedua remaja itu menelusuri jalan Greenville. Begitu sampai di depan rumah Kakek Chris, langkah Gloria terhenti.

            "Sampai jumpa besok," kata Gloria. Tangannya memeluk sebuah buku.

            "Tidak perlu ku antar sampai ke rumah?" tanya David.

            "Sudah sampai." Gloria tersenyum sambil menunjuk pada bangunan persis di samping rumah Kakek Chris.

            Di depan rumah itu menggantung sebuah papan bertuliskan 'Gordon's Bakery'. David tersenyum tanpa sadar.

            "Ternyata kalian pindah ke sini. Ku kira ayahmu tidak menjual roti lagi," kata David. "Pantas aku mencium aroma roti yang begitu wangi sejak tadi."

            "Ayahku tidak mungkin berhenti membuat roti. Ingat kata-katanya?" ujar Gloria.

            "Roti yang lezat bisa mengubah hari yang buruk," ucap David dan Gloria bersamaan.

            David tersenyum melihat Gloria yang masuk ke rumahnya dengan langkah ringan.

Senang sekali rasanya bertemu dengan Gloria, anak gadis tukang roti favoritnya, teman masa kecil yang juga dapat dikatakan first crush David. Hanya saja waktu itu, tiggi badan Gloria hampir sama dengan David, bahkan mungkin lebih tinggi.

Sekarang David berdiri belasan cm lebih tinggi dari Gloria. Rambutnya yang pendek dipanjangkan hingga sebatas pinggang, dan dia juga terlihat lebih manis. Tetapi, satu hal yang tidak berubah. Senyumannya, wajahnya dan sifatnya tetap ceria seperti dulu.
           
            David berdiri di depan pintu rumah Kakek Chris, yang juga merupakan pintu masuk sebuah toko buku yang dikelola kakeknya sejak David belum lahir hingga sekarang.

           David menarik napas dalam. Daun pintu dicengkeramnya dengan kuat sebelum memutarnya untuk membuka pintu itu.

            Rak buku yang panjang di kiri dan kanan ruangan menyambutnya. David dapat mencium wangi masakan yang menebar ke segala penjuru dari balik pintu di sudut kiri ruangan. Perlahan David melangkah ke arah pintu itu sambil melihat ke kiri dan kanan.

            Sudah belasan tahun David tidak ke tempat ini. Hampir tidak ada yang berubah.

            "David!"

            Sebuah suara mengejutkan David. Dia segera menoleh ke belakang.

            Kakeknya berdiri di pintu dengan sebungkus roti di tangan.

            "Dari Paman Gordon di sebelah. Tadi kata Gloria dia bertemu denganmu. Dan si Gordon bersikeras aku membawa pulang roti ini untukmu," kata Kakek Chris sambil meninggikan roti di tangannya.

            "Kakek," gumam David.

            "Ayo ke dalam dulu. Aku sudah memasak banyak. Bagaimana perjalananmu?" Suara kakek semakin samar di telinga David seiring dengan langkah kakek yang membawanya ke ruangan di balik pintu itu.

            David masih berdiri di tengah toko, mengamati sekelilingnya.

            "I guess my holiday starts now," gumam David pada dirinya.



- (Oleh: @lid_yang - http://lcy-thoughts.blogspot.com)

No comments:

Post a Comment