Tentang 30 Hari Cerita Cinta

14 September 2011

Retrace #2: Prolog (pt. 2)

*Retrace: Prolog (pt. 2)*
Sebelum jam makan siang hujan sudah berhenti, namun suhu udara tetap dingin.
Aku dan beberapa jurnalis lain mendiskusikan pertanyaan apa saja yang harus
kami susun untuk *interview*. Jelas, ini bukan hal yang mudah karena *New
York Times *mempunyai nama besar di dunia.
Plus, aku yang akhirnya diutus untuk pergi ke tempat pertemuan di Café Lalo
pukul delapan malam.
*It's gonna be so interesting*.
Sebelum pergi, aku sengaja membawa kemeja flanel yang Dita pakai saat pergi
ke konser Tonight Alive; kemeja yang aku pakai juga di kencan rahasia
terakhir kami. *Well*, peluang untuk memberikan kemeja ini padanya mungkin
kecil. Tapi, siapa tahu aku dapat satu-dua menit untuk basa-basi dengan
Dita.
Café Lalo terletak di Upper West Side, Manhattan. Karena lumayan jauh dari
apartemenku, jadi kuputuskan untuk pergi ke sana dengan Chevrolet. Setibanya
di kafe, aku langsung tahu kenapa Dita ingin mengadakan *interview *di
tempat ini: dekorasi ala Eropa-nya yang klasik dan beberapa pohon rindang
yang menaungi jalan di depannya. Selain itu, dinding depannya juga bukan
berupa tembok, melainkan jendela-jendela panjang.
Asyik memperhatikan dari jendela mobil, aku lalu baru menyadari ada empat
jurnalis dari media lain duduk di meja dekat jendela-jendela panjang itu.
Mataku nanar mengamati mereka satu persatu, sampai kemudian seorang gadis
datang dengan *spring dress *bermotif batik berdiri dan tersenyum ramah
menyambut mereka. Kalau bukan *beanie *cokelat yang dia pakai...
Dita.
Seorang wanita paruh baya, yang kukira Jane Lynch, memperhatikan Dita dan
para jurnalis tadi di kursi yang terletak di ujung meja. *You know
what,*tinggal di New York memang akan membuat dunia semakin sempit;
entah sudah
berapa kali aku sering melihat beberapa aktor dan aktris Hollywood maupun
musisi berseliweran di jalan-jalan protokol atau kafe. Tapi, wanita itu
mungkin adalah salah satu orang dari pihak penerbit.
Karena terlalu lama duduk di dalam, aku menjadi gugup luar biasa saat akan
keluar dari mobil. Dua tahun aku menunggu kesempatan ini dan sekarang Dita
berdiri di sana – bahagia. Dia duduk di antara para jurnalis itu; sesekali
bicara, mengangguk-angguk, tersenyum, dan bagian favoritku adalah ketika dia
tertawa lepas. Telingaku seolah-olah bisa menangkap suaranya yang riang itu.
*Stop, *Ares! Profesional! Demi *New York Times!*
Tapi, ketika aku membuka pintu mobil, tanpa sengaja seorang pria terjatuh
dari arah berlawanan karena hampir menabraknya. Aku tersentak kaget dan
tanpa banyak pikir langsung mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri.
"*Are you okay?*" tanyaku hati-hati – siapa tahu dia akan langsung
menyemprotku dengan umpatan. Begitu melihat wajahnya, lagi-lagi aku mengira
baru menabrak seorang artis. Pria ini mengingatkanku dengan Landon Pigg,
hanya saja yang ini memakai kacamata.
"*I'm okay*, trims." Matanya membelalak lega karena *coffee cup *yang
tergenggam erat di tangannya tidak tumpah. Kemudian, matanya menoleh ke arah
Café Lalo. "Oh, nampaknya sudah dimulai."
Dahiku mengerut. "Apa.. Anda mendapat undangan rahasia itu juga dari pihak
penerbit novel *Athena's Diary*?"
Sejurus kemudian, dia melirikku. "*You too?*"
"Ya, *where are you from?*"
"Adrian H. Choi, jurnalis dari *Ohio Newspaper*," sahutnya datar. Dia
kemudian menaruh *coffee cup*-nya di atas kap mobil untuk mencari sesuatu
dari ranselnya. "Dita dan aku kuliah di tempat yang sama dulu dan, *well*,
aku yang membantu dia menerbitkan novelnya di sini."
O...ke. "*So, *Adrian H. Choi. *Interesting last name and *H *stands for?*"
Tangannya berhenti sejenak, lalu dia berdehem dua kali sebelum menjawab. "*I
got *Choi *from my Korean's step father* dan H... H *stands for *Hephaestus.
Argh, *I hate that*."
Aku menggigit bibir untuk menahan tawa dan membantunya dengan memegangi *coffee
cup *karena takut terjatuh dari kap mobil. Hmm, Hephaestus – si dewa pandai
besi Olympus yang sangat beruntung bisa menikahi Aphrodite. Mataku otomatis
melirik ke arah kafe lagi – Dita, kemudian pada Adrian di depanku.
Jangan bilang ini kebetulan!
Adrian masih sibuk membuka resleting-resleting ranselnya, sementara aku
mengendus aroma yang familiar dari *coffee cup*-nya. "Hmm, *hazelnut
coffee?!*"
"Favorit Dita," jawabnya tanpa mengalihkan perhatian. "Sebenarnya, aku harus
bertanggung jawab karena dulu, aku yang membuat Dita 'latah' menaburkan
berbagai kacang-kacangan giling di atas kopi."
Nuts about coffee*. Aku latah melakukan kebiasaan ini dari seorang teman di
Ohio. Dia suka banget naburin macam-macam kacang giling di atas kopinya.
Enak, lho!*
Aku kali ini benar-benar diam tertegun. Apa mereka berdua—
"ARGH, *SHIT! *Undangannya pasti ketinggalan!" umpatnya kesal dengan mata
tertuju ke dalam kafe. "Kalau wanita dari pihak penerbitan itu tidak ada,
aku pasti bisa menerobos masuk!"
Sebuah gagasan melintas dalam pikiranku. "Hei, Ad, pegang dulu!"
Adrian mengamatiku sambil memegangi *coffee cup*-nya. Oke, bilang ini gila,
tapi aku terdorong untuk melakukannya. Kukeluarkan undangan dan kemeja dari
ransel, lalu menyodorkannya pada Adrian. "Masuk!"
Matanya mengerjap kaget. "A-Apa? Ini serius?"
"Ambil sebelum aku berubah pikiran!" paksaku keras dan dia, meski ragu,
menerimanya. "Pastikan juga Dita menerima kemeja ini."
Alisnya bertaut, semakin penasaran. "Tunggu, sebenarnya... kamu siapa?"
Aku membalas dengan sebuah senyuman penuh misteri. "Dita akan memberitahu
kamu setelah menerima kemeja ini. *Keep my words*."
"Hei, tapi—"
Sebelum tergoda untuk mengambilnya lagi, aku buru-buru masuk ke dalam
Chevrolet dan pergi dari Café Lalo. Dari kaca spion, aku bisa melihat Adrian
yang sengaja memotret Chevrolet-ku, sebelum hujan menginterupsi dan
memaksanya berlari masuk ke dalam kafe. Aku jadi penasaran dengan eskpresi
Dita nanti. Tapi, begitu merasakan kedekatan Adrian dengannya, membuatku
berpikir untuk pergi secepatnya.
*I hope she'll send me something through email*.
***
Karena hujan turun semakin deras, aku memutuskan untuk berhenti dan berteduh
di sebuah *coffee shop*. Hmm, nampaknya baru dibuka karena begitu masuk, ada
spanduk dengan tulisan *GRAND OPENING** *tergantung di atas konter barista.
Tak lama setelah duduk di sebuah meja dekat jendela, seorang wanita berambut
pirang kecokelatan menghampiriku. Bukan, Ares, dia bukan Dianna Agron (ya,
meski memang mirip)! Bukan pelayan juga nampaknya, karena baju yang dia
kenakan terlalu resmi.
"Halo, selamat—" sapaannya terputus dan matanya tiba-tiba terbelalak kaget,
seolah-olah aku adalah buron yang sedang bersantai di kafe ini. Telunjuknya
terarah padaku. "A-Ares? Ares Dragness, kan? Pacar Fiona!"
Untuk sesaat, aku mengira dia tahu tentangku dari artikel di *New York
Times. *Tapi, bagaimana bisa dia mengenali wajahku?! Aku balas menatapnya
keheranan. "Ya, tapi, maaf... kamu siapa?"
"Oh ya, kamu pasti nggak akan ngeh denganku," gumamnya dengan tangan
terlipat di dada. Salah satu alisnya terangkat. "Ingat Fiona pernah
menitipkan mobilnya saat kalian akan pergi ke sini untuk nonton konser?"
AH! Aku ingat Fiona memang pernah menitipkan mobilnya pada seorang teman
saat itu. Tapi, tetap saja aku tidak mengenali wanita ini. "Ya, tentu aku
ingat. *But, still, I don't get the point*."
Tangannya kemudian terulur padaku. "Namaku Eris. Eris Branchwill. *In case
you didn't know, *Fiona sempat memberiku 'wasiat' untuk membangun
sebuah *coffee
shop *jika dia... tidak selamat dari pembunuhan itu. *She wanted to build a
coffee shop after got dating with you*."
Seketika itu juga, pikiranku langsung dibanjiri berbagai pertanyaan. Namun,
aku menahannya dan meraih tangan Eris – menjabatnya hangat. "*So, it's nice
to meet her friend, anyway. Thanks, *Eris."
"*Nice to meet you too. Well*, aku tahu kamu pasti punya banyak hal yang
ingin ditanyakan, jadi..." Dia menyerahkan kartu namanya padaku. "Mungkin
kita bisa membicarakannya nanti, kalau sedang tidak sibuk."
"*Sure*." Aku menilik kartu namanya sejenak - wow, jadi dia *owner
*dan *manager
*tempat ini. Kemudian, aku kembali menatapnya. "Umh, bisa pesan *cappuccino?
*"
Kepalanya terangguk. "Untuk seorang tamu spesial, tentu."
Eris lalu berbalik dan memerintahkan seorang barista untuk membuatkan
pesananku. Lalu, aku mengambil *notes *dan pena dari ransel untuk menulis
sebuah artikel. Sambil berpikir, sesekali mataku mengamati *coffee shop *ini,
sampai tanpa sengaja, bertemu kembali dengan pandangan Eris.
Kami tersenyum.
*Season's circle...*
*Like a spring, this season has bloomed something new*.
*I think that possibly, maybe I'm falling for you*
* Yes, there's a chance that I've fallen quite hard over you*
* I've seen the paths that your eyes wander down,*
* I wanna come too*
* I think that possibly, maybe I'm falling for you*
(*Falling in Love at a Coffee Shop * - Landon Pigg)
***


- (oleh @artemistics - http://acoffeelover.blogspot.com)

No comments:

Post a Comment