Tentang 30 Hari Cerita Cinta

14 September 2011

Elegi Purnama #2

"Selamat pagi Runny". Sebaris pesan muncul, Rengga tertulis di layar sebagai pengirim.

"Sarapan dulu Run, susu coklatnya di atas meja makan" suara Ibu mengingatkan. Aku malah sibuk menjadikan satu beberapa kertas calon rancangan policy and procedures transaksi yang akan dirilis bulan ini. "Iya Bu, sebentar". Jawabku pelan.

"Kak Runny, Ingga kapan dong diajak berenang bareng lagi sama temen-temen komplek? " desak Jingga, adik bungsuku.
"Kakak sibuk de', besok aja kita berangkat ke Bintaro. Ajak teman-teman sepeda soremu itu" sela Papah.
"Iya de', nanti kalo kakak ada waktu kita jalan-jalan ya", jawabku sambil mencium pipi gembilnya.

Kami tinggal berempat di sini, warisan rumah dari Eyang di pinggir Jakarta. Dua tahun lalu beliau meninggal dan karena hanya memliki anak semata wayang, Papah, kami sekeluarga akhirnya pindah dari kawasan Tebet.

Keluargaku sederhana, Ibu adalah kepala sekolah Taman Kanak-kanak yang memiliki koleksi puluhan mawar di taman depan dan seorang penulis. Sedangkan Papah, pemilik dua kios di Tanah Abang. Jingga, si bungsu berumur empat tahun. Dan aku, namaku Runny Anindita Senja. Ibu bilang, beliau melahirkanku saat langit sore memerah di ufuk barat. Dan kebetulan sedang menyelesaikan novelnya yang kelima berjudul Rona Sore.

"Run, kamu nggak usah berangkat ke BNN langsung dari Bogor malam ini. Pulang dulu, besok Papah antar".
"Nggak usah Pah, kebetulan nanti malam mau lembur. Jadi aku bisa langsung ke Bogor. Nanti dijemput Ningrum di stasiun".
"Ibu khawatir lho, kalo kamu pulang malem-malem sendirian. Bawa mobil sendiri ndak mau, piye tho". Ibu mulai ikut-ikutan menyela.
"Bawa mobil sendiri itu capek Bu, Jakarta macetnya nggak ketulungan. Aku pulang kan jalurnya masih 3 in 1". "Masa tiap hari nyewa joki terus" . Aku menyahut pelan sambil mengunyah nasi goreng.
Lima belas menit kemudian.
"Runny berangkat ya Bu, Pah. Assalamualaikuuuum. Dah ndut..". Kucium tangan Ibu dan Papah sambil menjawil pipi Ingga.

Melewati tiga undakan setelah teras depan, kutengok ke kanan. Puluhan mawar Ibu sedang berbunga. Ah, sosok sesempurnanya pastilah yang membuat Papah betah di rumah. Belum lagi koleksi anggrek di taman belakang. Masakan apa yang beliau tak bisa, semua dikuasainya. Dan tak pernah sekalipun beliau telat bangun. Kelak mungkin aku akan banyak berguru pada pengalaman hidup sampai sedetil-detilnya pada Ibu.

"RUNNY...!" Suara berat ciri khas vokalis musik rock terdengar bagai gong di telingaku. Sontak kupercepat langkah. Ah sial, sepagi ini jalanan masih sepi. Dan masih sekitar 200 meter menuju jalan besar.

Lengan putih dan kuat mencengkram lenganku. " Mau kemana lo, gw mau ngomong dulu!". Si pemilik suara meminta paksa. "Nih, gw balikin skripsi sampah lo!". Ia mengeluarkan benda tebal berwarna oranye.

"Aku nggak pernah ngajarin kamu untuk kasar Herry", kujawab dingin keinginannya sambil menepis tangan kasar itu menjauh.
"Lo sendiri yang bikin gw kaya gini. Gw hampir mati gara-gara sakit hati, tapi apa..peduli juga nggak lo!", hardiknya.
"Aku peduli, sampai kemudian kamu sendiri yang milih pergi".
"Aku minta maaf", jawabnya singkat.
Mudahnya maaf terucap, bahkan belum lima menit lalu ia melempar karya di mana namanya pernah tertulis dalam barisan ucapan terima kasih. Kusejajarkan sebaris nama seorang Herry Kurniawan dengan mereka yang paling berharga, keluargaku.
Matanya mulai memerah dan suara beratnya menjadi pelan. Ah ini dia, mengapa dengan 'perginya' serasa lepas semua beban. Laki-laki yang mudah merengek tak pernah menyentuh hatiku. Dua tahun kujalani status pura-pura dengannya membuatku tersiksa lahir batin. Memaksa kondisi fisik sering turun dan sebulan sekali berkunjung ke dokter. Berulang kali kuminta dengan sangat untuk melepasku adalah kesia-siaan. Ia begitu memaksa untuk hidup denganku nantinya.

Kutinggalkan sosok tampannya di tengah jalan, beberapa anak sekolah seperti menonton pertunjukan drama gratis. Pasti akan terlambat sampai kantor, kulirik jam tangan. Janji meeting pagi sepertinya akan menuai protes karena pemimpin project telat datang. Kuhela napas dalam-dalam. Di kejauhan kudengar suara motor besar mendekat dengan kecepatan penuh melewati jendela angkutan umum yang kunaiki.

Herry, aku mengeja namanya dalam hati. Dulu, aku pernah berjuang melewati malam penuh siksaan dengan banyak berdoa. Memohon padaNya agar sesegera mungkin diberi pengganti dirinya.

Handphoneku bergetar, satu sms masuk. Nama Rengga kembali muncul untuk kedua kalinya pagi ini. "Selamat beraktivitas, Runny". " Makasih yah, kam.. Belum sempat kuselesaikan sebaris pesan tiba-tiba, "Neng, neng.. Itu temennya bukan yang tadi lagi ngobrol?" Supir angkutan umum menunjuk keramaian beberapa puluh meter di depan mobilnya.


- (oleh @IedaTeddy - www.bungaliar.tumblr.com)

No comments:

Post a Comment