Tentang 30 Hari Cerita Cinta

14 September 2011

Rekam Imaji #2

Bumi...bertemu
denganmu, di sini, senja ini, ku rasa bukan sebagai temu yang ku harapkan
seperti dulu. Di jari manisku melingkar sebuah cincin beraksara, atas nama
Pelangi dan Langit. Tapi di hatiku tetap melingkar sebuah benang rindu berakar
pada namamu, imajiku...
Kemudian, kami berdiri kaku saling memandang. Sampai
kemudian Langit menemukan canggung di antara kami.
"Hai Pelangi...lama tak jumpa...".
Aku Cuma tersenyum. Mengangkat tangan. Pertama kalinya
jari-jari kami beradu, saling sentuh, dan saat itu...jam tidak lagi berbunyi
nyaring, tapi degup jantungkulah yang serasa menggema. Apa mungkin dua pria di
hadapanku mendengarnya?
"Oh! Kalian sudah saling kenal?"
"Dia...juniorku saat aku masih bekerja sebagai fotografer di
majalah."
Langit mengangguk, kemudian melirik jam tangannya. "Ah,
baiklah! Kalian berdua ngobrol-ngobrol dulu. Aku masih ada pekerjaan yang harus
diselesaikan. Kalian pastinya juga ingin melepas rindu."
Aku tercekat. Melepas rindu? Terdengar seperti sebuah
sindiran. Aku tahu tidak mungkin Langit menyindirku, apalagi ia tidak tahu dan
tidak terlalu ingin tahu siapa sosok pria dalam Rekam Imaji.
Ku pandangi Langit yang perlahan menjauh, ia sempat berbalik
dan meninggalkan senyum. Ah...tapi sungguh salah kalau ia meninggalkanku
bersama Bumi berdua seperti ini. Sedikitnya...aku menikmatinya...diam-diam
mengamatinya, sungguh seperti yang telah lalu. Sudut matanya yang tajam,
caranya memandang, kepulan asap yang berarak keluar dari bibirnya, aroma
tembakau yang seolah memaksaku kembali pada imaji yang ku ciptakan
sendiri,....rindu...
"Rambutmu...sudah panjang." Bumi membuka percakapan. Ia juga
sepertinya menyembunyikan resah.
"Emm, ya...kamu juga. Masih betah dengan rambut panjang."
Sama seperti dulu, Bumi sering kali mengikat rambut panjangnya, diikat cepol
tepatnya. Aku selalu mengatakan Bumi mirip tokoh-tokoh kerajaan Indonesia,
mirip sekali! Apalagi kini kulit coklatnya terlihat lebih gelap. Beda dengan
Langit yang berkulit putih, darah Tiong Hoa cukup kental bercampur dalam
dirinya.
"Iya...para gadis lebih menyukaiku begini."
Aku tersenyum. Candaan penuh percaya diri yang dulu sering
kali membuatku sekedar berdesis atau memasang wajah risih karena sebal.
"Kamu terlihat lebih dewasa."
"Bagus kan?"
Bumi mengangguk. "Yang seperti dulu juga bagus."
"Emm...aku tidak tahu kamu mengenal Langit. Dia sering
cerita tentang kamu, tapi tidak pernah menyebut namamu Bumi, atau
memperlihatkan fotomu."
"Begitu?...Mungkin dia takut kamu jatuh cinta sama
aku...haha...". Bumi memperhatikan cincin yang melingkar di jari manisku. Lalu
mendesah pelan... "Kami berkawan sejak SMA...seringnya menyukai hal yang
sama...".
"Ya, aku tahu...".
"Apa kamu juga tahu aku dan Langit sering menyukai perempuan
yang sama?" Mata Bumi kemudian membulat. Pertanyaan yang membuatku menatap
kedua bola matanya lekat, tak percaya... "Haha....aku bercanda."
Rasanya saat itu semua kembali seperti dulu. Ketika kami
masih berada di ruang yang sama, duduk di bangku yang berjejer, gurauan yang
sama.
****
Februari menjadikanku begitu bisu di antara ruang yang
layaknya pendingin. Berada dalam satu ruangan pendingin itu seperti hanya ada
aku dan kamu, kamu tahu? Sebenarnya kita, aku dan kamu, berada dalam ruang yang
sama dengan mereka. Tapi aku menjadi wanita dengan satu mata, yang hanya
tertuju padamu.
Bukan salahmu aku tergoda akan sapamu. Hanya sebatas
basa-basi, canda dan tawa. Memang biasa, yang tak biasa hanya aku, ya...aku
yang mulai tergoda atasmu. Diam-diam ku hapali caramu tertawa, sudut runcing
ketika kamu memandang, aroma tembakau campur wewangian, dan caramu berdiam
disibukkan dengan lajur waktumu.
Apa aku jatuh cinta ketika kemudian hatiku membuat ruang
tersendiri yang dipenuhi kamu?
Februari...masa yang begitu sempit untuk tahu kamu, dan kamu
yang hanya memberi petunjuk sebatas itu. Aku tahu masa itu tanpa ada
kemungkinan kita bisa lebih hanya sebatas basa-basi dalam satu ruang pendingin.
Salahku menikmatinya...salahku menikmati kamu...salahku membawamu bahkan ketika
aku sudah beranjak kembali ke kota di mana aku menjelajah.
Sebelumnya, ini adalah dunia yang aku impikan, sesegera
mungkin ketika lepas sudah dari masa yang disibukkan dengan buku, presentasi,
menyalin isi papan tulis yang membuat kantuk, ruang di mana bersama kawan lebih
ingat mengenai isi film dan majalah ketimbang seorang pria tua yang asyik
komat-kamit membacakan isi buku dan teorinya. Betapa aku membenci teori,
kumpulan pemikiran oleh tokoh yang ada sebelum aku lahir. Kisah mereka bagaikan
dongeng penghantar tidur yang buatku terlelap, duduk gelisah sembari memainkan
lajur waktu.
Dunia yang ku impikan ternyata ada kamu menjadi satu tokoh
di sana. Ibarat serial remaja, kamu adalah tokoh pria utama yang sok keren,
berjalan hanya menatap lurus ke depan. Sedang aku tokoh utama perempuan yang
biasa saja, tapi dengan segera jatuh cinta pada pandangan pertama. Kedengaran
bodoh, tapi ternyata rasa seperti itu benar-benar ada! Atau Cuma aku saja yang
pernah rasa? Atau karena seringnya perempuan itu jatuh cinta pada sosok pria
sok keren seperti kamu?
Kamu bilang aku seperti sosok pelajar SMA yang Cuma tahu
cara tertawa, menangis dan bermain. Oh, apa itu cara terhalusmu menyebutku anak
kecil? Tidak dewasa? Olala...usia kita hanya terpaut dua angka, apa isi otakmu
menjadikanmu lebih dewasa atasku? Ya sudahlah, nyatanya denganmu aku menikmati
sosokku sebagai anak kecil yang selalu kau goda.
Masih kamu yang bilang...dunia yang aku impikan ini, yang
untuk selama Februari ini ada kamu dan aku di dalamnya, adalah dunia penuh
warna. Sekali aku salah menjejak, warnaku akan bercampur dengan warna-warna
lain, dan tidak menutup kemungkinan bukannya menjadi warna baru yang indah
malah menjadi kusam dan pudar. Apa kamu telah memudar, Bumi? Begitu tadinya aku
ingin bertanya...tapi urung...
Berbagai sosok perempuan yang aku lihat di sana berwarna
sama dengan taburan kilau di atasnya. Indah, tapi mereka sama, warna mereka
hanya baluran pada topeng berwajah sempurna. Mereka hobi sekali mencicit dan
cekikikan, menilai semua dengan harga. Ku pikir mereka masih cukup baik karena
masih menyapaku. "Pelangi...Pelangi...ambilkan sepatuku, bawakan tasku, apa
warna merah membuatku terlihat menggairahkan?, apa warna citrus ini tidak
terlihat terlalu remaja? Mereka lebih cocok untukmu!" Lalu cekikikan lagi, tak
lama mencicit.
Mereka diperlakukan seperti Ratu. Dalam salah satu ruang
yang memiliki banyak meja kaca, dibingkai banyak bohlam lampu, mereka seringnya
duduk di sana. Sapuan kuas menggores warna-warni di atas kulit yang bak
porselen, tanpa noda, tanpa gores. Setelahnya mereka akan dibalut pakaian
dengan harga selangit. Gaun-gaun koleksi terbaru yang ingin ku miliki semuanya!
Mereka memakainya bergantian, berkilau, diterpa lampu-lampu yang juga menyala
bergantian.
Mungkin hanya pada saat itu kamu bisa memerintah mereka,
melakukan ini dan itu. Mereka tidak keberatan, mereka dibayar untuk itu.
Perempuan dengan 1001 wajah di depan lensa, 1001 wajah yang tercetak di atas
kertas glossy.
"Cantik?" Tanyamu padaku.
"Iya." Jawabku singkat.
"Jadilah perempuan dengan 1000 topeng kalau ingin begitu."
"Hemm...apa harus menjadi cantik yang begitu itu?" Kemudian
aku diam. Berdiri di depanmu dan sebentuk kamera yang kamu sebut kekasihmu.
SPLASH! TIIIITTT! Seketika lampu-lampu membidik ke arahku.
Aku tak berkedip. Karena saat itu, untuk pertama kalinya kamu menatapku lama.
Tepat di mataku. Mataku dan matamu beradu, tapi kita sama-sama bisu.
****
"Aku duluan....". Bumi menatapku dengan tanya. "Kalau Langit
datang, bilang saja aku di tempat biasanya. Ia tahu di mana bisa menemukanku."
"Dan aku...di mana aku bisa menemukanmu?"
Aku terdiam...apa ini hanya sebuah canda seperti biasanya
Bumi? "Kalau kamu benar mencariku, kamu pasti akan menemukanku...".

"Kamu tau? Yang namanya resah tentang kamu tiap hari ku lalui, cukup
sendiri, karna kamu berada di antara ruang imaji yang ku ciptakan sendiri..
Mengenal kamu yang
sepertinya hanya melihatku dalam ruang dinding pilu berpelitur kasmaran ,
sebagai karya imaji tanpa ruas pembatas…
Kamu yang mengatur
begitu banyak bias, menggenggam rasa yang tak pernah benar-benar kamu kenal,
hanya sebatas imaji...
Lantas, aku terlalu
memiliki banyak potongan polaroid dalam warnamu yang hanya ada 'sedikit' kamu
di dalamnya...
Cukup sebatas ini,
yang tersedia dalam rangsangan tua yang membentuk pola satu hampa, imaji …
Mengenalmu, seperti
menimang pasir yang disediakan dalam imaji , sesaat…
Membencimupun hanya
sebatas imaji , karna aku terlanjur menikmati..
Menjadikanmu
kekasih, sebatas imaji…"

"Berlari dari masa lalu tidak akan menjadikan hidupmu lebih baik...".
Perempuan tua yang ku sebut bunda meletakkan secangkir teh di atas lantai kayu
tempatku terduduk memaku. Bersandar pada pada dinding, memandangi pepohonan
rindang yang bercumbu dengan langit senja.
"Bukan lari...bukan masa lalu...dia hanya imaji...".
"Benarkah?" Bunda kemudian meletakkan jam pasir yang dulu selalu ku
pandangi sambil termenung. Dulu...sebelum ada Rekam Imaji, di mana aku masih
menumpuk rindu.
"Seharusnya....". Jawabku mengambang.
"Aku tidak lagi mengaharapkan dia datang lalu mengklaim rindu itu
atasnya bunda...aku tidak lagi mengharapkan temu karna yang aku tahu, tiap temu
aku mengaharpkan lebih dari sekedar rindu... ku pikir Rekam Imaji akan menjadi
rumah...tapi rumah tanpa tuan apa artinya bunda?"
Ku biarkan semua resah tumpah ruah dalam bulir air mata. Saat itu aku
tersadar, aku masih tersiksa rindu. Kebersamaan yang ku buat bersama Bumi
mungkin hanya ada dalam imajiku belaka, tapi kehadiran Bumi dalam hidupku,
kehadiran rindu itu adalah nyata.
Aku tidak mengharapkan temu bukan karena tidak ingin, tapi karena
takut akan menghasilkan rindu yang lebih menyiksa, akan semakin membuatku
terobsesi dengan temu selanjutnya. Kembali menjadi pemburu waktu, memburunya di
antara lajur waktu. Lelah...aku lelah seperti itu! Lajur waktu bahkan tidak
dapat mengobati rinduku! Malah membuatku semakin ingin tahu!
"Selalu kembali pada pilihan...kembalilah bersahabat dengan pilihan
Pelangi...semakin berlari, semakin waktu mempersempit jarak. Hentikan permainan
aksaramu...Bumi bukan sekedar aksara dan imaji..dia nyata...".
"Aku tahu...". Masih di sela isak tangisku, "aku menyentuhnya
bunda..jemari ini beradu, aku menghirup aroma tembakau yang sama seperti dulu,
menatapku...".
"Katakanlah Pelangi...katakanlah bahwa rindu yang berakar pada namanya
itu nyata...".
Ku tatap bunda lekat. Haruskah? Tidakkah ini akan semakin menyulitkan
rasa yang tengah ku bangun untuk Langit? Tidakkah nantinya akan membuatku
kembali jadi perempuan peragu?
"Cinta itu bukan hanya tentang belajar mencintai...tapi juga ikhlas
menerima keberadaannya."


- (oleh @NadiaAgustina - http://kekasihsenja.tumblr.com)

No comments:

Post a Comment