Tentang 30 Hari Cerita Cinta

14 September 2011

#2: Stay Alive

Esok harinya...
Rintik hujan yang lembut jatuh, membasuh daun-daun yang telah lebih dulu dibasahi embun. Pagi ini aku berangkat lebih awal dari biasanya. Membawa serta payung biruku, berharap warnanya bisa membuat matahari ingat untuk muncul kembali.
Sesampainya di kampus, dengan sengaja aku tidak langsung masuk ke dalam kelas. Aku memilih berhenti di halte terdekat dari gerbang fakultasku. Duduk berdiam sembari memandangi hujan. Menunggu seseorang datang dari kejauhan.
Hampir setengah jam duduk di sana dan hujan pun telah berhasil mengeringkan dirinya. Akhirnya sosok yang kutunggu pun muncul. Aku pun segera bangkit dan berlari menujunya.
"Pagi tampan!" Sapaku bersemangat. Tepat ketika ia hendak melangkah memasuki pintu gerbang.
Hari ini aku berdandan, mengenakan lipstick merah muda dan baju kuning tua untuknya. Jazzy sampai terjengkang dan sekarang aku sedang mencoba membantunya berdiri. Untuk pertamakali menggengam tangannya yang hangat. Walau sedetik berikut langsung dilepaskannya.
"Ka.. Ka.. Kamu? Kamu kuliah di sini? Tanyanya tergagap dan aku justru terlalu sibuk menatap rambutnya yang hitam lebat.
"Ka.. ka.. kamu ngapain di sini?" Kembali dia mengulang tanyanya dan lamunanku pun pecah. Dan buru-buru mencari jawaban di dalam kepalaku. Mungkin karena hari ini aku terlalu cantik dia jadi tidak sabaran. You wish!
"Sejak 2 tahun yang lalu tentu saja. Kita satu angkatan, satu fakultas, bahkan sempat satu ruang di kelas statistik." Jelasku setenang mungkin dan Jazzy hanya membuka mulutnya tanpa bersuara. Apa kubilang, aku memang terlampau cantik hari ini. Renda-renda di ujung rokku yang bilang begitu. Burung-burung pun setuju.
"Dan apa kau tau, aku sudah menyamakan semua jadual kuliah kita semester ini. And see, mulai sekarang aku akan menjadi.." Kalimatku kembali patah karena dia berjalan pergi meninggalkanku.
Hari itu sangat berat, semua teman-temannya memperolok-olokku. Aku pun harus banyak berlari, karena Jazzy selalu saja kabur dariku. Tentu saja aku tak mengeluh, aku tau Jazzy masih normal dan aku masih gila. Tapi mengertilah, bukan itu inti dari hal ini. Hal terbaik dari hari itu adalah aku bahagia secara utuh. Bahagia, karena nyatanya berani mengakui kebohonganku pada diri sendiri. Sekarang langkahku lebih ringan kutapaki, tak lagi perlu memikul beban yang melebihi kapasitas muatanku. Perasaan cinta yang kadarnya dapat membunuhku sendiri bila tak kuluapkan. Jika kalian merasakan yang sama, maka tak ada salahnya memilih untuk bahagia dengan lebih baik. Seperti aku.
I am free. And stay alive.
***
Kemudian hari...
Ini hari ketiga dan Jazzy telah mengusirku lebih dari 100 kali. Sebelumnya tak seburuk ini. Rekor pun pecah. Saat ini kami sama-sama duduk berhadapan di salah satu dari keramaian bangku kantin.
Sore menjemput mentari, peluh kulihat menyapa wajah Jazzy. Aku tau salah satunya karena lelah meladeniku. Seketika merasa tak tega padanya. Aku berinisiatif mengeluarkan tisu dari tasku, menariknya sehelai dan berniat mengusap keringat di keningnya. Tapi dia lebih dulu merebutnya dari tanganku.
"Sampai kapan akan seperti ini. Aku ngga mau kasar ke kamu. Tapi aku ngga bisa jamin itu gak akan pernah terjadi dilain hari." Dia mencoba mengatakannya selembut mungkin, dan aku menghargainya. Matanya, dari sana aku tau dia tidak suka dengan caraku. Tapi dia memang telah ditakdirkan menjadi pria baik hati.
Aku mencoba menyungginkan senyum segaris, "Yang kamu perlu lakukan adalah mencoba menyesuaikan diri dengan cintaku ini. Karena siapa yang bisa menjanjikan perasaan ini bisa dihentikan secepat yang kau inginkan? Berulang kutanyakan pada Tuhan pun, Dia tak kunjung menjawab. Baiklah pacar, aku kira cukup untuk hari ini. Besok kita ketemu lagi oke. Ini nomer teleponku, sebagai pacar yang baik kamu harus lebih sedikit peka. Hari ini kamu yang traktir ya, bye." Aku meninggalkannya sebelum dia mampu memberi komentar apa pun. Tidak siap mendengar, jika ternyata hal buruk yang keluar dari mulutnya.
***

No comments:

Post a Comment