Tentang 30 Hari Cerita Cinta

14 September 2011

Secret Past: Darah dan Kue


II
DARAH DAN KUE

            Salah satu dari sifat khas Adiana adalah ketidakmampuannya untuk mengatakan “tidak”. Dalam banyak kesempatan, hal ini membuat orang-orang menganggapnya sebagai gadis yang baik. Itu bukanlah sesuatu yang buruk. Tetapi terkadang orang-orang memanfaatkan hal ini terlalu jauh.
            Adiana menyeberangi jalan melalu zebra cross di pertigaan jalan Salemba. Dia tidak berlari, tetapi langkah-langkahnya dibuat secepat mungkin. Keadaan jalan terlihat sangat sepi, hanya ada beberapa mobil pribadi dan angkutan umum yang masih melintas. Tidak ada orang lain yang berjalan bersamanya. Saat dia melihat ke arah arlojinya—untuk kesekian kalinya—dia menemukan alasan yang bagus untuk keadaan itu.Lima belas menit sebelum tepat pukul sebelas malam.
            Gerak-gerik tubuhnya menunjukkan kegelisahan yang sangat kentara.
            Sebenarnya apa yang gue lakukan di sini?
            Saat Tari memintanya untuk menggantikannya hadir dalam rapat pembahasan anggaran rumah tangga Senat Mahasiswa FKUI, Adiana sebenarnya sudah ingin menolaknya. Pasalnya, menilik dari waktu dimulainya rapat dan isi dari rapat itu sendiri, dia tahu dia akan berakhir seperti ini. Tetapi toh akhirnya dia tidak bisa mengatakan “tidak”—seperti biasa.
            Pikiran Adiana kemudian mulai melayang ke bayangan sesosok laki-laki.
            Aditya. Apa gue minta dia mengantar gue saja?
            Aditya juga kos di tempat kos yang tidak jauh dari tempat Adiana. Ini membuat mereka berdua terkadang pergi atau pulang kuliah bersama, meskipun bukan menjadi suatu kebiasaan. Tetapi melihat waktu saat ini, dia akhirnya memutuskan bahwa itu akan terlalu merepotkan.
            Dia baru saja berbelok memasuki jalan kecil menuju daerah tempat kosnya, saat sesuatu mengusiknya.
            Apa itu?
            Adiana menoleh ke belakang. Tidak ada siapapun di sana—setidaknya tidak dalam jangkauan pandangannya. Gadis itu menggigil. Sebagian memang karena angin malam yang menerpa tubuhnya, sedangkan sebagian lagi karena dia merasa ada seseorang—atau sesuatu yang mengikutinya.
            Dia menggelengkan kepalanya dan kembali berjalan. Adiana sudah hampir bernapas lega saat dia dapat melihat tikungan terakhir menuju ke tempat kosnya, sampai dia melihatnya.
            Di salah satu sudut jalan, di sebuah pos keamanan kecil, tampak segerombolan pemuda yang sedangnongkrong di sana. Mereka berjumlah empat orang dan usianya tidak mungkin lebih dari 25 tahun. Dari yang terlihat oleh Adiana, mereka sedang bermain kartu—kemungkinan besar melibatkan judi, sambil saling berbicara dengan suara keras. Dan semuanya terlihat menghembuskan asap rokok dari mulut mereka.
            Adiana tidak mengenal mereka, tetapi ada satu-dua orang yang dia kenali wajahnya—dan bukan dalam suatu ingatan yang baik.
            Adiana adalah gadis yang cantik. Wajahnya yang manis selalu terlihat polos, menggambarkan kecantikan yang terbungkus oleh kesederhanaan. Rambut hitamnya yang panjang selalu tergerai dengan lembut tiap kali dia bergerak. Tubuhnya yang terbalut kulit putih memang tidak begitu berisi, tetapi terlihat proporsional untuk gadis seusianya.
            Sosok memesona yang walau dilihat dari jarak sepuluh meter pun masih tampak memancarkan kesempurnaan. Dan meskipun dia sendiri seringkali melupakan hal tersebut, banyak orang—terutama laki-laki—yang selalu siap mengingatkannya. Masalahnya tidak semuanya dalam perilaku yang sopan. Adiana sudah tidak dapat mengingat berapa kali dia mengalami godaan dari para pemuda yang dilaluinya tiap kali dia berjalan di sekitar tempat kosnya.
            Memang—untungnya—biasanya tidak ada yang terjadi. Godaan-godaan tersebut hanya bersifat verbal semata.
            Adiana sangat merasa jijik dan membenci semua itu. Tetapi bagaimanapun dia tahu bahwa membalas kata-kata mereka tidak akan mengubah apapun, selain hanya membuatnya semakin lelah. Karena itulah dia selalu melakukan hal yang sama tiap kali suara-suara tersebut terdengar olehnya—mengacuhkannya dan terus berjalan.
            Sikap tersebut selama ini telah terbukti berguna baginya.
            Tetapi selama ini dia hanya berada di luar tempat kosnya maksimal hingga sekitar jam sembilan malam. Itupun dia selalu ditemani oleh seseorang bila di malam hari, baik Aditya ataupun teman satu kosnya. Selain itu, pada jam-jam seperti itu, daerah di sekitar tempat kosnya masih cukup ramai oleh penduduk yang berada di luar rumah. Tidak ada yang sebodoh itu untuk berbuat macam-macam di depan orang banyak.
            Berbeda dengan sekarang, Saat ini jalan tersebut tampak remang-remang karena beberapa lampu jalannya telah rusak dan penerangan hanya berasal dari rumah-rumah yang berada di situ. Pada beberapa bagian bahkan adalah total kegelapan. Dan hal yang paling buruk adalah dia sendirian.
            Semakin dekat dia dengan gerombolan pemuda tersebut, Adiana dapat melihat beberapa botol kaca berleher panjang yang tampak bergeletakan di sekitar para pemuda tersebut. Meskipun dia tidak pernah mengonsumsinya, tetapi dia tahu bahwa itu adalah botol minuman keras.
            Adiana menarik napas sambil menarik tas pink bermotif bunga yang mulai melorot dari bahunya dan mempercepat langkahnya.

            “Eh, cantik! Kok sendirian aja malam-malam.”
            DEG!
            Adiana merasa seperti ada yang memukul jantungnya secara mendadak saat mendengar suara laki-laki yang terdengar serak tersebut. Dia mencoba untuk tetap tenang dan mengacuhkannya sambil terus berjalan cepat.
            “Aduuhh, sombong banget sih. Sini dulu dong, ngobrol sama kita-kita.” Kali ini suara laki-laki yang bernada bas ganti berbicara.
            Secara bersamaan, Adiana mendengar bunyi-bunyi gesekan sandal dengan aspal jalan yang menuju ke arahnya. Secara insting ini membuatnya mulai berlari menjauh. Tetapi entah bagaimana, salah satu dari pemuda tersebut sudah berada di depannya dan menghalangi jalannya. Pemuda tersebut memiliki bekas luka di atas mata kanannya yang tampak kemerahan.
            “Mau kemana cantik? Dipanggil kok nggak nengok, malah lari.” sahut pemuda tersebut sambil menyeringai jahat.
            Di sebelahnya seorang pemuda yang mengenakan kaos tanpa lengan, sehingga kedua lengannya yang penuh tato terlihat jelas, mulai tertawa-tawa bersama dengan seorang pemuda berambut mohawk.
“Eh, Jon, ini toh cewek yang sering loe ceritain itu? Emang cantik banget ya orangnya. Hehehe...”
Yang menjawab adalah pemuda di belakang Adiana dengan piercing di alis kanan dan bibirnya.
“Yep! Gue bilang juga apa. Beneran kan cantik. Makanya gue nggak bosen-bosen nongkrong di sini, nungguin dia lewat. Lumayan buat cuci mata.”
Pemuda-pemuda tersebut tertawa terbahak-bahak seolah-olah apa yang baru saja dikatakan itu adalah sesuatu yang sangat lucu.
Adiana berusaha melepaskan diri dari kepungan pemuda-pemuda tersebut, tetapi tiap arah yang ditujunya tampak selalu tertutup oleh tubuh-tubuh mereka.
“Eit, eit... Mau kemana sayang... Ayo dong kita main-main dulu.”
Pemuda-pemuda tersebut sekali lagi tertawa-tawa sambil mulai mempermainkan dirinya. Saat itulah Adiana baru menyadari dirinya telah terkurung di tengah-tengah para pemuda tersebut. Selain rasa muak di hatinya, kepalanya juga mulai terasa pusing oleh bau alkohol yang tercium dari mulut masing-masing pemuda tersebut.
Adiana mendesah kesal—dan takut. Dia merasa ingin berteriak, tetapi dia tahu bahwa tidak akan ada orang yang menolongnya. Rasa individualitas dari penduduk di daerah tempat kosnya tersebut sudah mencapai titik dimana mereka tidak akan mau repot-repot keluar rumah untuk terlibat dengan masalah orang lain.
“Hehehe... Ayo sini, kemari kamu sayang...”
Pemuda dengan bekas luka di matanya memajukan tangannya untuk meraih salah satu bagian sensitif dari tubuh Adiana. Gadis itu menjatuhkan tasnya dan hanya dapat mengerutkan dirinya sambil menutup mata. Butir-butir air mata sudah mulai menggantung di kedua matanya.
Tolong... Siapapun...

BUK!
“Aduh!”
Pemuda dengan bekas luka itu mengaduh kesakitan seraya menarik tangannya dari Adiana dan meraba pelipis kanannya. Secara insting dia menoleh ke salah satu arah jalan yang tampak diselimuti oleh kegelapan.
“Siapa yang...”
Kata-katanya terputus saat sebuah benda sekali lagi menghantam dirinya. Kali ini tepat di tengah dahinya. Pemuda tersebut berteriak kesakitan sambil memegangi dahinya yang mulai mengucurkan darah segar. Saat dia menunduk ke bawah, dilihatnya sebuah batu hitam berbentuk oval berukuran sekepalan tangan tergeletak di samping kakinya. Masih ada sedikit noda darah di batu tersebut.
Seketika bagaikan dikomando, ketiga pemuda yang lain memusatkan perhatian ke arah jalan tersebut.
“Kelihatannya dia tidak mau bermain bersama kalian.”
Suara tersebut jelas suara seorang laki-laki. Terdengar tenang, tetapi terasa menusuk.
Awalnya tidak ada yang bisa melihat apapun. Hingga akhirnya tampak sesosok bayangan hitam mulai bergerak dan lama-kelamaan menunjukkan sosoknya.
Meskipun tampak buram karena air mata yang menutupi pandangan matanya, tetapi Adiana masih dapat mengenali wajah yang terlihat familiar itu.
Ariyo?

Laki-laki itu hanya berjarak beberapa meter dari mereka semua. Raut wajahnya tampak keras dan dingin. Kedua matanya menatap tajam ke arah pemuda-pemuda tersebut satu persatu.
Pemuda yang berdarah hidungnya itu kali ini sudah menegakkan tubuhnya kembali. Pancaran kemarahan jelas tergambar dari pandangan matanya. Dengan sedikit terhuyung karena pengaruh minuman keras, dia melangkah ke arah Ariyo. Begitu tiba di hadapannya, sebelah tangannya langsung menarik kerah kaos lengan pendek yang dikenakan laki-laki itu. Wajahnya didekatkan hingga tidak ada tiga puluh senti dari wajah Ariyo.
“Heh! Brengsek! Mau cari mati ya, loe?!” teriak pemuda tersebut dengan suara serak.
Pemuda tersebut lebih tinggi dari Ariyo, tetapi Ariyo justru mendongak dan balas menatap tepat ke kedua bola mata pemuda tersebut. Sama sekali tidak ada rasa takut sedikit pun di sana. Bahkan tatapan Ariyo yang menusuk tampak ganti mengusik kepercayaan diri pemuda itu sebelumnya.
“Bangsat! Apa maksud loe ngelihatin gue kayak gitu?!”
Pemuda tersebut berteriak sambil mengangkat tangan kanannya membentuk kepalan, siap mengayunkannya ke wajah Ariyo. Tetapi dia justru menerima kejutan yang tak terduga saat kepalan Ariyo sudah lebih dulu mendarat telak di wajahnya dan meremukkan hidungnya.
Dia kembali berteriak keras dan terhuyung ke belakang. Belum sempat dia berpikir apa yang terjadi, tubuhnya terasa ditarik ke bawah dan sebuah tendangan lutut menghujam keras ke ulu hatinya. Napasnya seketika terasa berhenti. Dan seolah masih belum cukup, beberapa tinju tangan kanan dan kiri kembali menghantam kedua pipinya dengan keras. Percikan darah terlihat menciprat dari mulut dan hidung pemuda tersebut saat dia terjatuh dengan keras ke atas aspal.
Ariyo memandang ke arah pemuda yang sedang tergeletak di bawah sambil menutupi wajahnya itu. Tangannya bersiap untuk menghajarnya kembali, tetapi mendengar rintihan kesakitannya, Ariyo menarik tangannya dan memutuskan bahwa itu cukup.
Dia berbalik kembali menatap ke ketiga pemuda yang lain. Saat ini salah satunya sedang memegangi lengan Adiana.
“Lepaskan dia atau...” Ariyo menunjuk ke arah pemuda yang baru saja dihajarnya tadi.
Pesannya cukup jelas.
Ketiga pemuda tersebut, yang sebelumnya hanya terdiam melihat temannya dihajar oleh seorang laki-laki yang tiba-tiba saja muncul dari dalam kegelapan, seperti disadarkan dari tidurnya. Alih-alih melepaskan Adiana, ketiga pemuda tersebut mulai menyumpah-nyumpah dan berteriak marah. Dua orang di antara mereka, pemuda berambut mohawk dan yang bertato mulai maju menyerang Ariyo.
Ini adalah perkelahian dua lawan satu dan salah satu dari pemuda tersebut bertubuh lebih besar dari Ariyo, tetapi mereka berdua sama-sama dalam keadaan setengah sadar karena minuman keras.  Dan seperti bisa diduga, tidak butuh waktu lama bagi Ariyo untuk menjatuhkan mereka berdua. Setelah dia menendang perut pemuda berambut mohawk yang sedang terkapar di atas aspal sebagai serangan terakhir, Ariyo segera mengalihkan pandangan ke orang terakhir. Pemuda ber-piercing yang sedang memegangi Adiana.
Ariyo menatap dingin ke arah pemuda tersebut dan segera melangkah mendekatinya.
Tetapi terlalu cepat untuk merayakan kemenangan.
Sebuah hantaman keras menghujam tengkuk Ariyo dari belakang dan membuatnya terjatuh ke depan. Kemudian tubuhnya ditarik dengan kasar hingga dia berdiri, sedangkan kedua tangannya terkunci di belakang punggungnya. Di hadapannya pemuda berambut mohawk menyeringai jahat ke arahnya.
“Loe udah cukup membuat kita repot ya. Sekarang giliran kita.”
Ariyo tidak sempat merespon kata-kata itu karena sebuah tendangan keras mendarat telak ke arah perutnya yang membuat Ariyo mengeluarkan suara tersedak. Sepercik darah kecoklatan menyembur dari mulutnya.
“Ariyo!”
Teriakan itu adalah suara pertama Adiana yang keluar selama perkelahian itu. Dia meronta-meronta berusaha melepaskan diri, tetapi cengkeraman pemuda ber-piercing itu sangat kuat. Dia hanya dapat melihat Ariyo mendapatkan pukulan bertubi-tubi dari kedua pemuda tersebut.
Saat mereka berhenti, wajah Ariyo tampak memar di beberapa tempat. Darah masih mengalir dari sudut mulutnya. Tetapi ekspresi wajahnya sama sekali tidak menyiratkan kesakitan. Bahkan dapat dikatakan ekspresi wajahnya tidak pernah berubah sejak pertama kali dia berkelahi.
“Hoo... Ternyata loe kuat juga ya... Baguslah. Kalau begitu kita bisa bersenang-senang lebih lama lagi.”
Ariyo tersenyum. Senyuman dingin.
“Apa yang...”
Tetapi pemuda berambut mohawk itu tidak sempat melanjutkan kata-katanya karena tendangan keras Ariyo sudah mendarat tepat di tengah-tengah selangkangannya. Menghancurkan bagian vital dari tubuhnya. Seketika seluruh tubuhnya terasa lemas dan dia hanya dapat berteriak sambil menjatuhkan diri ke aspal.
Ariyo kemudian menundukkan kepalanya semaksimal mungkin, lalu mengayunkannya sekeras-kerasnya ke arah belakang hingga menghantam wajah pemuda bertato itu dengan telak, menghancurkan hidungnya. Pemuda tersebut berteriak dan melepaskan kunciannya. Ariyo tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia segera memutarkan tubuhnya dan beberapa kali melayangkan pukulan ke wajah pemuda bertato tersebut.
Setelah dilihatnya lawannya sudah terjatuh ke aspal sambil merintih kesakitan, dialihkannya perhatiannya ke arah pemuda berambut mohawk yang masih berguling-guling kesakitan di aspal. Tanpa membuang waktu dia menginjak wajah pemuda tersebut dan membuatnya sepenuhnya terkapar tak berdaya.
Adiana dapat merasakan tubuh pemuda ber-piercing di belakangnya sedikit bergetar. Dia tidak dapat menyalahkannya karena hatinya sendiri juga diselimuti oleh ketakutan. Apa yang baru saja dilakukan Ariyo di hadapan mereka semua sudah cukup membuat gentar siapapun yang melihatnya. Tetapi lebih dari itu semua, ekspresi wajah dan tatapan mata Ariyo yang saat ini sedang mendekati dirinya terasa lebih menyeramkan dari semuanya.
Ariyo sekarang hanya berjarak sekitar semeter di hadapannya.
“Lepaskan dia...”
Singkat tetapi sudah cukup membuat pemuda tersebut melepaskan Adiana secara perlahan-lahan. Tanpa membuang kesempatan, gadis itu segera mejauhkan diri dari pemuda tersebut. Ariyo seolah tidak memperhatikan pemuda tersebut dan segera mendekati Adiana.
“Loe nggak apa-apa?”
Suara laki-laki itu terdengar khawatir, tetapi ekspresi dingin di wajahnya tidak berubah. Bahkan Adiana merasa dia menjaga jarak dengan dirinya.
Adiana menggelengkan kepalanya, tetapi suaranya masih terdengar bergetar. “Ng... Nggak apa-apa, gue baik-baik...”
            Pandangan Adiana yang awas melihatnya. Kilatan cahaya di tangan pemuda ber-piercing tersebut.
“Ariyo, awas!”
Seketika Ariyo memutarkan tubuh ke arah pemuda tersebut dan dilihatnya pemuda tersebut sudah meghamburkan dirinya ke arahnya. Dia segera berespon menghindar, tetapi tidak cukup cepat.
Pisau itu menggores tajam lengan kanannya.
“Hentikan! Sudah cukup!” teriak Adiana memohon.
Tetapi pemuda tersebut tidak mempedulikannya dan terus menyerang Ariyo. Tetapi kali ini Ariyo sudah lebih siap. Dengan sigap dia menghindar ke samping dan dengan satu gerakan dia menendang perut pemuda tersebut. Hampir bersamaan dia mendorong tangan yang sedang menggenggam pisau tersebut ke arah pemuda itu sendiri. Satu tusukan dalam segera menghujam ke bagian tulang selangka kirinya. Teriakan kesakitan kembali menghiasi malam tersebut—entah untuk keberapa kalinya.
Ariyo kemudian memukul jatuh pemuda tersebut dan dengan cepat menindihnya dengan lutut. Setelah memastikan lawannya sudah tidak berdaya, dicabutnya pisau yang menancap di tubuh pemuda tersebut. Darah segar segera mengalir dari lubang yang ditinggalkannya—dan tidak sedikit.
Ariyo menempelkan mata pisau itu ke leher pemuda tersebut. Suaranya dingin dan tegas.
“Pergi sekarang juga... Atau yang berikutnya akan lebih buruk.”
Pemuda tersebut bergetar merasakan dinginnya bilah pisau di kulit lehernya. Dan bila itu belum cukup meyakinkannya, tatapan Ariyo yang penuh kesungguhan membuat pemuda tersebut menyadari bahwa laki-laki ini tidak main-main. Dia dapat berbuat lebih jauh lagi daripada ini.
Pemuda itu menganggukkan kepalanya dengan gugup. Ariyo melepaskan tindihannya dan membuang pisau tersebut ke selokan. Pemuda tersebut membangunkan teman-temannya yang masih terlihat kepayahan dan memaksa mereka semua pergi dari tempat itu. Tidak ada satupun dari mereka yang menolak.
Ariyo dan Adiana memperhatikan kawanan tersebut hingga mereka hilang dari pandangan.
Laki-laki itu kemudian mengalihkan pandangan ke arah gadis itu dan berjalan ke arahnya. Adiana hendak mengucapkan sesuatu saat laki-laki itu melewatinya begitu saja. Gadis itu terdiam dengan perasaan bingung. Saat dia membalikkan badan, dilihatnya Ariyo sedang berlutut di atas aspal sambil memasukkan kertas-kertas dan beberapa buku yang berserakan di jalanan ke dalam sebuah tas pink.
Tertegun beberapa saat, Adiana kemudian tersadar dan segera ikut membereskan barang-barangnya.
“Eh, Ariyo... Biar gue saja.”
Ariyo tidak berkata apapun dan tetap membereskan barang-barang milik Adiana. Dia bahkan seperti tidak mengacuhkan kehadiran gadis itu. Adiana yang tidak tahu harus berkata apa lagi, akhirnya juga memilih untuk ikut diam.
Setelah selesai, Ariyo berdiri sambil mengangkat tas pink milik Adiana di tangannya.
“Terima kasih...” jawab Adiana dengan canggung seraya ikut berdiri.
Selama beberapa saat tidak ada satupun di antara mereka berdua yang berbicara, sebelum akhirnya Adiana memecahkan keheningan tersebut.
“Ngg... Kalau begitu gue duluan ya, Yo. Dan... Terima ka...” Adiana menyorongkan tangannya untuk mengambil tas miliknya dari tangan Ariyo.
“Loe mau kemana malam-malam begini?”
“Eh?” Adiana menghentikan tangannya.
Adiana melihat Ariyo sedang menatap ke arahnya. Ekspresi wajahnya tetap dingin, tetapi matanya menunjukkan dia menunggu jawaban dari gadis itu.
“Oh, nggak... Gue cuma mau pulang ke kosan. Tadi abis dari kampus...”
Ariyo menarik tas pink itu menjauh. “Gue antar loe sampai ke kosan.”
Adiana tersentak sedikit terkejut. “Eh, nggak usah, Yo. Loe nggak usah repot-repot. Kosan gue udah dekat dari sini, kok. Biar gue sendiri aja.”
Adiana mencoba sekali lagi mengambil tasnya dari tangan Ariyo, tetapi laki-laki itu justru menariknya semakin menjauh. Kemudian dia melambaikan tangannya ke arah kawanan pemuda tadi pergi menjauh.
“Loe mau mengambil resiko mereka akan datang lagi?”
Adiana terdiam mendengarnya. Dia merasa sudah sangat merepotkan Ariyo, tetapi di sisi lain dia membenarkan perkataan Ariyo dan dia juga takut kejadian tadi akan terulang kembali. Akhirnya dia menemukan dirinya berjalan berdampingan dengan Ariyo.
Meskipun hanya beberapa ratus meter, tetapi tanpa kata-kata sedikitpun perjalanan ini terasa seperti bertahun-tahun lamanya. Ariyo bahkan tidak sekalipun menoleh ke arah Adiana sembari mereka berjalan. Dan meskipun merasa bersalah, tetapi Adiana jelas merasa senang saat mereka berdua sudah berada di depan sebuah rumah besar bertingkat dua dengan pagar berwarna hijau.
 “Sudah sampai, Yo. Ini kosan gue.”
Ariyo tidak berkata apa-apa dan menyorongkan tas pink milik Adiana ke hadapannya.
Gadis itu menerimanya dengan canggung. “Terima kasih.”
Laki-laki itu hanya menganggukkan kepalanya dan sudah hendak membalikkan badannya untuk pergi.
“Ariyo tunggu!” Adiana menahannya. “Err... Terima kasih... Atas apa yang loe lakukan tadi. Loe sudah menolong gue. Kalau nggak ada loe...”
“Keluar malam-malam begini adalah perbuatan ceroboh untuk seorang cewek. Kalau nggak terpaksa jangan keluar malam-malam.”
Adiana hanya dapat. menganggukkan kepalanya.
Tiba-tiba gadis itu menyadari sesuatu yang dilihatnya. Aspal jalan di bawah tangan kanan laki-laki di hadapannya terdapat sebuah genangan kecil yang makin membesar. Meskipun cukup gelap, tetapi Adiana dapat melihat genangan itu berwarna merah.
Adiana tidak habis pikir mengapa dia baru memperhatikannya sekarang.
“Ariyo! Tangan loe... Itu butuh pengobatan.” teriak Adiana seraya mendekat ke arah Ariyo. Tetapi laki-laki itu segera mundur menjauh sambil menatap tajam.
“Tidak perlu. Ini bukan apa-apa.”
“Tapi Yo... Lukanya harus cepat dibersihkan dan ditutup.”
“Gue bilang tidak apa-apa!”
Adiana tertegun melihat betapa hebatnya sikap penolakan dari Ariyo. Selain itu tatapan matanya mengingatkannya kembali ke tatapannya saat menghajar pemuda-pemuda tadi. Gadis itu menelan ludah dengan rasa takut dan mengumpulkan keberaniannya untuk memanggilnya sekali lagi.
“Ariyo...”
“Kalau begitu, gue pergi sekarang.” Laki-laki itu segera membalikkan badannya dan berjalan tanpa sekalipun menoleh ke belakang.
Tanpa mengatakan apapun, Adiana hanya memperhatikannya pergi menjauh hingga punggung laki-laki tersebut hilang dari pandangan
 

Ariyo menghempaskan badannya di sofa cokelat panjang yang berada di teras luar Perpustakaan FKUI lantai dasar. Sambil menghela napas, Ariyo merogoh ke dalam salah satu kantung celana jeanshitamnya dan mengeluarkan sebuah Ipod berwarna silver. Dalam beberapa detik dia sudah bersandar sambil mendengarkan alunan musik dari Within Temptation—band Gothic/Symphonic Metal asal Belanda.
Dia menyentuhkan tangannya ke sebelah pipinya dan sedikit meringis saat rasa sakit masih menjalar di wajahnya, meskipun tidak seberat kemarin-kemarin. Dia sudah menghabiskan berkantong-kantong es batu untuk mengompres wajahnya selama tiga hari terakhir, tetapi memar-memar dan luka yang bersarang di wajahnya masih cukup jelas terlihat. “Tanda-tanda kemenangan” atas apa yang dilakukannya tiga hari yang lalu.
Ariyo sudah lelah menghadapi pertanyaan dari orang-orang tentang apa yang terjadi dengan dirinya, meskipun seperti biasa dia hanya menanggapinya dengan dingin dan sinis, tanpa memberitahukan apapun. Meskipun begitu masih ada dua orang yang sampai hari ini masih juga tidak menyerah untuk mengorek keterangan tentang apa yang terjadi pada dirinya. Kedua orang yang paling dekat dengan dirinya selama ini.

Erlangga Rahmadinata dan Aldian Wibowo. Mereka berdua tampak hampir tidak pernah terpisahkan dengan Ariyo. Mereka bertiga telah bersahabat dekat sejak mereka berada dalam satu kelas di kelas sepuluh SMUN 8. Kepribadian mereka bertiga sebenarnya cukup bertolak belakang. Erlangga adalah seorang laki-laki yang sulit untuk bersikap serius dan hampir tidak pernah terlihat marah. Laki-laki yang terkenal sebagai pelawak di antara anak-anak yang lain, meskipun seringkali candaan yang keluar dari mulutnya bersifat sarkastik, sehingga membuat orang lain terkadang merasa sakit hati. Sedangkan Aldian, di antara mereka bertiga mungkin adalah yang paling naif dan lugu, tetapi juga sekaligus paling rajin dan pandai. Dia sebenarnya termasuk anak yang pendiam, tetapi bila bersama dengan kedua sahabatnya sifat pendiamnya itu seketika menghilang.
Secara umum mereka berdua adalah orang yang lebih “hangat dan ceria” bila dibandingkan dengan Ariyo, tetapi bahkan dengan segala perbedaan tersebut, kenyataan bahwa mereka bertiga sangat dekat dan tidak terpisahkan sudah menjadi hal yang diakui oleh seluruh orang yang mengenal mereka.

Tetapi meskipun kedua orang tersebut adalah sahabat terdekat Ariyo, bukan berarti dia mudah terbuka dengan mereka berdua. Selama tiga hari dia terus bertahan dengan kata-kata “kecelakaan di rumah” sebagai jawaban atas apa yang terjadi dengan wajahnya. Sebuah alasan yang jelas tidak dengan bodohnya diterima oleh kedua sahabatnya tersebut, dan Ariyo menyadari itu, tetapi dia tetap tidak mengubah jawabannya.
Ariyo tersenyum sinis membayangkan semua kekonyolan tersebut seraya memejamkan mata dan menaikkan volume Ipad-nya. Tepat saat lagu “The Darkest Winter” dari Sonata Nocturna di telinganya mencapai bait terakhir, sebuah tepukan ringan di bahunya membuatnya segera tersentak membuka mata dengan sikap seperti siap menyerang apapun yang berada di hadapannya.
Adiana Larasati berdiri di hadapan Ariyo dengan wajah takut. Laki-laki itu menatapnya selama beberapa detik sebelum melepaskan earphone yang melekat di telinganya.
“Maaf... Gue mengagetkan loe ya?” tanya Adiana perlahan.
Ariyo tidak segera menjawab, melainkan terdiam sambil terus menatap gadis tersebut tanpa ekspresi, sebelum akhirnya merespon kata-kata Adiana.
“Tidak apa-apa... Kelihatannya gue juga tidak jauh berbeda.”
Adiana tersenyum kecil, meskipun tampak dipaksakan. Ariyo sendiri masih tetap tidak berekspresi. Gadis itu tampak ragu-ragu sebelum akhirnya menunjuk ke sofa di sebelah Ariyo.
“Boleh gue duduk di situ?”
Ariyo menoleh ke arah sofa yang kosong di sebelahnya dan wajah Adiana secara bergantian. Kemudian tanpa mengatakan apapun, dia menggeser posisi duduknya untuk memberikan tempat bagi Adiana.
“Terima kasih.” kata Adiana sambil duduk di samping Ariyo.
Selama beberapa saat tidak ada satupun yang berkata-kata, hingga Adiana yang berinisiatif mengomentari hal pertama yang terlintas di pikirannya.
“Loe sudah nggak apa-apa, Yo? Wajah loe kelihatan masih sakit... Dan lengan loe...” sesaat Adiana tampak hendak menyentuh lengan kanan Ariyo yang tertutup perban di bawah Polo Shirt yang dikenakannya, tetapi tidak jadi dilakukannya.
“Ini? Tidak apa-apa. Ini tidak seburuk kelihatannya. I’ve been worse...”
Adiana tidak membantah, tetapi dia tahu bahwa luka-luka itu seburuk kelihatannya. Tanpa bisa dicegah ekspresi kekhawatiran bercampur rasa bersalah sudah terbentuk di wajahnya.
Well... Sudah selesai? Hanya itu?” tanya Ariyo—jelas-jelas ingin cepat mengakhiri percakapan.
            “Oh, nggak... Sebenarnya... Gue ingin mengucapkan terima kasih atas apa yang udah loe lakukan malam itu. Soalnya gue merasa gue belum berterima kasih sama loe secara resmi.”
Ariyo menghela napas panjang, “Sudahlah lupakan saja. Itu bukan apa-apa.”
Adiana memandang Ariyo tidak percaya, “Bukan apa-apa? Itu lebih jauh dari itu. Apa yang mereka lakukan... Seandainya loe nggak ada waktu itu mungkin...” Adiana terdiam sambil menelan ludah. “Gue bahkan nggak berani membayangkan apa yang akan terjadi.”
“Karena itu gue bilang lupakan saja.” Ariyo menatap Adiana dengan tajam. “Itu bukanlah suatu memori yang indah, jadi untuk apa disimpan apalagi dibayangkan? Lupakan saja.” tekan Ariyo.
“Ya... Mungkin loe benar. Lupakan ya...”
Tiba-tiba Ariyo berdiri sambil menarik tasnya, “Well... Kalau sudah tidak ada lagi, gue masih ada urusan, jadi...”
“Eh, tunggu sebentar!” seru Adiana sambil memegangi tas Ariyo—yang dengan cepat segera dilepaskannya. “Loe nggak perlu pergi. Gue sebentar lagi pergi, kok. Cuma... Mmm... Masih ada satu lagi...”
Ariyo tidak kembali duduk, tetapi dia memandangi Adiana dengan penuh tanda tanya. Gadis itu saat ini tampak sedang mencari-cari sesuatu di dalam tasnya. Setelah beberapa menit, Adiana tersenyum lega seraya mengeluarkan sebuah kotak tupperware berwarna pink transparan. Dengan sedikit gugup disorongkannya kotak tersebut ke hadapan Ariyo. Laki-laki itu tidak langsung menyambutnya, melainkan hanya terdiam tanpa reaksi.
“Apa... Ini?”
“Ini... Ngg... Gue harap loe nggak keberatan untuk menerima ini. Ini... Tanda terima kasih gue untuk loe.”
Ariyo berdecak sinis, “Sudah gue bilang itu bukan apa-apa. Loe nggak perlu...”
Adiana langsung menarik tangan Ariyo dan menjejalkan kotak tersebut ke atasnya. Dia sudah menduga sikap Ariyo ini dan tidak akan membiarkan pemberiannya ditolak begitu saja. Laki-laki itu tampak terkejut melihat sikap Adiana ini. Untuk sesaat dia tampak hendak menolak dengan keras, tetapi akhirnya dia menerima kotak tersebut tanpa berkata apa-apa.
Adiana bangkit dari tempat duduknya, “Mmm... Kalau begitu gue duluan ya, Yo.” Adiana menunjuk kotak pink yang digenggam Ariyo, “Itu boleh loe balikin kapan-kapan, kalau sempat saja. Dan sekali lagi terima kasih.”
“Ya... Dan terima kasih untuk ini.” ujar Ariyo seraya mengangkat kotak pink tersebut.
Adiana tersenyum sambil melambaikan tangannya. Ariyo membalasnya dengan sedikit canggung. Dia terus memperhatikan gadis itu berjalan dan begitu sosoknya telah hilang dari pandangan, Ariyo segera duduk sambil memandangi kotak tersebut dengan rasa penasaran.
Dia baru saja akan membuka kotak tersebut saat suara seorang laki-laki bernada bas terdengar dari hadapannya.
“Wah, kotak apa itu Yo?
Dengan cepat—seperti refleks—Ariyo segera memasukkan kotak tersebut ke dalam tas dan segera mengalihkan pandangan ke Erlangga dan Aldian yang saat ini sudah ada di hadapannya.
“Bukan apa-apa. Ini titipan dari orang. Gue juga tidak tahu isinya dan tidak tertarik untuk mencari tahu.” Ariyo tersenyum tipis, “Daripada itu... Ada rencana apa loe berdua sekarang?”
Aldian melihat arlojinya dan berseru kaget, “Wah, gue lupa! Gue janji mau mengantarkan Ima ke toko buku hari ini. Bisa marah dia kalau terlalu lama menunggu. Sorry, gue pergi lebih dulu ya.”
Laki-laki itu segera meraih tasnya dan pergi dengan tergesa-gesa sambil melambaikan tangannya.
Erlangga menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatap prihatin, “Tampaknya sudah terlihat siapa mengendalikan siapa.” kemudian dia memalingkan pandangan ke arah Ariyo, “Loe bagaimana, Yo? Gue ada janji makan siang dengan Lena dan adiknya hari ini. Atau loe mau ikut gue sama Lena saja?”
Ariyo berdecak sinis, “Dan melihat loe berdua pacaran? Terima kasih, tapi tampaknya gue akan pulang ke rumah sekarang. Sudah tidak ada keperluan apa-apa lagi, kan?”
Erlangga tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Kita bebas sekarang.”
Well, kalau bergitu...”
Ariyo dan Erlangga melakukan high five sebelum saling berjalan ke arah yang berbeda.

Gadis itu dapat melihat semuanya dari dalam perpustakaan. Kaca jendela yang jernih telah membantunya dengan baik. Dia tidak dapat mendengar apa yang mereka katakan, tetapi dia tidak terlalu bodoh untuk dapat menebak apa yang terjadi. Tupperware pink itu adalah yang sempat dilihatnya di dalam tas Adiana beberapa jam yang lalu di ruang kuliah. Dia juga sudah merasakan beberapa dari brownies cokelat di dalamnya.
Dan sekarang dia melihat Adiana memberikannya pada Ariyo.
Dia tidak habis pikir dengan perbuatan gadis itu. Atau lebih tepatnya dia merasa kesal dengannya.
Dia tahu dirinya cantik. Wajahnya tampak lebih muda dari usianya yang sebenarnya, bahkan menjurus mirip anak kecil, membuatnya terlihat polos. Tubuhnya juga terlihat cukup seksi dengan beberapa bagian yang menonjol di tempat-tempat spesifik. Dengan segala kelebihannya tersebut, bukanlah hal sulit baginya untuk mencari seorang laki-laki bagi dirinya. Belum pernah ada laki-laki yang menolak segala permintaannya dengan nada suaranya yang selalu dibuat menggoda. Hingga satu orang melakukannya.
Dasar brengsek! Loe pikir gue akan membiarkannya begitu saja? Jangan harap!
“Tari, sedang apa kamu? Mana jurnal Penyakit Dalam-nya?”
Randy Irawan—pacar Matahari berdiri di belakangnya sambil menatap bingung.
Bagaikan aktris drama ternama, raut amarah segera terhapus dari wajah Matahari dan dia berbalik sambil tersenyum menggoda.
“Eh iya... Aku lupa. Maaf ya sayang... Kita cari sama-sama saja, ya.”
Randy menghela napasnya. “Kamu selalu saja seperti ini.”
“Jangan begitu dong... Aku kan lupa.” sahut Matahari merajuk. “Jangan marah ya... Ayo, cari-cari sama bareng aku.” Matahari melingkarkan lengannya ke lengan Randy dan menariknya.
Laki-laki itu tidak dapat berbuat lain selain mengikuti tarikan gadis itu.
Matahari menoleh sekilas ke arah jendela. Matanya bekilat berbahaya.
Tunggu saja saatnya...
 

“Hmm... Ini buatan kamu sendiri, ya?” tanya Aditya dengan mulut setengah penuh cokelat.
Adiana mengangguk dengan tampak sedikit malu, “Iya... Maaf ya kalau rasanya kurang enak. Aku juga baru belajar. Ini pertama kalinya aku buat brownies sendiri.”
“Pertama kali? Kalau begitu kamu justru harus memuji diri kamu sendiri karena ini brownies terenak yang pernah aku makan.”
Adiana hanya tersenyum mendengar kata-kata Aditya yang terdengar berlebihan. Dia merasa sedikit bersalah karena berpikir seperti ini, tetapi dia tidak bisa mencegah dirinya untuk menganggap bahwa kata-kata Aditya tadi tidak sepenuhnya terucap karena obyektivitas.
Dia tidak meragukan kejujuran Aditya, tetapi bagaimanapun laki-laki itu sedang mendekatinya dan dia merasa apapun yang dilakukan atau dikatakannya akan terasa baik bagi laki-laki itu. Dia berharap tidak terkesan terlalu percaya diri—atau sombong, tetapi dia mengharapkan pendapat yang lebih obyektif. Lebih jujur.                          
Seperti dari seorang laki-laki lain yang juga—harap Adiana—sedang merasakan brownies tersebut. Laki-laki yang tidak dekat dengannya, tidak peduli dengannya, terlihat dingin saat menerima pemberian darinya, dan tampaknya sangat sulit untuk dibuat terkesan.

                

- (oleh @Satrio_MD )

No comments:

Post a Comment