Tentang 30 Hari Cerita Cinta

13 September 2011

11.20

    Sesak dan desakan sesama penumpang dalam gerbong menuju antarstasiun, lantaran biasa dan terbiasa, bukan lagi menjadi beban. Inilah angkutan rakyat termurah, murah dalam segalanya. Siapa saja boleh turut, tanpa karcis pun patut. Asal bersopan kata dengan kondektur, dan bilang: "numpang Pak!" Maka bereslah, aman perjalanan kita. Seperti halnya aku, kerap melakukan itu.

    Buat mereka penumpang setia, sekelas kereta JABOTABEK, membeli karcis bahkan berlangganan karcis abonemen, tak jarang hanya menjadi lembaran karcis sia-sia. Kondektur takkan mau ikut berdesak-desak memeriksa setiap karcis penumpang, akan menyesakkan dirinya saja dengan tubuh yang tambun.

Genap pula sikapku tak membeli karcis.

    Buat apa menjadi penumpang kereta yang ingin bermaksud baik membeli karcis, sementara nilai kebaikannya tak jadi arti apa-apa. Belum lagi mereka sering dibuat iri oleh sekian pedagang yang berseliweran di dalam gerbong, tak satupun diantara mereka membeli karcis. Pengemis serta yang pura-pura jadi pengemis berkumur-kumur doa minta dikasihani, pasti tak membeli karcis. Pengamen dan pengamen yang asal-asalan mengamen, selain tak membeli karcis malah memetik receh dari penumpang. Dan satu lagi, pemandangan yang sudah biasa. Di atas gerbong, serombongan anak-anak sekolah juga anak-anak tanpa seragam sekolah, merasa dirinya menjadi superman, bangga dapat bebas dari karcis. Nyawa bukan lagi jadi perhitungan.

    Dengan kantongku yang tak selalu membeli karcis, selalu memilih berdiri di pinggir pintu kereta yang sudah biasa terbuka begitu saja. Di posisi berdiri itulah aku bisa menyaksikan apa yang bakal terjadi ketika kereta berhenti-berangkat, memuat dan memuntahkan penumpang. Selain itu aku tak perlu mengucurkan keringat dengan percuma, larut terdesak ikut arus penumpang. Bukannya aku tak mau, ini cuma satu strategi posisi amanku menyikapi diri sebagai penumpang kereta.

    Kendati demikian, aku pernah terdesak oleh dorongan penumpang yang memaksa diri naik dengan sekenanya supaya terangkut. Laki dan perempuan luruh bersama, risih sedemikian rupa saling bersentuhan bukan lagi menjadi pertimbangan. Yang penting terangkut, sampai tujuan. Pelecehan? Itu soal lain di kereta kelas ekonomi macam kereta JABOTABEK ini.

    Dari stasiun ke stasiun, kereta yang semula sesak, aku masih bertahan berdiri di pintu kereta yang terbuka. Penumpang kian berkurang. Yang tersisa, sekian wajah dan perasaan mereka seakan mendapat kelegaan dari sirkulasi udara yang lumayan. Diam-diam aku menyapu roman mereka dengan sekian rupa yang tak kutahu apa yang mereka pikirkan, toh mereka juga tak peduli apa yang sedang kupikirkan. Beginilah indahnya hidup di alam gerbong kereta dengan ketakpedulian sesama penumpang. Yang ada hanya kepedulian diri sendiri. Barangkali.





~ (oleh Dwi Wulandari - http://phsychedelicmoon.tumblr.com)

No comments:

Post a Comment