Tentang 30 Hari Cerita Cinta

13 September 2011

Secret Past: Interaksi Pertama #1


PROLOG

            Udara malam ini terasa menyesakkan. Bintang-bintang yang pada musim seperti ini biasanya terhampar bagaikan lautan berlian, kali ini terhapus sepenuhnya oleh kegelapan. Bulan yang biasanya selalu setia memberikan sinarnya untuk menerangi malam, kali ini juga tampak enggan menampakkan wujudnya. Sebagai gantinya hujan yang sangat deras turun bagaikan ditumpahkan dari langit. Diiringi oleh angin badai yang bertiup dengan ganasnya, menampar apapun yang dilaluinya. Masih diperburuk dengan halilintar yang saling menyambar secara silih berganti, menimbulkan bunyi-bunyi ledakan yang memekakkan telinga.
            Tidak ada satupun orang yang merasa ingin meninggalkan rumah di malam yang tidak bersahabat seperti ini.
            Kecuali sangat terpaksa.

            Entah sudah berapa lama laki-laki itu berada di sana. Dia seperti tidak mempedulikan tubuhnya basah kuyup oleh hujan yang terus mengguyur Bandung malam itu. Dia hanya terus bersimpuh tidak bergerak di jalanan aspal itu. Kepalanya tertunduk hingga menyembunyikan wajahnya. Kedua tangannya terlihat berwarna merah kecoklatan hingga ke lengan atas.
            Darah.
            Darah yang semakin lama semakin mengering, hingga melekat kuat membungkus tangannya.
            Tetapi itu bukan darahnya…
 

            Laki-laki itu tersentak dari tidurnya. Kedua matanya melotot lebar menatap langit-langit kamarnya. Napasnya terdengar memburu dan jantungnya berdebar lebih kencang. Butir-butir keringat menetes berjatuhan dari dahi dan wajahnya.
            Setelah beberapa menit terdiam tanpa suara, dia bangun dan duduk di tempat tidurnya. Tangannya meraba-raba meja kecil di samping tempat tidurnya, hingga menemukan kacamata bingkai hitam yang segera dikenakannya. Saat dia mengalihkan pandangan ke arah jam dinding, dilihatnya waktu menunjukkan pukul 03.00 WIB. Masih terlalu pagi, tetapi dia tahu dia tidak akan bisa tertidur lagi.

I
INTERAKSI PERTAMA

            Gadis itu masih duduk di atas tempat tidurnya sambil menatap keluar jendela kamar kosnya. Hujan yang turun dengan deras sejak semalam, tampaknya masih terus bertahan hingga pagi ini. Memang sudah tidak sederas sebelumnya, tetapi cukup untuk membuat orang-orang merasa tidak ingin meninggalkan rumah dan memulai aktivitas.
            Dia sudah mandi dan beganti baju sedari tadi. Hari ini adalah blus hitam polos dengan paduan rok pink bermotif batik. Sepatu tanpa haknya yang berwarna hitam sudah berjejer rapi dekat pintu. Tasnya juga sudah menyimpan dengan rapi buku-buku kedokteran yang diperlukannya plus payung kecil berwarna pink di sampingnya. Semua yang diperlukannya untuk pergi kuliah hari itu sudah siap, tetapi bayangan untuk membasahi sepatu dan roknya dengan percikan genangan air selama dia berjalan dari tempat kosnya menuju kampusnya di seberang jalan membuatnya masih merasa enggan untuk segera beranjak dari kamarnya.
            Saat dia melihat jam beker kecilnya yang berbentuk kucing di atas meja belajar, dia sadar bahwa mata kuliah pertama akan dimulai 20 menit lagi dan dari tempat kosnya dibutuhkan 15 menit untuk pergi ke kampusnya dengan berjalan kaki.
            Adiana Larasati segera bangkit dari tempat tidurnya, meraih barang-barang yang diperlukannya, dan berjalan keluar kamar.
            Sekarang atau terlambat—dan dia sudah terlalu sering melakukan yang terakhir.
 

            Lantai ubin koridor itu menjadi sangat licin oleh campuran antara percikan air hujan dan lumpur tanah yang berasal dari sepatu-sepatu yang melangkah di atasnya. Tetapi alih-alih berhati-hati dalam berjalan, Adiana justru semakin mempercepat langkahnya. Sesekali matanya melirik ke arloji Hello Kittyyang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Tidak sampai lima menit lagi untuk mata kuliah pertama kedokteran untuk segera dimulai.
            Dia sudah dapat melihat pintu kayu coklat Ruang Kuliah Anatomi yang, terlepas dari namanya, sehari-hari memang digunakan sebagai ruang kuliah untuk mata kuliah apapun bagi mahasiswa/mahasiswi kedokteran tingkat III Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Baru saja dia menarik napas lega, saat mendadak kakinya terasa melangkah lebih jauh dan lebih cepat dari seharusnya. Kemudian keseimbangannya terasa goyah dan ada gaya yang terasa menariknya ke arah belakang. Semuanya terjadi begitu cepat, hingga dia bahkan tidak sempat untuk mengeluarkan suara, tetapi dia masih bisa berpikir untuk bersiap-siap terjatuh ke atas lantai ubin.
            Tetapi Adiana tidak sempat terjatuh karena hampir bersamaan dia merasakan ada sesuatu yang menahan lengan kirinya dengan kuat dan memberikannya kekuatan untuk mengembalikan keseimbangannya. Secara refleks Adiana menoleh dengan cepat ke sebelah kirinya. Dilihatnya seorang laki-laki berkacamata berkulit coklat berdiri di sampingnya. Laki-laki itu menahan tas ransel birunya yang hanya digantungkan sebelah dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih mengenggam erat lengan kiri Adiana.
            “Hati-hati...”
            Suara bernada dingin itu lebih terdengar mencela daripada khawatir.
            Adiana baru saja hendak membuka mulutnya untuk mengucapkan sesuatu, tetapi laki-laki itu sudah melepaskan lengan Adiana yang sudah dapat berdiri stabil, dan segera berjalan mendahului Adiana tanpa menoleh ke belakang.
            Dia melihat laki-laki itu dengan cepat sudah berada di depan pintu Ruang Kuliah Anatomi dan segera menghilang ke baliknya.
            Adiana masih terdiam untuk beberapa saat sebelum pandangannya menangkap sosok yang sedang berjalan di bagian koridor lain yang berhubungan dengan koridornya tempat berada sekarang.
            Dokter yang menjadi dosen untuk mata kuliah pagi ini.
            Adiana kembali berjalan dengan cepat, tetapi kali ini lebih berhati-hati, menuju Ruang Kuliah Anatomi.

            Semua mata kuliah hari itu sudah selesai. Jadwal yang menunggu selanjutnya adalah praktikum Fisiologi dimana mereka akan terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil dan masing-masing kelompok akan memiliki jadwal praktikum yang berbeda.
            Adiana hari ini termasuk ke dalam kelompok yang memiliki jadwal praktikum pada siang hari setelah jam makan siang. Itu masih sekitar tiga jam lagi. Karena itulah saat ini dia sedang berada di perpustakaan FKUI yang berada di lantai dasar bersama para sahabat perempuannya. Sebuah laptop Apple berwarna putih terbuka di atas meja kayu di hadapan mereka. Mereka berencana untuk mengerjakan laporan tugas riset kedokteran kelompok mereka yang sudah berbulan-bulan terbengkalai—setelah Adiana sebagai ketua kelompok akhirnya sedikit “meledak” marah.
            Mereka sedang berdebat mengenai sebuah kesalahan dalam laporan tersebut, saat tiba-tiba pintu perpustakaan yang terbuat dari kaca terbuka lebar dan seorang laki-laki masuk ke dalamnya.

            Ariyo Andara Saputra.
            Laki-laki berwajah sedikit tirus ini selalu berekspresi serius. Rambutnya tampak sedikit ikal. Tubuhnya sebenarnya hanya sedikit lebih tinggi dari Adiana, tetapi tampak tegap karena dulu dia cukup sering berolah raga, meskipun saat ini sudah jarang melakukannya. Itulah sebabnya kulitnya juga menjadi berwarna kecoklatan. Kedua mata ovalnya yang terbungkus oleh kacamata berbingkai hitam memiliki tatapan tajam dan terkesan dingin.
            Meskipun mereka berada dalam satu angkatan, tetapi Adiana tidak begitu mengenalnya—lebih kepada tahu namanya saja. Mereka beberapa kali berpapasan dalam berbagai kesempatan, tetapi tidak pernah ada interaksi sekecil apapun di antara mereka, bahkan tidak sekedar salam sekalipun.
            Hingga saat laki-laki itu mencegahnya dari terjatuh di koridor…

            “Dia benar-benar aneh, ya. Cowok itu.”
            Adiana mengangkat kepalanya dari laptop untuk melihat siapa yang baru saja berbicara. Dilihatnya Matahari Permatasari sedang melihat ke arah Ariyo yang baru saja melewati meja mereka dan saat ini sedang mengambil duduk di meja perpustakaan paling belakang seraya mengeluarkan laptop dari dalam tasnya.
            “Yah, mungkin karena loe berdua tidak terlalu saling kenal juga. Makanya dia bersikap seperti itu sama loe.” Yenny Saraswati yang duduk di sebelah Tari mengomentari kata-kata temannya itu.
            “Tetap saja menurut gue itu mengesalkan. Kenal atau tidak, apa menurut loe seperti itu caranya bersikap ke seorang cewek? Cowok jahat!” ujar Tari dengan nada kesal.
            Adiana tidak dapat lagi menyembunyikan rasa penasarannya. “Ada apa sih? Siapa yang cowok jahat?”
            “Eh? Loe belum tahu ceritanya, Na?” Ima Febriana menatapnya dengan terkejut.
            Matahari mengibaskan tangannya. “Gue memang belum sempat cerita sama Ana. Jadi wajar kalau dia tidak tahu.”
            Adiana kali ini benar-benar menghentikan pekerjaannya. “Cerita apa, sih? Memangnya ada apa sama loe, Tar?”
            “Heehhh… Sebenarnya gue agak malas sih untuk mengulang lagi cerita soal ini, tapi karena loe belum tahu dan loe teman gue, ya…” Matahari menghela napas pendek. “Jadi kejadiannya gue lupa tepatnya kapan. Waktu itu gue lagi ada di sini, lagi berniat mencari jurnal tentang Sindrom Metabolisme pada Anak untuk tugas kuliah yang dari dr. Damianti, SpA. Nah, waktu gue lagi mencari jurnal itu, si Ariyo itu juga lagi ada di situ dan mencari sesuatu di rak buku yang sama dengan gue, mungkin tentang bahan yang sama, gue tidak tahu. Karena lama-lama di situ ya gue tidak enak dong kalau gue diam saja, ya sudah gue sapalah dia sambil bertanya dia lagi mencari apa. Tapi coba tebak? Dia cuma nengok sebentar sambil ngomong “bukan apa-apa” terus langsung mengacuhkan gue lagi. Sombong banget kan?” tanya Tari dengan nada kesal yang sangat ditekankan.
            Adiana tidak dapat menahan dirinya untuk tidak tersenyum tipis.
            Tipikal Tari… Kesal kalau nggak dapat perhatian dari cowok.
            “Oh… Ya, mungkin benar apa yang dibilang Yenny. Dia kan tidak terlalu kenal sama loe, Tar. Jadi mungkin dia segan atau malu atau kenapa…”
            Matahari medengus sinis. “Oh, ini belum selesai, Na. Masih jauh dari selesai.”
            Matahari sekali lagi menengok ke arah Ariyo dengan penuh kekesalan sebelum kembali ke arah Adiana.
            “Pokoknya setelah dia ngomong seperti itu karena gue juga jadi agak-agak kesal karena ini cowok sombong banget, ya udah, jadinya gue juga diam saja dan melanjutkan mencari jurnalnya. Sampai akhirnya gue menemukan jurnal itu ada di rak paling atas. Agak terlalu tinggi sih, cuma gue mengira-ngira masih ada dalam jangkauan gue. Tadinya gue mau minta tolong orang, cuma karena yang lagi ada di dekat gue cuma cowok sombong itu, dan gue sudah malas ngomong apapun lagi sama dia, jadinya ya gue coba-coba ambil sendiri. Dan sedikit lagi gue hampir dapat jurnalnya, tapi tidak tahu kenapa tiba-tiba keseimbangan gue goyah, mungkin karena kepeleset atau apa. Tapi yang pasti gue jatuh kebanting dan tahu-tahu jurnal-jurnal yang ada di rak itu semuanya ikut jatuh dan menimpa gue. Dan itu banyak banget!”
            “Ya ampun?! Terus loe-nya tidak apa-apa, Tar?” tanya Adiana dengan penuh keprihatinan yang tulus.
            Matahari menggelengkan kepalanya. “Gue tidak apa-apa, cuma sedikit kaget saja. Orang-orang di perpustakaan langsung hamper semua berusaha menolong gue. Tapi tahu apa yang dilakukan oleh Ariyo? Dia cuma melihat gue yang lagi tergeletak di lantai dengan buku-buku yang menimpa kepala gue. Jangankan menolong, dia bahkan tidak bereaksi apapun. Dia cuma menengok ke arah gue sekilas terus mengambil suatu jurnal—tidak tahu apa—dari rak dan pergi begitu saja. Mengesalkan banget sikap cowok seperti itu?!” ujar Matahari dengan nada tinggi.
            Adiana mengerutkan dahinya. “He? Dia sama sekali tidak menolong loe, Tar?”
            Nope. Sama sekali tidak. Bahkan loe yang gue ceritainnya sudah cukup lama saja masih ada perasaan khawatir untuk gue, tapi dia yang melihat kejadian itu tepat di depan matanya, sama sekali tidak melakukan apa-apa. Gue tahu memang tidak terlalu saling kenal satu sama lain, tapi masa seperti itu caranya memperlakukan seorang cewek? Bagaimana menurut loe, Na?”
            Well… Memang sih itu sedikit keterlaluan. Setidaknya dia seharusnya bilang sesuatu.” Adiana terdiam sejenak. “Tapi sepertinya kalau cuma dari satu kejadian itu saja, tidak adil kalau loe langsung menge-judge dia sebagai cowok jahat.”
            Pikiran Adiana kembali melayang ke kejadian yang terjadi antara dirinya dan Ariyo di koridor beberapa hari yang lalu.
            “Oh, menurut lo begitu, Na? Memang loe itu selalu saja jadi cewek yang terlalu baik.” Matahari tersenyum sinis. “Tapi itu bukan satu-satunya cerita tentang dia. Ya kan, Ma? Ceritakan apa yang loe tahu.”
            Adiana mengalihkan pandangan ke Ima dengan penuh tanda tanya. “Ima?”
            Ima menarik napas panjang. “Well, gue sebenarnya tidak suka membicarakan orang di belakang punggung mereka, tapi cerita tentang Ariyo memang banyak beredar di antara anak-anak Well, para cewek sih kebanyakan. Dan… yah, katakan saja ceritanya tidak begitu bagus.”
            “Cerita? Cerita seperti apa, Ma?”
            Well, kalau kata anak-anak cewek yang lain, Ariyo itu orangnya memang dingin. Contohnya seperti yang dialami sama Tari. Kalau kata anak-anak, kejadian seperti itu atau yang mirip-mirip bukan cuma hanya itu, tapi itu juga banyak dialami sama anak-anak cewek yang lain. Intinya sih Ariyo itu orangnya cuek. Benar-benar tidak peduli dengan keadaan orang lain. Dia memang tidak pernah berkata ataupun berbuat kasar, tapi lebih tepatnya dia tidak mau berbuat apa-apa. Bisa dibilang tidak ada orangyang pernah merasa ditolong ataupun menerima sesuatu yang baik dari dia.”
            Begitu ya?”
            Untuk pertama kalinya Yenny angkat bicara. “Kalau gue boleh berpendapat… Entah mengapa, gue melihatnya dia seperti tidak mau dekat dengan siapapun?”
            “Dan usaha dia itu tampaknya berhasil. Karena di angkatan kita, gue bukan satu-satunya cewek yang tidak suka dengan dia dan sama sekali tidak ingin dekat-dekat.” tanggap Tari sinis.
            Adiana tidak berkomentar apapun sementara ketiga temannya masih saling melontarkan pendapat—dan cacian.
            Apa benar dia seburuk seperti yang orang-orang bilang?
            Adiana berusaha untuk mengarahkan pandangan ke arah Ariyo secara diam-diam, tetapi seketika dia terkejut karena secara bersamaan Ariyo juga memandang ke arahnya. Karena tidak dapat lagi mengelak, Adiana mencoba memberikan isyarat salam dengan tersenyum.
            Ariyo tidak membalasnya dengan gerakan apapun. Ekspresi dinginnya bahkan tidak berubah saat dia kembali menundukkan wajah ke arah laptopnya.
 

            Rutinitas mingguan Adiana hampir tidak pernah berubah. Kembali ke rumah dari tempat kosnya pada hari Jumat, setelah semua kegiatan akademis di kampus selesai, dan menikmati waktu dengan bersantai di rumah, untuk kemudian kembali lagi ke tempat kosnya pada hari Minggu malam.
            Di antara waktu-waktu tersebut, Sabtu pagi adalah hari bagi Adiana untuk berolah raga pagi dengan melakukan jogging di Senayan. Biasanya selama ini dia akan pergi jogging sendirian atau ditemani oleh ibunya—atau bila dia berhasil membujuknya, salah satu dari kedua adik laki-lakinya. Tetapi untuk kali ini tidak termasuk kesemuanya.
            Adiana baru saja selesai mengeringkan rambutnya di depan meja rias saat terdengar suara ketukan dari luar pintu kamarnya.
            Adia? Itu Aditya  sudah datang untuk menjemput kamu. Kamu masih lama?”
            “Ah, iya Bu. Nggak kok, sebentar lagi selesai. Sebentar lagi aku ke bawah.”
            “Ya sudah. Ibu suruh dia menunggu di ruang tamu. Jangan lama-lama, kasihan dia kalau terlalu lama menunggu.”
            Langkah-langkah kaki Ibunya yang sedang menuruni tangga masih terdengar saat dia mulai memilih-milih pakaian dalam dan pakaian olah raga yang akan dikenakannya.

            Aditya  Hermawan.
            Laki-laki itu sudah mencoba mendekatinya sejak pertama kali dia diterima menjadi mahasiswi FKUI tingkat I, sekitar dua tahun yang lalu. Beberapa kali mereka berkencan dan menghabiskan waktu berdua. Hingga akhirnya, saat mereka sedang makan malam setelah menonton film di bioskop, laki-laki itu menyatakan perasaannya pada Adiana dan meminta kesediaannya untuk menjadi pacarnya. Dan itu adalah akhir dari semuanya.
            Saat itu Adiana menolak dengan baik-baik permohonan tersebut karena dua alasan. Pertama, saat itu belum ada enam bulan sejak dia diputuskan oleh pacarnya di SMU dan dia merasa belum siap untuk memulai hubungan baru. Sedangkan alasan yang kedua, lebih jujur dan sederhana, dia memang tidak memiliki perasaan apapun pada laki-laki itu selain dari teman biasa.
            Setelah itu mereka tetap berhubungan baik, meskipun, seperti bisa diduga, kedekatan mereka telah lenyap.
            Hingga sekitar enam bulan lalu, saat Aditya  mulai meneleponnya lagi untuk pertama kalinya sejak dia menolak laki-laki itu. Dan sejak itu mereka mulai berkencan lagi, meskipun tetap belum ada kata-kata yang meresmikan hubungan mereka. Hanya saja kali ini Adiana merasa perasaannya berbeda dengan saat dia menolak Aditya dahulu.

            Adiana merapikan tatanan rambutnya—yang sebenarnya sudah sempurna—untuk terakhir kalinya dan melangkah menuju ruang tamu. Di salah satu sofa ruang tamunya, seorang laki-laki yang berambut pendek dan berkulit coklat sedang duduk sambil mengangkat cangkir minuman ke mulutnya—yang tampaknya berisi teh.
            “Hai… Sorry ya… Kamu jadi terlalu lama menunggu, ya?”
            Aditya  segera menoleh ke arah suara tersebut seraya bangkit dari tempat duduknya.
            “Eh, aku tidak mendengar kamu datang. Tidak kok, belum begitu lama. Aku juga baru datang.” Aditya tersenyum di hadapannya.
            Saat Aditya berdiri, Adiana tidak bisa mencegah dirinya untuk menilai penampilan laki-laki itu. Wajah laki-laki itu memang cukup tampan dengan kedua mata bulatnya yang selalu tampak cerah. Tubuhnya yang cukup tinggi tampak tegap tiap kali dia berdiri.
            Adiana diam-diam tersenyum.
            Mungkin dulu gue terlalu cepat memutuskan untuk menolaknya.
            Aditya menghabiskan teh di dalam cangkirnya sebelum berkata pada Adiana. “Ya sudah yuk, kalau kamu sudah siap kita pergi sekarang?”
            “Ah, iya… Yuk. Aku panggil Ibu dulu sebentar.”
            Begitu selesai berpamitan dengan ibu Adiana, mereka berdua berjalan menuju ke arah garasi. Sebuah motor Kawasaki Ninja 250R berwarna hitam terparkir di sana.
            Aditya mengambil sebuah helm berwarna pink dari dalam bagasi motornya dan menyorongkannya ke Adiana. “Ini helmnya. Baru saja aku beli khusus buat kamu. Dan aku rasa pink warna yang cocok.”
            “Oh? Ya ampun, seharusnya kamu tidak perlu repot-repot seperti ini...”
            Adiana melangkah ke depan Aditya untuk menerima helm tersebut, saat tiba-tiba dia tersandung celah lantai ubin yang dipijaknya.
            “Ana! Hati-hati!
            Beruntung Aditya yang berada di sebelahnya segera menangkapnya dengan sigap, sehingga dia tidak sempat terjatuh.
            “Kamu tidak apa-apa?” Aditya memandangnya dengan khawatir.
            Adiana menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa, kok. Terima kasih...”
            Tiba-tiba bayangan wajah laki-laki itu berkelebat dalam pikirannya. Laki-laki yang mencegahnya terjatuh di koridor kampusnya.
            Ana? Ada apa?”
            Adiana tersentak dan tersadar dari lamunannya. Dilihatnya Aditya sedang menatapnya dengan kebingungan tergambar di matanya.
            “Ah, tidak... Bukan apa-apa, kok Cuma ini saja… Helmnya lucu.” kata Adiana canggung.
            “Oh… Hehehe… Yah, baguslah kalau kamu suka.”
            Aditya memutar kunci motornya dan seketika terdengar bunyi mesin yang memecah keheningan di seketika mereka.
            “Ayo, Na. Naik di belakang.”
            Adiana menganggukkan kepalanya dan segera duduk di belakang Aditya.
            Ada apa dengan gue? Kenapa di saat gue jalan dengan Adit, gue malah mikirin orang yang bahkan nggak gue kenal?
            Adiana masih mencoba menemukan jawaban yang logis dari semua pertanyaannya, saat motor hitam itu mulai meluncur membelah udara pagi.

            Air yang mengalir dari shower itu terlihat mengepulkan asap—tanda bahwa air tersebut panas, tetapi dia seperti tidak merasakannya. Dengan berpegangan pada dinding di depannya, dia terus berdiri di bawah guyuran air panas tersebut hingga seluruh kulitnya berubah kemerahan. Kedua matanya menatap lurus ke bawah dengan emosi yang bercampur aduk terukir di sana—kesedihan, kemarahan, dan rasa sakit.
            Setelah hampir setengah jam berada di sana, akhirnya dia memutar keran shower untuk mematikan guyuran airnya. Setelah mengeringkan tubuhnya, dia melilitkan handuk putih di pinggangnya dan melangkah keluar dari kamar mandi ke dalam kamar tidurnya. Beberapa titik air masih menetes di atas lantai kamarnya saat dia mengambil kemeja putih dan celana jeans bersih dari dalam lemari.
            Setelah selesai merapikan rambut, dia mengalihkan pandangan ke arah meja belajarnya. Setangkai bunga mawar putih terbungkuskan plastik dan sebuah boneka kucing putih seukuran telapak tangan tergeletak rapi disana. Dia baru saja akan melangkah keluar kamar dengan kedua benda tersebut di tangannya saat cordless phone hitam di atas meja komputernya berbunyi nyaring.
            Dia mengerutkan dahi memandang telepon itu dan membiarkan deringnya berbunyi hingga tiga kali sebelum mengangkatnya.
            “Halo?”
            Lama tidak ada jawaban, hingga dia harus mengulanginya sampai berkali-kali. Sambil mendesah kesal, dia baru saja akan menutupnya saat suara seorang gadis terdengar dari seberang sana.
            “Gue menduga… Loe sudah siap untuk pergi?”
            Dia tersentak. Ini bukan pertama kalinya gadis itu menelepon, bahkan sebenarnya dia sudah menunggu akan adanya telepon ini, tetapi tetap saja suara gadis itu selalu terasa tidak nyaman hatinya.
            Suaranya terdengar kaku dan datar. “Hampir… Gue baru saja mau keluar kamar, sampai telepon dari loe datang.”
            “Hmm… Beritahu gue... Ryo…”
            Suara itu terdiam sejenak. Dan yang berikutnya keluar dengan nada sinis.
            “Kenapa di dunia ini masih ada orang yang mau mengerjakan perbuatan yang sia-sia berulang kali—sekalipun dia tahu bahwa itu sia-sia?”
            Laki-laki itu mengeraskan genggamannya pada gagang telepon. Hatinya terasa tertusuk mendengar kalimat yang dilontarkan oleh gadis itu.
            Well… Mungkin begitu menurut loe, tapi untuk gue semua ini bukanlah sesuatu yang sia-sia. Semua ini ada artinya.”
            “Oh ya? Arti? Kalau begitu beritahu gue… Sebenarnya apa yang loe harapkan dari apa yang loe lakukan ini?”
            Harapan gue? Harapan gue adalah…
            Ariyo ingin sekali membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan gadis itu, tetapi masalahnya dia sendiri tidak mengetahui jawabannya.
            “Kesulitan untuk menjawab, eh? Well… Kalau begitu biar gue bantu…”
            Gadis itu menarik napas panjang sebelum mengatakannya dengan nada yang sedingin es.
            “Apapun yang loe lakukan sekarang, tidak akan merubah kenyataan atas apa yang sudah loe lakukan. Kalau loe berpikir bahwa dengan melakukan semua ini loe akan bisa menebus dosa loe, well… Pikir kembali. Karena itu tidak akan terjadi.”
            Ariyo semakin mengeraskan genggamannya.
            “Gue tahu itu…”
            Lama tidak ada yang bersuara, hingga suara dingin itu terdengar kembali.
            “Dan satu lagi… Jangan harapkan akan adanya maaf dari siapapun.”
            Ariyo menggelengkan kepalanya. “Gue tidak pernah berharap ada ma…”
            Belum sampai dia menyelesaikan kalimatnya, gadis itu sudah memutuskan sambungan teleponnya. Meninggalkan Ariyo yang duduk di atas tempat tidur dengan kepala tertunduk. Tubuhnya bergetar karena kemarahan dan rasa sakit yang dirasakan saling berbenturan di dalam hatinya.


- (oleh @Satrio_MD)

No comments:

Post a Comment