Tentang 30 Hari Cerita Cinta

13 September 2011

Retrace #1: Prolog (pt. 1)


Retrace: Prolog (pt. 1)
(Taken from Epilog from Season's Circle. Sudut pandang diambil dari Ares)
          Lying in my bed, I hear the clock tick and think of you
            Caught up in circles, confusion is nothing new
            You said, go slow, I fall behind
            The second hand unwinds...
            (Time After Time – Quietdrive)
Hujan pertama di musim semi.
Kalau aku masih tinggal di Norfolk atau kuliah di Boston, hujan akan terlihat sangat biasa, atau mungkin hampir membosankan. Tapi, ketika aku pindah ke New York City dan melihat tetesan air berlarian di jendela-jendela gedung tinggi, membasahi kota; semuanya... jadi sangat berbeda.
Parade payung menghias jalan-jalan utama, ada juga yang berlari dan melindungi kepala dengan jas atau barang yang sedang mereka bawa. Sementara aku duduk di tepi tempat tidur, dengan segelas cappuccino, menikmati Senin yang sempurna sebelum bekerja.
You may start wondering, apa yang aku lakukan di sebuah kota yang seharusnya tidak ingin kupijaki lagi setelah pembunuhan itu?
Well, it's been two years since I got my master degree, kemudian bekerja sebentar sebagai freelance konsultan di Boston, sambil sesekali menulis artikel lepas untuk berbagai media. Satu tahun kemudian, secara mengejutkan, New York Times memintaku untuk menjadi bagian dari 'keluarga' mereka. Sebuah perjuangan yang berbuah dengan manis.
Meski awalnya berat untuk kembali ke tengah kota yang tidak pernah tidur ini, aku berusaha untuk menghadapinya. Karena... tidak mungkin rasanya melepas pekerjaan ini. Aku datang ke New York sebagai orang baru.
Don't look back, keep moving forward, and start a new leaf.
Dalam sekejap, wajah manisnya membanjiri pikiranku. Dita yang mengatakannya di hari terakhir kami menikmati kencan rahasia di Virginia Beach. Itu adalah sebuah perpisahan yang manis dan mengesankan. Kami yakin suatu hari nanti akan bertemu lagi, meski bukan sebagai sepasang kekasih.
Tapi, sayangnya, selama beberapa bulan terakhir, komunikasi di antara kami tidak berjalan baik. Dita disibukkan dengan penyusunan skripsi sebelum meraih gelas sarjana dan aku belum menerima perkembangan dari novelnya.
Hal terakhir yang kami bicarakan hanya pernikahan sahabatnya.
"Sayang, padahal Nerva pengin kamu dateng, Ar," candanya saat itu.
Meskipun begitu, aku masih memberinya kabar lewat email; tentang kepindahanku ke New York City dan juga pekerjaan di New York Times. Satu hari, Dita menanyakan kabar Artemis yang sudah pindah ke Athena dan aku langsung membalasnya dengan foto-foto Artemis yang sedang menikmati gurita bakar di Athena. Sesekali, aku berharap dia memberi kabar tentang novelnya itu.
But, I never thought she's planned a surprise for me.
Enam bulan yang lalu, Jared (yang masih setia bekerja di Barnes & Noble dan baru saja bertunangan dengan Helen) datang ke New York City. Awalnya, aku mengira dia hanya sekedar ingin bertemu denganku dan mengucapkan selamat. Sampai kemudian, dia menyodorkan sebuah novel padaku.
Athena's Diary; a novel by Dita Syirafani.
Aku melamun sebentar. Eh—"DITA? FOR WHAT SAKE?!"
"Iya, Dita mantan pacar kamu, Ares!" ujarnya sambil menyeringai. "Coba kamu buka dan baca sekilas."
Aku langsung membuka halaman 100 dan terkejut begitu tahu novel itu ditulis dengan Bahasa Inggris. Sebenarnya, draft yang aku temukan dulu juga menggunakan Bahasa Inggris. Tapi... "Tunggu, ini terjemahan atau gimana?"
"Surprise! Itu buku terjemahan, Ar, karena Dita aslinya menulis dengan Bahasa Indonesia," jawab Jared takjub. "Novel ini... baru sampai di Barnes tiga hari yang lalu dan nongkrong di jajaran New Release. Untuk memastikan, aku tanya Dita langsung... and guess what?"
Kepalaku condong ke arahnya. "Apa?"
"Athena's Diary, sampai tiba di Barnes, ternyata sudah memasuki cetakan sembilan di Indonesia dalam kurun waktu lima bulan. LIMA BULAN, ARES!" ulangnya dramatis. "Salah satu temannya di Ohio University minta draft dalam Bahasa Inggris dan direspon baik oleh salah satu penerbit lokal di sana. Voila, lahirlah versi terjemahannya!"
Aku melongo tidak percaya – she did it!
Athena's Diary mengingatkanku dengan Percy Jackson. Ya, mengangkat tentang Mitologi Yunani versi modern. Di novel ini, Dita menulis cerita fiksi tentang kedua belas dewa-dewi Olympian di sebuah SMA dengan Athena sebagai tokoh utamanya. Yang membuatku merasa geli adalah saat menemukan nama Ares. Berani bertaruh, saat menulis novel ini, dia tidak bisa berhenti tertawa saat menulis nama Aphrodite.
Selama empat bulan, aku mengamati perkembangan novel ini di beberapa toko buku. Aku mulai berpikir, Dita memiliki Sentuhan Midas, karena sekarang, Athena's Diary bertengger di rak Best Sellers. Berbagai media berusaha untuk mewawancarainya, meski itu artinya mereka harus terbang ke Indonesia.
Sampai satu hari, Dita akhirnya mengirim sebuah email singkat yang membuatku penasaran.
      Ar,
      Aku datang ke NYC sekitar awal musim semi
      Jared udah cerita tentang novel aku, kan?
      So, see you later!

      Dita.

          Ternyata, pihak penerbit di Amerika mengadakan sebuah pertemuan  terbatas untuk interview dengan Dita. Mereka mengirim undangan rahasia ke delapan media berbeda. New York Times harap-harap cemas menunggu dan, walaupun Dita sudah mengirim semacam 'kode' lewat email ini, belum tentu salah satu undangannya jatuh ke tangan kami.
Satu hal yang membuat kami semakin frustasi, konon sudah ada tujuh media yang menerima undangan itu kemarin. Itu berarti, tinggal satu media yang akan dikirimi undangannya. Jadi—
          iPhone-ku bergetar. Pesan dari editor New York Times.
          Ares, go to office now!
      WE GOT THAT INVITATION!
Rasanya, aku ingin langsung meloncat di atas tempat tidur; sekalian salto di atasnya. Namun, aku berhasil menahan gejolak yang membuncah dan mengepalkan tangan ke udara.
"YEAHHH, HERE I GO!!!"
***


- (oleh @artemistics - http://acoffeelover.blogspot.com)

No comments:

Post a Comment