Tentang 30 Hari Cerita Cinta

13 September 2011

Rekam Imaji #1

Rekam Imaji

Tiap orang memiliki cerita cintanya sendiri, bahkan seorang
penulis kisah roman sekalipun...
Kisah cintaku, berawal dari Rekam Imaji. Sebuah buku yang ku
tulis untuk seorang pria yang ku kenal hanya berdasarkan rindu yang ku rasa
untuknya. Ya, yang ku tahu tentang dia Cuma rindu, selebihnya, dia hanya sosok
yang ada dalam imajiku. Dan ketika aku akhirnya memutuskan untuk merangkum
rindu ini dalam sebuah buku yang kemudian dibaca oleh banyak orang, aku tak
berharap ia menjadi salah satu pembacanya, tapi tidak juga berharap ia tidak
membacanya.
Hanya saja....semoga ketika rindu yang tumpah meluap tanpa
tempat ini akan memiliki rumah, Rekam Imaji...

"Sebuku aksara rindu
untuk pria imaji di dalam lajur waktu tanpa temu...
Sesapan resah yang menumpuk dalam
coretan waktu yang semakin kelabu.
Rindu, yang berakar pada namamu...
Tanpa perlu mengusikmu, ku susun tiap
rekah rasa di antara lajur waktu yang menggelisah...
Seakan temu selalu sebatas pada
rindu,
Pada rayu yang sesekali menggelayut,
namun mengusik, memaksa untuk sedikitnya ikut larut...
Untukmu, sebuku rindu ku ciptakan
rekam imaji tentangmu...
Yang hadirnya bagai kotak pandora,
dengan sengaja ku nikmati kutukan yang menusuk entah sampai kapan.
Batasan-batasan yang ku diamkan, tak
perlu sengaja ku beri kamu kata, cukup remah yang sekali waktu mungkin bisa kau
temukan...
Sesekali intiplah rekam ini, tak
perlu kasihani...cukup tadahkan sebelah tanganmu,
Setidaknya nanti ku tahu, sedikitnya
kamu tahu,
Sebuku ini adalah jejak imaji
tentangmu..."

Setelah itu, aku  tak
lagi mengharap pada temu. Aku terlalu sibuk ini itu. Menikmati hidupku sebagai
perempuan muda di usia 21 tahun, menikmati beberapa sosok pria yang hadir dalam
hidupku, tak bertahan lama memang, tapi hingga saat ini toh kami masih saling
sapa.
Di usia ke-23 aku bertemu sosok Langit yang begitu percaya
diri mengucapkan cinta dengan gugupnya. Kalau sudah bicara rasa, Langit menjadi
begitu kaku dan malu-malu, dia tidak suka mengulang ucapan manisnya yang dulu
itu.
"Emm....begini...hemm...".
"Hey! Apa kamu mau terus berkata heemmm, emmm?!" Kataku tak
sabaran dengan sedikit melotot kesal. Bagaimana bisa ia memilih tempat bicara
sedingin ini? Bandung di malam hari, dan sekarang seringnya hujan sedang sering
unjuk gigi.
"Ah! Kamu merusak mood-ku!" Katanya ketus, seperti biasa.
"Ya sudah, kamu tetap di sini untuk menyusun kalimat dan aku
menghangatkan diri di dalam!"
Errrggh! Seringnya begini. Pertengkaran-pertengkaran ala
kucing dan anjing. Ini sudah lama terjadi sejak aku dan Langit masih berada
dalam satu tim di sebuah majalah. Tidak ada kata sepakat, walaupun pada
akhirnya tujuan kami sama.
"Hey!" Langit menarik lenganku. "Aku...".
Ku tatap matanya, mencoba mencari tahu.
"Aku tahu tidak mungkin kamu menulis
tentangku...tapi...mungkin saja."
"Ha?"
"Aku tidak ingin hanya menjadi pria-pria yang datang dan
pergi dalam hidupmu, lalu berakhir menjadi salah satu tokoh dalam tulisanmu.
Aku tidak hanya ingin sebatas...".
"Lalu?"
"Aku ingin menjadi tokoh utama laki-laki dalam hidupmu."
Begitulah...tokoh utama ya? Aku memikirkannya cukup lama.
Aku melihat kesungguhan Langit. Memang selanjutnya tak banyak kata, bunga atau
kejutan. Tapi yang ku jalani bersama Langit kemudian terasa lebih nyata.
Langit tidak pernah membuatku menunggu, ini pertama kalinya
aku menemukan pria tepat waktu. Langit hanya menatapku, kalau tidak perlu dan
bukan seseorang yang dikenalnya, ia tidak akan berbicara panjang kali lebar atau
bahkan menatap seorang perempuan. Langit menemaniku nonton semua film
kesukaanku tanpa tertidur. Walaupun kadang dia galak sekali, dan sedikit
over-protective, ia membuatku aman. Tidak sekalipun ia mengeluh dengan
banyaknya kegiatanku yang membuat kami jarang bertemu. Langit juga berusaha
berbaur dengan lingkunganku, dengan caranya sendiri, tanpa terasa ia lama sudah
menjadi bagian dari lingkunganku.
Januari di Jogja. Langit memintaku menjadi pendamping
hidupnya. Ini adalah saatnya, pilihan, di mana aku tak bisa lagi sembarangan
berpaling. Hanya ada iya atau tidak. Hanya ada aku dan Langit, membangun sebuah
keluarga kecil.
Bukankah ini impian para gadis? Menemukan sosok pria yang
mencintaimu, meminangmu, menjadikanmu ratu dalam istana kecil yang kalian bangun.
Rasanya hidupku hampir sempurna. Mereka bilang cerita cintaku berakhir happy
ending seperti novel-novel yang aku tulis. Benarkah?

Siang itu aku resah. Suara jam terdengar lebih kencang dari
biasanya. TIK, TOK, TIK, TOK. Aku seperti Kapten Hook dalam cerita Peter Pan
yang sedang diburu si buaya yang telah menelan jam berikut lengannya. Tak
biasanya Langit membuatku menunggu. Ia berjanji akan memperkenalkanku pada
seorang temannya yang hobi mengelilingi dunia. Langit menjulukinya manusia
liar, homeless, nomaden, penjelajah, petualang...yah, itulah...
Cuaca di Jogja yang hangat kadang membuatku mengantuk, tapi
aku tidak ingin Langit menemukanku tertidur dengan bosan. Jadilah aku
berkali-kali memperhatikan jarum jam, mendengarkan suaranya yang seolah memacu
jantungku untuk berdegup lebih kencang dari biasanya, mengaduk-aduk es coklat
atau sesekali memandang ke luar jendela.
"Pelangi...".
"Langit!"
"Maaf membuatmu menunggu." Lalu Langit menunjuk ke arah
seorang pria yang membelakangi kami. Asik berbicara dengan pria lainnya lalu
tertawa.
Aroma tembakau dan tawa...rasanya seperti Dejavu. Rasanya
suara jam semakin memekik, rasanya waktu kembali berputar...
"Bumi!"

"Teruntuk, Pria Imaji
Untuk Imaji, Ini
untuk kamu,
Berbaris aksara
penuh rindu…
Masih belum berujung
pada kata temu,
yang aku tahu,
rinduku hanya mampu sebatas ini,
aksara yang tumpah
meruah saat pertama sajak untukmu tertata,
yang ku tahu
tentang kamu, Cuma rindu…
Selepasnya,
hanya nyali sebatas
kata…
entah itu sisipan
apa, yang jelas setidaknya kamu pernah merindu…
Atau ketika kamu
berhasil menemukan tiap aksara berakar darimu, mungkin kamu sudi bertandang dan
setidaknya…menutup buku nyali…
Sesudahnya,
setelah sebuku
aksara menjadi satu,
sudahlah….kita
adalah semu,
dan kamu, sebentuk
imaji kala rindu…"

Pertama dan terakhir kalinya aku bertemu kamu menyisakan
rindu yang hampir membunuhku. Pertama dan terakhir kalinya bertemu Bumi, rindu
yang setajam belati terkumpul dalam Rekam Imaji.


- (oleh @NadiaAgustina - http://kekasihsenja.tumblr.com)

No comments:

Post a Comment