Tentang 30 Hari Cerita Cinta

13 September 2011

Di Kota Kecil Itu #1: Berangkat

Di Kota Kecil Itu : Berangkat

David Ferdinand merasa tidak ada orang di dunia ini yang lebih kesal daripadanya. Dia sedang duduk di sebuah terminal di pinggir kota tempat tinggalnya.

Beberapa saat lagi, dia akan meninggalkan tempat ini dan pergi ke Greenville, sebuah kota kecil yang hanya bisa dicapai setelah beberapa jam perjalanan dengan bis. Dia harus tinggal di sana selama entah berapa hari, tanpa teman, tanpa laptop, dan satu-satunya orang yang dikenal adalah kakeknya.

Terminal cukup sepi. Mungkin karena masa liburan sudah memasuki ke pertengahan.

Selain David, hanya ada seorang ibu hamil dengan anaknya dan seorang laki-laki bertopi yang mengenakan jas hitam. Laki-laki itu tampaknya sedang tidur.

David mendecak lidah dan menghembuskan napas dengan kuat. Kalau bukan karena diancam oleh orang tuanya dengan laptop kesayangan, David pasti sudah menolak permintaan yang membosankan ini.

Hanya karena paman dan bibinya yang tinggal bersama kakeknya pergi berlibur, dia harus mengorbankan masa liburannya yang berharga.

“Jangan terus-terusan kakek yang datang mengunjungimu. Kamu, sebagai cucu, seharusnya pergi menjenguknya. Lagipula, tempat itu tidak asing. Kamu sering ke sana waktu kecil. Apa kamu sudah lupa?”

Kata-kata ibunya terus terngiang-ngiang di kepalanya. Meski David menyetujui ucapan ibunya, tetapi tetap saja ada perasaan tidak menyenangkan di hati.

Samar-samar terdengar suara kendaraan besar yang mendekat.

David menoleh ke arah sumber suara. Bis yang ditunggu-tunggu sejak tadi akhirnya sampai juga. Dia melirik jam tangannya. 09:02.

Terlambat setengah jam? Bis apaan ini?

Dengan tas cokelat tua yang menggantung di bahunya dan koper yang ditenteng dengan tangan kanan, David berjalan ke arah pintu bis.

David menghentikan langkahnya. Di depan, ibu hamil yang sudah sampai di pintu bis duluan sedang sibuk menaikkan barang-barangnya ke dalam bis.

Mengapa barangnya banyak betul? Apa tidak bisa dikumpulkan dalam satu koper saja?

Dengan kerutan di dahi, David meletakkan kopernya dan melangkah maju untuk membantu. Saat tangan David menyentuh kantong yang paling dekat dengannya, seseorang keluar dari pintu bis yang terbuka itu. Seorang gadis yang kira-kira seumuran dengannya.

Gadis berambut sepundak itu membungkukkan badannya untuk mengambil kantong yang paling dekat dengan pintu bis. Kepalanya sedikit terangkat hingga matanya bertemu dengan mata David. Gadis itu tersenyum, mengangguk dan dengan cekatan mengangkat satu per satu barang ibu tadi ke dalam bis.

Senyuman ramah itu terasa hangat. Belum ada yang tersenyum pada David sejak dia bangun hari itu. Bahkan orang tua yang mengantarnya ke terminal pun menggantikan senyuman selamat tinggal dengan omelan dan pidato panjang lebar.

Setelah mereka selesai memindahkan semua barang, ibu hamil itu menarik tangan anaknya dan menuntunnya ke dalam bis. David segera menenteng kopernya dan menyusul si laki-laki bertopi yang telah mendahuluinya.

Begitu berdiri di dalam bis, mata David segera menelusuri segala penjuru bis itu. Bis yang kecil namun cukup bersih.

Sang ibu hamil duduk di kursi tepat di belakang supir. Anaknya yang duduk di sebelah dalam melihat keluar jendela dengan wajah berseri-seri.

Laki-laki bertopi tadi duduk di deretan sebelah kiri, di dekat pintu keluar. Dia sudah melepaskan topinya dan memperlihatkan kepala botaknya. Kedua tangannya memegang surat kabar yang sudah terlipat-lipat.

Mata David tertuju pada gadis yang tadi. Dia duduk tiga tempat di belakang si ibu. Gadis itu sedang mengangguk-angguk ringan. Rambut sebelah kanannya diselipkan di balik telinga, menunjukkan sebuah earphone berwarna putih. Matanya melihat ke luar jendela.

David tersenyum. Dia tahu dimana dia harus duduk. Sambil berjalan, David terus melihat pada gadis itu. Sengaja dia pelankan langkahnya.

Raut wajah gadis yang mengenakan kaos biru muda itu mulai berubah sedikit. Senyuman David semakin mengembang. Menurut observasinya, gadis-gadis sangat peka terhadap hal-hal seperti ini. Mereka akan menyadari kalau ada orang yang sedang melihat mereka.

Gadis itu menoleh pada David.

Berhasil, batin David.

David mengangguk sambil tersenyum pada gadis itu yang membalas dengan senyuman ramah.

Dengan penuh kepercayaan diri, David mengambil tempat duduk tepat di belakang sang gadis. Tetapi melainkan duduk, badannya dibungkukkan sedikit ke depan.

“Hai,” sapa David.

Gadis itu melepaskan earphone dan memiringkan duduknya hingga di menghadap David. “Hai.”

“Namaku David.” David mengulurkan tangannya.

Gadis itu tersenyum sambil menyambut uluran tangan itu. “Florence.”

David mengangguk-angguk. “Kamu pertama kali ke sana?”

“Bukan. Sudah beberapa kali,” jawab Florence.

“Kalau aku, sudah tidak pernah ke sana sejak bertahun-tahun yang lalu.” David duduk dan mulai melihat ke luar jendela. “Aku harap tempat itu tidak berubah banyak.”

“Memang tidak banyak yang berubah di sana,” kata Florence dengan nada ringan.

David dapat merasakan rasa senang Florence untuk dapat pergi ke Greenville. Berkebalikan dengannya.

“Di kota sekecil Greenville, bertemu secara tidak sengaja itu kemungkinan yang besar.” David melirik Florence.

“Setuju. Hampir semua orang kenal satu dengan yang lain.”

David tersenyum sambil terus mengamati Florence dari celah di antara kursi dan jendela. Florence membalikkan wajahnya sedikit ke belakang sambil menyodorkan sebuah earphone putih.

“Suka dengar lagu?” tanya Florence.

David menggeleng. “Tidak begitu suka. Terima kasih,” tolak David. Penolakan yang tidak sampai sedetik kemudian sudah disesalinya.

Mungkin liburan ini tidak sebosan yang ku bayangkan, batin David. Matanya masih tertuju pada Florence yang sedang menikmati lagu-lagunya.



- (oleh @lid_yang - http://lcy-thoughts.blogspot.com)

No comments:

Post a Comment