Tentang 30 Hari Cerita Cinta

13 September 2011

Requiem Merah: Monolog Cocytus

            Hawa dingin yang datang dari bekunya danau tak pernah berhenti berhembus di dalam gua itu. Tak ada satu manusia pun yang mampu hidup di gua itu. Koreksi: tak ada manusia yang hidup di sana. Bukalah peta dunia dan telusuri setiap incinya, dan kamu pun, wahai para pembaca, tak akan pernah menemukan letak gua itu. Ya, gua itu tidak berada di sudut Bumi mana pun, karena gua itu berada di sudut tergelap dan terdalam dari Neraka!
            Penghuni Neraka menyebut danau beku di gua itu sebagai Cocytus.[1] Hawa dingin dari Cocytus diperburuk dengan suara lengkingan jiwa-jiwa pengkhianat. Jiwa-jiwa itu berada dalam air beku, dengan wajah mereka menyembul ke atas permukaan danau, sementara tubuh mereka biru, dingin, dan beku di dalam Cocytus. Mata mereka merah akibat darah yang terus mengucur dari bola-bola mata itu, menangis menyesali pengkhianatan mereka semasa mereka hidup. Tak heran, air beku Cocytus berwarna merah.
            Namun begitu, sesosok makhluk duduk diam di singgasana di tengah Cocytus, tampak tak peduli dengan lolongan perih, percikan darah, atau hawa dingin yang terus menerpa seluruh tubuhnya. Makhluk itu tampak seperti manusia jika saja ia tak memiliki tiga pasang sayap malaikat dan sepasang tanduk keemasan. Tubuhnya yang kekar, rambutnya yang hitam dan panjang, dan kulitnya yang pucat nampak menunjukkan keanggunan mengerikan. Kedua tangan serta kakinya terikat rantai-rantai besar yang ujung-ujungnya tertanam dalam lapisan paling dalam dari Cocytus. Meski ia sedang tampak berpikir, mulutnya sedang mengunyah sesuatu yang tampak berdaging dan hidup: jiwa yang ketika hidup dikenali sebagai Judas.
            Semua penghuni Neraka dan Surga mengenali sosok makhluk yang duduk di singgasana sebagai Lucifer, si malaikat yang jatuh.

* * *

            Teringat ketika dirinya masih menempati Surga, Lucifer mempersembahkan hari-harinya dengan cinta kepada Tuhan. Masa dimana waktu belum ditemukan, Lucifer begitu mengagungkan Tuhan. Ia menuruti apapun keinginan Tuhan sebagai tanggung jawab yang besar yang dipercayakan kepadanya. Tuhan adalah cinta, begitulah yang dulu pernah ia yakini. Lucifer merasakan bahwa cinta adalah kekuatan yang begitu nikmat, nyaman, hangat, layaknya cahaya yang diberikan Tuhan kepadanya. Lucifer lahir dari cahaya cinta Tuhan.
            Ia tak ingat kapan ketika Tuhan memutuskan untuk menciptakan makhluk-makhluk hina bernama manusia. Tiap kali Lucifer memandang Adam dan Hawa, ia membuang muka, merasa jijik walaupun hanya memandang kedua makhluk itu. Lucifer tak habis pikir, kenapa Tuhan tak henti-hentinya memberikan cinta kepada makhluk-makhluk itu. Tak cukupkah pengabdian dan cinta yang ia berikan kepada Tuhan? Tak cukupkah puji-pujian dan doa yang ia berikan kepada Tuhan? Lihat saja Adam dan Hawa, mereka melanggar perintah Tuhan, namun Tuhan memberi mereka rumah baru bernama Bumi!
            Tak terima dengan penghinaan itu, Lucifer memberontak. Ia protes kepada Tuhan, mengungkit-ungkit segala cinta yang ia berikan kepada-Nya. Tak kuasa dengan amarah yang terus menumpuk atas manusia, Lucifer menyalahkan Tuhan. Rasa cintanya berubah jadi benci dan ia gunakan rasa itu untuk menjadikannya semangat dalam merebut singgasana Tuhan. Ia lupa bahwa Tuhan yang menciptakannya, dan bahwa Tuhan jauh lebih kuat dari dirinya.
            Maka disinilah ia sekarang, terbelenggu rantai di Cocytus. Mengingat masa ketika dirinya masih di Surga membuat darahnya menggelegak. Ia tidak mengkhianati Tuhan, Tuhan-lah yang mengkhianatinya!

* * *
            Kembali ke masa kini, sudah tak terhitung waktu berapa lama Lucifer dihukum di dalam Neraka paling akhir. Diam-diam ia menghimpun kekuatan untuk bebas dari belenggu-belenggu yang mengikatnya. Ia tahu bahwa saat inilah yang tepat. Ia hanya butuh satu hal: manusia dengan hati penuh cahaya namun redup dalam kegelapan abadi. Manusia yang penuh cinta namun menjadi benci kepada Tuhan. Manusia cerminan dirinya.
            Lucifer membuang jiwa Judas yang sedang dikunyahnya, tersenyum lebar, kemudian dengan suara sedingin es, ia berteriak kepada Tuhan, "Bersiaplah Tuhan! Aku akan bebas dari tempat terkutuk-Mu ini!". Ia kemudian mengacungkan kepalan tangannya ke atas, kemudian kembali berteriak, "Apa Kau akan tetap diam?! Apa Kau sedang menertawakan penderitaanku disini?! Lihat saja! Aku akan menciptakan dunia dimana manusia tak lagi takut akan kehilangan cinta-Mu! Akan kubuat semua manusia yang Kau berkahi cinta, membenci-Mu! Kemarahan manusia adalah satu-satunya doa yang akan Kau dengar! Kau adalah sosok sombong yang menikmati penderitaan makhluk-makhluk-Mu! Cinta-Mu palsu dan manusia-manusia dungu itu akan segera meninggalkan-Mu!"
Setelah menumpahkan kemarahannya yang tersimpan berabad-abad lamanya, Lucifer kembali duduk diam. Ia tahu hanya satu hal yang ia butuhkan detik ini: manusia yang kehilangan cinta kepada Tuhan. Maka dari itu, dengan sedikit mengepak sayap, Lucifer mengayunkan jari telunjuknya, membentuk pentagram di udara. Seketika muncullah pola-pola pentagram berbentuk bintang di depannya. Ia tahu, pentagram ini akan segera menemukan sosok yang ia cari, kemudian pentagram ini bertindak layaknya sepasang mata tambahan baginya. Pentagram ini membuat Lucifer mampu mengintai sosok incarannya. Tak lama kemudian, pentagram ciptaan Lucifer mulai menampilkan gambar-gambar jernih. Melalui pentagram itu, Lucifer melihat sesosok manusia dalam pakaian tentara sedang berlari di antara kamp-kamp pengungsi.
Lucifer kemudian tersenyum. Dia tahu dia sudah menemukan kunci kebebasannya.





[1] Dalam karya Dante Allighieri, La Divina Comedia: Inferno Canto, Cocytus adalah danau beku yang berada di Neraka tingkat Sembilan, dimana para pengkhianat Tuhan dihukum disana.



- (oleh @unbornsin - www.insemioticwetrust.wordpress.com)

No comments:

Post a Comment